http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=22410

010-08-04
Setop Penutupan Gereja!


Oleh : Alamsyah M Dja'far



Di sebuah tanah kosong di Kampung Ciketing Asem, Kecamatan Mustikajaya, Bekasi, 
sekitar 200 jemaat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Pondok Timur 
Indah, Kota Bekasi, menggelar kebaktian di bawah pohon rambutan. Kegiatan ini 
dijaga ketat puluhan anggota Satpol PP dan Kepolisian Polres Metro Bekasi. 
Ketika menggelar puji-pujian, massa dari warga sekitar yang menolak pendirian 
gereja berteriak-teriak agar jemaat HKBP bubar. 


Pemandangan ini konon sudah terjadi tiga kali, setelah Pemerintah Kota (Pemkot) 
Bekasi menyegel rumah yang biasa mereka gunakan untuk kebaktian awal Juli lalu. 
Kasus HKBP Pondok Timur ini satu di antara puluhan kasus perusakan dan 
penutupan gereja yang makin marak akhir-akhir ini. Belum genap setahun, 
peristiwa pada 2010 sudah membukukan 28 kasus -kebanyakan terjadi di Jawa 
Barat. Pada 2009, kasusnya berjumlah 18 peristiwa, dan 17 peristiwa pada 2008. 
Ini baru laporan yang dirilis Setara Institute -sebagiannya bersumber dari 
liputan media. Di luar itu, kasusnya mungkin akan bertambah.


Selain kelompok masyarakat dan ormas-ormas keagamaan, pelaku penutupan juga 
banyak dilakukan aparat pemerintah, seperti pemerintah daerah, atau Satpol PP. 
Dan jika ditarik benang merah, alasan yang umum amat terkait dengan aspek 
perizinan.
Awal Februari silam, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan 
Gereja-gereja di Indonesia (PGI), bahkan sudah menyampaikan masalah ini ke 
Komisi III DPR. Saat itu PGI melaporkan 10 kasus penutupan gereja, sedang KWI 4 
kasus. Kedua ormas keagamaan ini juga mendesak pemerintah agar serius menangani 
masalah tersebut. Muncul pula kesan, negara dinilai gagal menjamin dan 
melindungi warganya untuk beribadah. (MRORI The Wahid Institute, Edisi 28 Maret 
2010). 


Dengan kian menjamurnya kasus-kasus semacam ini, sulit rasanya menepis dugaan 
bahwa hak beribadah kelompok minoritas di negeri ini memang benar-benar berada 
dalam ancaman. Dan lagi-lagi minoritas, baik etnis maupun agama masih dinilai 
sebagai momok yang mesti ditumpas, seperti kasus etnis Tiongkok dan warga 
Ahmadiyah. 


Setidaknya, terdapat dua tantangan mendasar terkait masalah ini, tantangan 
struktural dan kultural. Salah satu problem utama yang mesti dipecahkan di 
ranah stuktural adalah soal regulasi, yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan 
Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2006 dan No 8 Tahun 2006 tentang Pedoman 
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan 
Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan 
Pendirian Rumah Ibadah. 

Problem Struktural
Terkait pendirian rumah ibadah, terdapat beberapa isu penting yang perlu 
dicermati. Pertama, persyaratan khusus pendirian rumah ibadah seperti dimuat 
Pasal 14 Ayat 2. Untuk mendapat izin, panitia harus mampu mengumpulkan 90 orang 
pengguna rumah ibadah yang disahkan pejabat setempat. Selain itu, harus pula 
didukung 60 orang penduduk setempat yang disahkan lurah atau kepala desa. Belum 
lagi rekomendasi tertulis dari kepala kantor departemen agama kabupaten/kota 
dan rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota. 


Isu Kedua menyangkut kewajiban pemerintah daerah untuk memfasilitasi 
tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat, jika persyaratan 90 orang 
terpenuhi namun tidak untuk 60 orang penduduk setempat.


Ketiga, pemanfaatan bangunan sementara. Untuk mendapatkan izin, bangunan harus 
dianggap laik fungsi dan mendapatkan sejumlah izin tertulis, mulai izin dari 
pemilik bangunan, rekomendasi lurah/kepala desa; pelaporan tertulis kepada FKUB 
Kabupaten/kota; dan laporan tertulis kepada Kepala Kantor departemen agama 
Kabupaten/kota. Izin sementara itupun hanya berlaku dua tahun.
Dari sisi regulasi, sesungguhnya terbuka alternatif dan langkah-langkah 
alternatif ketika pihak panitia belum memenuhi syarat persetujuan warga 
sekitar. Tegas pula dinyatakan dalam beleid, pemerintah berkewajiban 
memfasilitasi pendirian rumah ibadah atau pemanfaatan bangunan sementara. 


Tragisnya, ketika terjadi penolakan dari warga, pemerintah pada praktiknya 
pemerintah ingin lepas tangan dan membiarkan panitia berhadap-hadapan dengan 
masyarakat. Dalam situasi semacam itu, jangan lupa pula bahwa mereka masih 
harus melewati beberapa pintu lain, yakni izin lurah/kepala desa, FKUB, dan 
departemen agama. Seperti pemerintah daerah, dalam banyak kasus mereka sering 
pula tunduk pada desakan massa. Situasi semacam inilah yang dihadapi jemaat 
HKBP Pondok Timur Indah tadi.


Faktor lain yang memicu eskalasi pada ranah stuktural juga terkait lemahnya 
penegakan hukum. Di lapangan, aparat keamanan, khususnya kepolisian, sering tak 
berani bertindak tegas terhadap massa. Dengan alasan menghindari amuk massa, 
justru pihak korbanlah yang "diamankan". Yang lebih parah lagi, aparatlah yang 
justru menjadi eksekutor. Sementara itu, penyelesaian hukum terhadap para 
pelaku perusakan dan penutupan gereja oleh aparat juga menjadi kasus lain lagi.


Tentu saja beban masalahnya memang tak hanya ditimpakan pada pemerintah dan 
aparat keamanan. Persoalan rumah ibadah juga muncul sebagai faktor laten yang 
sudah tertanam lama dalam suasana batin sebagian masyarakat Muslim di 
Indonesia. Salah satu isu paling krusial adalah "kristenisasi". 


Tak sedikit kelompok Muslim yang merasa terancam dengan perkembangan masyarakat 
non-Muslim, di tengah perasaan mereka yang terancam terhadap budaya luar dan 
arus globalisasi. Padahal, asumsi bahwa umat Islam bisa kalah jumlah dengan 
Kristen jelas pandangan yang tak cukup berdasar. Tengok saja data yang pernah 
dilansir Menag M Maftuh Basyuni pada pidato, 17 April 2006. Sejak 1977 hingga 
2004, jumlah gereja Kristen hanya 10 persen (43.909) dari rumah ibadah Islam 
yang berjumlah 643.834. Sementara gereja Katolik sebanyak 3 persen atau 
sebanyak 12.473.


Ditambah peluang legitimasi regulasi dan lemahnya penegakan hukum lemah, 
konflik laten semacam ini sangat berpeluang memicu tindak persekusi massa yang 
dilakukan berulang-ulang. 


Setidaknya, ada beberapa hal yang menurut penulis bisa dilakukan untuk 
mengatasi problem di atas. Pertama, pemerintah dan aparat terkait harus didesak 
kembali menjalankan fungsinya sesuai Perber Dua Menteri. Mereka tak boleh lepas 
tangan dan terkesan tersandera dengan pressure massa. Kedua, perlu usaha-usaha 
untuk meninjau kembali peraturan yang selama ini sering dipakai bargaining aksi 
persekusi. Ketiga, mengusut tuntas para pelaku perusakan gereja. Keempat, 
terkait pencabutan IMB oleh pemerintah daerah setempat perlu dilakukan 
langkah-langkah hukum seperti berhasil dilakukan HKBP Cinere atas keputusan 
wali kota Depok. Kelima, perbaikan kualitas komunikasi antara pihak gereja dan 
masyarakat sekitar. Semoga membantu. 

Penulis adalah peneliti the Wahid Institute Jakarta


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke