From: "Mujiarto Karuk" <mka...@yahoo.com> To: <tahajjud_c...@yahoogroups.com>; <mualafindone...@yahoogroups.com> Cc: <pemudaper...@yahoogroups.com>; <salafi-indone...@yahoogroups.com> Subject: [tahajjud_call] Menyoroti Studi Teks Al-Qur'an di Barat Date: Friday, May 21, 2010 19:04
Oleh DR.Syamsuddin Arif,MA Beberapa waktu lalu seorang staf Paramadina menulis catatan di media yang isinya mengkritik buku Profesor Muhammad Mustafa Azami, The History of the Qur'anic Text: from Revelation to Compilation (2003). Menurut dia, Profesor Azami "tidak masuk ke jantung perdebatan diskursif yang berkembang di Barat, sehingga gagal merespons secara intelektual isu-isu penting dalam studi kaum orientalis tentang Al-Qur'an." Staf Paramadina ini agaknya belum membaca buku tersebut secara keseluruhan, sehingga terkesan tidak adil dan tergesa-gesa dalam memberikan penilaiannya. Ia gagal menangkap objektif utama karya Azami, yang dimaksudkan untuk menjawab tiga pertanyaan penting (hlm. 12): Pertama, apa yang dimaksud dengan Al-Qur'an? Kedua, apabila suatu saat ditemukan lagi naskah tulisan tangan (manuskrip) berisi sebagian atau seluruh ayat-ayat Al-Qur'an, namun berbeda dengan versi yang sudah ada, apakah dampak penemuan itu terhadap teks Al-Qur'an? Dan ketiga, soal otoritas. Siapakah yang berhak dan layak untuk mengatakan sesuatu mengenai Al-Qur'an, Islam dan segala aspeknya? Jadi, tujuan utama Azami adalah menjelaskan sejarah kompilasi dan kodifikasi Al-Qur'an, ketimbang memberikan "respons mendalam dan menyelami korpus kesarjanaan Barat". Al-Qur'an dalam Studi Barat Memang benar bahwa korpus kesarjanaan Barat mengenai Al-Qur'an cukup beragam. Tidak semua orientalis berniat jahat hendak menghancurkan Islam dengan menebarkan keraguan terhadap Al-Qur'an dan hadits. Ada juga yang konon bermaksud "baik" dan nampak simpati kepada Islam. Beberapa nama pun disebutnya sebagai counter examples. Menurut hemat saya, justru disinilah peneliti Paramadina itu kelihatan lugu (naïve). Jika Profesor Azami melewatkan begitu saja kritik Fred Donner dan William Graham atas tesis Wansbrough, hal itu karena tulisan kedua orientalis tersebut memang tidak diperhitungkan sama sekali pun oleh kalangan spesialis studi Al-Qur'an di Barat sendiri. Sama seperti Montgomery Watt, Alford Welch atau Kenneth Cragg yang konon banyak menulis karya simpatik, sikap lunak itu justru mengurangi validitas dan kredibilitas karya-karya mereka dimata para koleganya: Kalau para orientalis tersebut memang meyakini kenabian Muhammad SAW, mengakui kebenaran Islam dan keaslian Al-Qur'an , mengapa mereka tidak masuk Islam saja? Kalau cuma sekedar wacana dan basa-basi (lip service), apalagi jika motivasinya demi menjaga hubungan diplomatik dengan negara-negara Islam, maka itu merupakan pelacuran intelektual. Bahwa para orientalis itu masih bertahan dengan agamanya masing-masing, semestinya membuka mata kita agar tidak bersikap lugu dan polos dalam menyikapi tulisan sarjana islamologi Barat. Membaca korpus orientalis seputar Al-Qur'an memang tidak mudah. Disamping penguasaan pelbagai bahasa (Eropa dan Semitik), terutama sekali diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang menyeluruh dan mendalam atas khazanah intelektual Islam itu sendiri, bukan tahu sepotong-sepotong atau setengah-setengah. Jika modal kita pas-pasan, amat besar kemungkinan terpukau oleh statemen-statemen yang sekilas meyakinkan, namun sesungguhnya rapuh secara metodologis maupun epistemologis. Tulisan-tulisan sarjana Barat mengenai Al-Qur'an, dari mulai Nöldeke dalam Geschichte des Qorans, Mingana dengan artikelnya "The Transmission of the Kur'an", Jeffery dengan Materials for the History of the Text of the Qur'an, Burton dalam "Linguistic Errors in the Qur'an," hingga Wansbrough dalam Qur'anic Studies, dan terakhir Luxenberg dengan bukunya Die syro-aramäische Lesart des Koran, semuanya bertolak dari skeptisisme terhadap status Al-Qur'an sebagai dukumen sejarah. Bagi mereka Muhammad SAW itu seorang impostor, bukan nabi, Al-Qur'an itu hasil karangan Muhammad serta tim redaksi sesudahnya, bukan verbum dei . Nah, presuposisi dan skeptisisme inilah yang memandu riset dan studi mereka. Akibatnya, mereka seringkali mengabaikan data yang tidak mendukung asumsi-asumsinya dan memanipulasi bukti-bukti yang ada demi membenarkan teori-teorinya (abuse of evidence). Skeptisisme para sarjana Barat tersebut juga berakibat fatal secara epistemologis. Studi mereka berawal dari keraguan dan berakhir dengan keraguan pula. Mereka meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Walhasil, meskipun bukti-bukti yang ditemukan membatalkan hipotesanya, tetap saja mereka akan menolaknya, karena sesungguhnya yang mereka cari bukan kebenaran, akan tetapi pembenaran. Apa yang membenarkan praduga yang dikehendaki itulah yang dicari dan, jika perlu, diada-adakan. Sebaliknya, segala yang menyalahi dan tidak mendukung presuposisi dan misi yang ingin dicapainya akan dimentahkan dan dimuntahkan. Hal ini diakui sendiri oleh Herbert Berg: "the results of their work is dictated by their presuppositions" dan karenanya "the data are made to fit the theory." (Lihat: The Development of Exegesis in Early Islam (Richmond: Curzon Press, 2000), hlm. 3 dan 223). Isu Integritas Teks al-Qur'an Bahwa diskusi tentang integritas teks Al-Qur'an bukan monopoli kesarjanaan Barat, tapi sudah terjadi pada periode-periode sangat awal dalam Islam adalah benar adanya. Informasi seputar sejarah preservasi, kompilasi, kodifikasi dan transmisi Al-Qur'an telah direkam dan dibahas oleh para ulama terdahulu, dari Abu 'Ubayd al-Qasim ibn Sallam (w. 224H) dalam kitabnya Fadha'il al-Qur'an, Imam al-Baqillani (w. 403H) dalam al-Intishar li-Naqli l-Qur'an, hingga Imam as-Suyuthi (w. 911H) dalam al-Itqan fi 'Ulumi l-Qur'an, untuk menyebut beberapa saja sebagai contoh. Kitab-kitab tersebut dapat dengan mudah diperoleh dan boleh dibaca oleh siapapun. Demikian pula adanya berbagai varian bacaan (qira'at) yang hingga kini masih terus dipelajari dan dihafal. Justru itulah Azami bebas menulis bukunya itu. Jadi memang bukan merupakan hal yang tabu untuk diketahui atau didiskusikan. Dari mana lagi para sarjana Barat memperoleh hampir seluruh data-data untuk studinya itu selain dari karya-karya para ulama Islam? Namun jika sumber datanya sama, mengapa kesimpulan para sarjana Barat itu berbeda dengan kesimpulan para ulama Islam? Jawabnya karena point of departure dan metodologinya memang berbeda. Yang disebut pertama bertolak dari prasangka dan praduga, berjalan dengan kecurigaan, dan berakhir dengan keraguan. Seperti Sisyphus dalam mitologi Yunani kuno, yang dihukum oleh para dewa untuk mendorong bongkahan batu ke puncak bukit, lalu membiarkannya jatuh untuk kemudian didorongnya lagi, demikian terus-menerus. Persoalan yang dikemukakan mengenai sejumlah ayat yang konon 'missing' sebelum Al-Qur'an dikumpulkan, perbedaan antara mushaf Ubayy dan Ibn Mas'ud,(*) dan lain sebagainya sebenarnya telah cukup dijelaskan oleh Azami dalam bukunya itu (lihat bab 6-13). Saya khawatir justru pengkritik itu yang sengaja melewatkan begitu saja penjelasan panjang lebar yang dikemukakan Azami. Satu hal yang cukup memprihatinkan adalah ungkapan 'serampangan' diakhir tulisannya bahwa Sayyidina Umar dan sabahat terkemuka dikatakan mengeluh setelah peresmian teks standar Usmani, tanpa menyatakan serta terlebih dahulu meneliti sumber dan kesahihan 'keluhan' tersebut. Sebab, Sayyidina 'Umar ra telah lama wafat ketika Khalifah Utsman ra menggarap proyek kodifikasi dan standardisasi mushaf Al-Qur'an . -------------------------------------------- (*) BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU [Kolom Tetap Harian Fajar] 865. Alat Kontrol Sistem Kelipatan 19 Dapat Juga Dipakai Untuk Nomor Surah Pemberian nama dan susunan Surah dan ayat adalah atas petunjuk Allah SWT. Setiap turun ayat, Nabi SAW menginstrusikan kepada para penulis wahyu, supaya ayat itu diletakkan dalam Surah yang ditunjukkan Nabi SAW, dengan urutannya ayat tersebut dalam Surah bersangkutan. Daftar di bawah diambil dari kitab al-Fihrist karangan al Nadim yang memperlihatkan mushhaf yang susunan / nomor Surah yang "berbeda" dari Ubay bin Ka'ab dan Ibnu Mas'ud dengan Mishhaf 'Utsmaniy. Ubay bin Ka'ab juga dikenal sebagai Abu Mundzir ("ayah Mundzir"), adalah kaum Anshar yang berasal dari Banu Khazraj dan merupakan salah seorang dari Yathrib (Madinah) yang pertama-tama menerima Islam dan melakukan bai'at kepada Nabi Muhammad SAW di Aqabah, sebelum peristiwa hijrah. Beliau turut mengambil bagian dalam Perang Badr dan peperangan lain sesudahnya. Abdullah bin Mas'ud juga dikenal dengan nama Ibnu Mas'ud, salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang terdahulu dalam memeluk Islam. Beliau memiliki kepandaian dan pengetahuan yang mendalam tentang Islam. Beliau memperoleh umur yang panjang dan hidup hingga masa Khalifah 'Utsman bin Affan dan meninggal yang disebabkan usia yang lanjut. Mushhaf 'Utsmaniy: 1.Al~Faatihah, 2.Al~Baqarah, 3.Ali 'Imraan. 4.An~Nisaa', 5.Al~Maaidah 6.Al~An'aam, 7.Al~A'raaf, 8.Al~Anfaal, 9.At~Tawbah, 10.Yuwnus Ubay bin Ka'ab: 1.Al~Faatihah, 2.Al~Baqarah. 3.An~Nisaa' 4.Ali 'Imraan 5.Al~An'aam 6.Al~A'raaf 7.Al~Maaidah 8.Yuwnus 9.Al~Anfaal 10.At~Tawbah Ibnu Mas'ud 1.Al~Baqarah 2.An~Nisaa 3.Ali 'Imraan 4.Al~A'raaf 5.Al~An'aam 6.Al~Maaidah 7.Yuwnus 8.At~Tawbah 9.An~Nahl 10.Huwd Perbedaan itu baru muncul jauh setelah kedua sahabat itu telah wafat. Sedangkan murid-murid yang belajar langung dan hidup sezaman dengan kedua sahabat itu tidak pernah ada yang menyatakan perbedaan itu. Kesaksian tentang mushhaf-mushhaf itu bersumber dari kesakasian mereka yang tidak pernah bertemu langsung, bahkan berbeda zaman yang sangat jauh. Kesaksian yang "kabur" inilah dikutip oleh al-Nadim dari Al Fadl bin Shahdan (sejarawan awal waktu itu). Al-Nadim dalam bukunya tersebut menyatakan bahwa: "Tak ada satu dari mereka yang hidup sejaman dengan Ibnu Mas'ud menyebut mushhaf yang dimilikinya memuat susunan Surah yang berlainan. Isu itu muncul kepermukaan setelah kedua beliau itu wafat." Seterusnya an Nadim menyebutkan bahwa secara pribadi, ia pernah melihat beberapa mushhaf yang dikaitkan dengan kedua sahabat itu, akan tetapi tidak pernah melihat dua naskah dari masing-masingnya yang mirip satu dengan yang lainnya, tetapi karena bin Shahdan dianggap punya wewenang keilmuan yang cukup terpandang maka an Nadim memutuskan untuk mengutipnya dalam bukunya. Orientalis (antara lain Arthur Jeffery) memanfaatkan Al-Fatihah yang tidak ada dalam mushhaf Ibnu Mas'ud, sebagai kritik atas Mushhaf 'Utsmaniy, bahkan lebih hebat lagi Al-Fatihah bukan bagian dari Al-Quran. Ini pendapat Arthur Jeffery: The Fatiha was not included in the codex of Ibn Mas'ud. The Fatiha of the Koran bears on its face evidence that it was not originally part of the text, but was a prayer composed to be placed at the head of the assembled volume, to be recited before reading the book, a custom not unfamiliar to us from other sacred books of the Near East. Alat kontrol keterkaitan matematis sistem kelipatan 19, segera dengan telak menampar Arthur Jeffery. -- 'ALAYHA TS'At 'AsyR (S. ALMDTfR, 74:30), dibaca: --. 'alaiha- tis'ata 'asyara. Artinya: -- padanya 19. Kalau S. Al-Fatihah bukan bagian dari Al Quran maka jumlah Surah cuma 113, angka ini bukan sistem kelipatan 19 *** Alat kontrol keterkaitan matematis sistem kelipatan 19, juga dapat dipakai sebagai mekanisme untuk mengontrol susunan / nomor Surah: Ada keterkaitan antara Surah 9 (S. At-Tawbah) dengan Surah 27 (S. An-Naml). Surah ke-9 tidak mengandung Basmalah (Bismiilla-hirrahma-nirrahiym), namun ini ditebus oleh Surah ke-27 yang mempunyai dua Basmalah , yaitu pada permulaan Surah dan dalam ayat 30. Dua kali mekanisme sistem konrol bekerja pada nomor Surah: Pertama, nomor Surah 27 dikontrol oleh: 27 + 30 = 57 = 3 x 19 Kedua, hubungan Surah 9 dengan Surah 27, dikontrol oleh deret 9 sampai dengan 27 => (9+10+11+12+........+24+25+26+27) maka hasilnya adalah 342 = 18 x 19. Jadi dalam daftar di atas hanya S. At-Tawbah dengan nomor urut 9 yang lolos dalam mekanisme konrol keterkaitan matematis sistem kelipatan 19. Namun itu tidak berarti bahwa Ubay bin Ka'ab dan ibn Mas'ud yang salah, melainkan periwayatan itu rantai sanadnya (urutan orang-orang yang meriwayatkan dari siapa kepada siapa) itu yang tertolak. Alhasil, susunan Surah dalam mushhaf kedua sahabat itu palsu. WaLlahu a'lamu bisshawab. *** Makassar, 15 Maret 2009 [H.Muh.Nur Abdurrahman] http://waii-hmna.blogspot.com/2009/03/865-alat-kontrol-sistem-kelipatan-19.html ------------------------------------------------------------------------------- Disamping itu, menurut Imam Ibn Katsir (w. 774H), tidak lama setelah kodifikasi dan standardisasi kedua itu rampung, tim ahli yang terdiri dari para penghafal al-Qur'an itu kemudian menyerahkan dan membacakan mushaf standard itu kehadapan para Sahabat Nabi saw, termasuk Khalifah 'Utsman ra (tsumma quri'at 'alâ s-Shahabah bayna yaday 'Utsmân) (Lihat: Ibn Katsir, Fadhâ'il al-Qur'ân, dalam Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, 7 jilid, Beirut, 1966, 7:450). Laporan umum dan terbuka ini sangat penting, untuk menjamin kesahihan dan kemutawatiran al-Qur'an. Setelah semua ahli dari kalangan Sahabat itu setuju dan sepakat, maka ditulislah beberapa naskah acuan untuk dikirim ke kota-kota Kufah, Basrah, Damaskus, Mekkah, Mesir, Yaman, Bahrain, dan al-Jazirah. Dan sebuah naskah disimpan oleh Khalifah 'Utsman ra di Madinah (Lihat: Imâm Abu 'Amr ad-Dânî, al-Muqni', hlm.19 dan al-Ya'qubi, Târikh, I:170). Sungguh amat disayangkan jika kaum Muslim kini harus terbuang energinya untuk mengorek-orek perkara yang sudah selesai jelas dan tuntas. Jauh lebih baik jika mereka berusaha memahami, mengamalkan dan 'membumikan' Al-Qur'an ketimbang menggugat historisitas dan otentisitasnya. * Penulis adalah doktor bidang pemikiran Islam. Kini sedang studi program Phd keduanya di Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt Jerma http://www.hidayatullah.com/opini/1829-menyoroti-studi-teks-al-quran-di-barat.html BISSMILLAHIRROHMAANIRROHIIM Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, QS, Al-Baqarah (2) : 2. Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka jika kamu tidak dapat membuat (nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat (nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. QS, Al-Baqarah (2) : 23-24. ================================================================== [Non-text portions of this message have been removed]