Permainan Sepakbola

16 Juni 2010 17:02:26

Oleh: KH. Dr. A. Mustofa Bisri



Cobalah Anda pikir agak tenang tanpa mengikutsertakan kesenangan Anda
sendiri, mungkin Anda pun -- seperti orang yang tidak senang atau tidak
paham sepak bola -- merasa geli melihat 22 orang dewasa –-sebelas lawan
sebelas-- berlari-lari memperebutkan dengan serius sebuah benda bundar.



Kecuali dua orang yang bertindak menjaga gawang yang tidak banyak berlari;
cukup mempertahankan dan menangkap bola bila bola mengarah ke gawangnya.
(Berbeda dengan yang lainnya, kedua orang ini tidak mutlak dilarang memegang
bola). Anehnya bila bola sudah terebut, langsung --atau dibawa sebentar
kemudian-- disepak lagi untuk diperebutkan kembali. Sering kali, meski sudah
ada wasit lapangan dan wasit-wasit garis yang memimpin pertandingan,
orang-orang dewasa yang memperebutkan bola itu sampai berantem. Bila karena
terlalu sengit berebut bola lalu terjadi tabrakan antar pemain dan wasit
sudah menentukan bola diberikan kepada pihak tertentu, pihak ini pun malah
menendangnya kembali. Bayangkan bila perebutan 11 x 11 orang dewasa ini
tanpa wasit yang memimpin atau wasitnya seperti kebanyakan wasit negeri ini.



Sampai suatu saat, bila ada salah seorang di antara 22 orang itu yang
berhasil menendang dan memasukkan bola ke gawang lawan yang dijaga
mati-matian oleh penjaganya, semua --kecuali pihak yang kemasukan dan
pendukung-pendukungnya– pun bersorak-sorai gembira. Kemudian bola pun
ditaruh di tengah lagi untuk diperebutkan kembali. Begitulah permainan yang
betul-betul permainan ini berlangsung cukup lama, resminya 2 x 45 menit,
kecuali bila ada perpanjangan waktu. (Di Pensylvania Amerika Serikat, malah
pernah ada pertandingan –antara dua kesebelasan dari Muhlenberg College--
sampai 48 jam nonstop, tanpa pemain pengganti). Seperti setiap permainan
yang lain, dalam sepak bola ini pun harus ada yang menang. Yang menang
adalah yang paling banyak memasukkan bola ke gawang lawan.

Sungguh absurd sebenarnya. Namun absurd tidak absurd, permainan
sepak-menyepak bola yang konon cikal-bakalnya berasal dari permainan Tsu-chu
Cina zaman dinasti Han, 3-4 abad sebelum Masehi itu adalah olah raga yang
paling –atau setidaknya termasuk yang paling– digemari di dunia. Bahkan
sejak distandardkan dengan pembentukan Football Association di Inggris tahun
1863 dan terbentuknya federasi sepak bola dunia (FIFA) tahun 1907, permainan
ini bukan saja semakin meluas popularitasnya, perkembangannya pun terus
semakin canggih. Bukan saja dari segi sistem dan teknik permainan, melainkan
juga pengorganisasiannya terus disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Apalagi setelah bisnis dan kemajuannya –sebagaimana dalam banyak permainan
yang lain-- ikut campur dalam menentukan kehadiran dan perkembangannya.


Seperti biasa dan seperti pada banyak hal, negara-negara maju yang memiliki
kelebihan di hampir semua segi kehidupan, peranannya sangat besar bahkan
menentukan dalam membawa permainan itu ke derajat ‘terhormat’ dan digilai
hampir semua lapisan masyarakat dunia seperti sekarang ini. Jangankan sepak
bola, permainan yang berbahaya dan sangat tidak manusiawi pun --paling tidak
menurut sebagian kalangan– seperti tinju, di tangan mereka, bisa menjadi
olah raga yang dicandui; sudah tentu setelah menjadi tambang fulus bagi
mereka.


Memang mereka –orang-orang di negeri maju– itu, barangkali karena kelebihan
mereka di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ditambah disiplin
dan keseriusan mereka, bagi kita di negeri berkembang ini bagaikan tukang
sihir saja laiknya. Kebalikan dari kita yang menggarap hal-hal penting
seperti main-main saja, mereka bahkan permainan bisa disulap menjadi hal
yang sangat serius dan penting. Seperti sepak bola itu misalnya, dengan
kelihaian mereka mengemas dan menawarkannya, dunia pun dibuat keranjingan
terhadapnya sesuai kemauan mereka. Negara-negara penggandrung sepak bola
yang mereka nilai kaya dengan potensi sumberdaya pemain, mereka pacu dan
support. Permainan sederhana, amatiran, dan bisa dimainkan dimana saja --
dengan pemain berapa saja, dengan pakaian apa saja (bahkan tanpa pakaian
sekalipun), dan dengan bola apa saja (dengan bola gombal sekalipun) – itu
mereka profesionalkan dan bisniskan dengan cara yang amat canggih. Dan
dengan dukungan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, permainan sepak
bola pun akhirnya menjadi ‘agenda dunia’ yang penting dan sangat merampas
perhatian.


Termasuk kita disini, dimana sepak bola –seperti hal-hal yang lain, hanya
sibuk dibicarakan dan dipertengkarkan-- pertandingan sepak bola manca negara
merupakan ‘acara wajib’ yang ikut mengatur irama dan gaya hidup kita. Pers
dengan semangat patriotisme, berlomba-lomba memberitakan dan menayangkan
setiap pertandingan. Ulasan dan analisis sepak bola yang ndaqik-ndaqik pun
memenuhi media massa. Jadwal pertandingan dan kompetisi mereka --hingga yang
bersifat lokal-- pun kita catat. Gol-gol terbaik dalam setiap pertandingan,
kita bukukan. Nama-nama pemain klub-klub disana – apalagi yang menjadi
bintang (umumnya pemain yang paling banyak memasukkan bola ke gawang lawan,
pemain yang paling pandai mempertahankan gawang, yang paling lihai membawa
atau merebut bola)– kita hafal melebihi nama-nama para pemain klub-klub di
tanah air sendiri. Siapa yang tak kenal Pele –konon dari rangkaian kata
Portugis, Pe kependekan dari kaki dan le dari malas– alias Edison Arantes do
Nascimento dari Brazil yang dijuluki Si Kaki emas dan sejak 7 September 1956
hingga 2 Oktober 1974 memasukkan bola 1216 gol? Siapa tidak kenal Libero
Franz Beckenbauer dari Jerman Barat; Johan Cruyff dari Belanda; Diego
Maradona dari Argentina; atau bomber Inter Milan asal Brazil, Ronaldo Luis
Nazario. Bahkan banyak bayi lahir yang dinamai dengan nama-nama seperti Eka
Maradona, Mohammad Maldini, Supele, Rosyat Baggio, dll.


Pendek kata, sepak bola sudah menjadi semacam virus yang membuat demam
dunia. Lihatlah, betapa pers, termasuk di kita, sudah geger mempersiapkan
diri menyambut World Cup 1998 yang masih akan digelar Juni-Juli mendatang.
Rubrik-rubrik sudah diplot; pengulas-pengulas (di negeri ini pengulas sepak
bola jauh lebih banyak dan lebih lihai katimbang pemain sepak bola) sudah
mulai diincar atau dikontrak; tv-tv sudah mengiklankan jadwal-jadwal
pertandingan; dsb. dst.


Itu semua tentu tidak lepas dari kelihaian para pencari materi (duit) yang
tahu persis bagaimana memanfaatkan permainan yang menjadi kegemaran hampir
semua orang itu. Mereka yang paling lihai, paling kreatif, dan paling
serius, akan mendapat keuntungan paling banyak. Karena di zaman ini, sepak
bola –sebagaimana banyak permainan yang lain– tidak hanya merupakan olah
raga atau apalagi permainan pengisi waktu senggang. Sepak bola di zaman ini
sudah pula berarti bisnis; gengsi; entertainment; dlsb.


Kecuali mereka yang memang tidak suka dan tidak paham sepak bola, kiranya
tak ada lagi orang yang merasa geli melihat 22 orang dewasa berlari-lari
berebut bola untuk ditendang kembali setelah berhasil merebutnya. Sedangkan
melihat mereka yang membahas, mengkalkulasi, menyeminarkan, bahkan
mendirikan sekolah untuk itu pun, rasanya tak ada yang merasa aneh dan geli.


Tapi itulah hidup. Hidup tak lebih dari permainan, seperti permainan sepak
bola itu. Orang berlari-lari, berebut sesuatu yang sepele untuk kemudian
dilepas dan dikejar-kejar lagi. Mereka yang mengejar dan berebut harta
misalnya, setelah berhasil mendapatkannya, ada yang dilepas secara sukarela,
ada terpaksa dilepaskannya. Demikian pula mereka yang mengejar dan berebut
kursi atau kekuasaan.


Untuk merebut, kalau perlu menyikut, menendang, dan menginjak saudara
sendiri. Yang gede menggunakan ke-gede-annya; yang mempunyai kepintaran
menggunakan kepintarannya; yang kuat memanfaatkan kekuatannya; dan
sebagainya dan seterusnya. Karena itu, sebagaimana dalam permainan sepak
bola juga, aturan dan ketaatan terhadap aturan permainanlah yang paling
menentukan enak atau tidaknya permainan itu dimainkan dan ditonton.
Sebaliknya ke-tiadaan-aturan atau ketiadaan ketaatan terhadap aturan-lah
yang membuat rusak permainan. Apalagi apabila penyelenggara dan pimpinan
permainan sendiri sudah tidak mempunyai itikad untuk menegakkan aturannya.


Wallahu a’lam.

Rembang, 1419



KH. Dr. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar
Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------------------

=======================
Milis Wanita Muslimah
Membangun citra wanita muslimah dalam diri, keluarga, maupun masyarakat.
Twitter: http://twitter.com/wanita_muslimah
Situs Web: http://www.wanita-muslimah.com
ARSIP DISKUSI : http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/messages
Kirim Posting mailto:wanita-muslimah@yahoogroups.com
Berhenti mailto:wanita-muslimah-unsubscr...@yahoogroups.com
Milis Keluarga Sejahtera mailto:keluarga-sejaht...@yahoogroups.com
Milis Anak Muda Islam mailto:majelism...@yahoogroups.com

Milis ini tidak menerima attachment.Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    wanita-muslimah-dig...@yahoogroups.com 
    wanita-muslimah-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    wanita-muslimah-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke