by Habiburrahman el shirazy

Dua
Firasatnya benar. Lima hari setelah ia mengirim
jawaban itu, Bu Merlin datang ke rumahnya. Saat itu ia
masih mengambil cuti. Bu Merlin datang dengan mimik
serius. Mimik yang ditakuti oleh para bawahannya,
apalagi para mahasiswa. Pembantu Dekan I di
kampusnya itu berkata, "Zahrana, kamu memang bebas
menentukan pilihanmu. Namun terus terang saya tidak
mengerti apa maumu. Saya tak perlu berdusta padamu,
saya sangat kecewa padamu. Padahal saya telah
berusaha melakukan yang terbaik, untukmu dan juga
untuk Pak Karman. Namun agaknya ini semua
berantakan karena keangkuhanmu."
"Bu tolong ibu juga mengerti saya. Saya telah berusaha
menata hati dan jiwa untuk menerima Pak Karman. Saya
tidak mau karena saya sudah terlambat menikah, lantas
saya menikah untuk seolah-olah bahagia. Saya tidak
mau batin saya justru menderita. Karena saya benarbenar
tidak bisa menerima Pak Karman. Saya tidak
mau, setelah menikah sosok Pak Karman justru jadi
monster yang menghantui saya setiap saat. Saya sama
sekali tidak bisa mencintainya Bu. Meskipun sebutir
zarrah. Ibu kan juga seorang perempuan. Saya mohon
ibu bisa memaklumi." Zahrana menjawab panjang lebar
dengan mengajak bicara dari hati ke hati.
"Kalau masalahnya sudah cinta. Tak ada orang di muka
bumi ini yang bisa memaksa. Meskipun saya kecewa
saya tetap menginginkan yang terbaik untukmu. Sejak
mengenalmu aku tahu kau orang baik. Begini Zahrana,

saya lihat gelagat Pak Karman berniat memecatmu
dengan satu tuduhan serius yang akan sangat
mempermalukanmu. Ia mengisyaratkan hal itu kemarin
setelah membaca suratmu. Sekadar saran dariku lebih
baik kau mundur dengan terhormat daripada dipecat!
Jika marah Pak Karman bisa lupa bumi di mana ia
berpijak."
"Apa Bu? Mundur?" Jawab Zahrana dengan nada kaget.
"Iya Zahrana. Sebaiknya kau mengundurkan diri saja.
Itu saranku sebagai orang yang sangat paham peta
politik di kampus."
"Tidak Bu. Jika terjadi ketidakadilan, akan saya lawan
sampai titik darah penghabisan!"
"Zahrana, kamu ternyata tidak tahu benar peta politik
kampus. Tidak tahu benar siapa Pak Karman. Jika kau
nekat itu ibarat ulo marani gitik. Ibarat ular mendekat
untuk dipukul sampai mati. Mundurlah dulu.
Bertiaraplah sementara waktu. Ini yang kulihat baik
untukmu. Saya berjanji suatu saat nanti jika saya ada
kemampuan, kamu akan saya tarik lagi ke kampus. Kali
ini percayalah padaku. Saya tidak rela orang sebaik
kamu jadi bulan-bulanan kesewenang-wenangan yang
sudah saya cium dari sekarang."
Zahrana akhirnya paham dengan apa yang disampaikan
Bu Merlin. Dari nada dan tuturkata yang disampaikan ia
melihat ada kesungguhan dan ketulusan.
Namun ia belum bisa mengambil sikap dengan cepat.
Sekali lagi ia harus tenang dan tidak gegabah, "Baiklah
Bu. Saya mengerti. Akan saya pikirkan matang-matang
saran Ibu. Saya sangat berterima kasih."

"Saya harap begitu. Kalau begitu saya pamit dulu.
Masih ada urusan yang harus saya kerjakan." Kata Bu
Merlin.
* * *
Zahrana sadar Bu Merlin masih tetap menyimpan rasa
sayang padanya, meskipun ia telah mengecewakannya.
Bu Merlin juga tetap setia pada prinsip hidupnya:
Memaksimalkan manfaat meminimalisir konflik. Jika
masih ada jalan menghindari konflik, maka jalan itulah
yang harus ditempuh.
Setelah Bu Merlin pergi Zahrana langsung mengendarai
sepeda motornya ke rumah Lina, temannya paling akrab
sejak di SMP sampai Perguruan Tinggi. la perlu orang
yang bisa diajak bicara memutuskan masalahnya.
"Apa sejahat itu Pak Karman?" tanya Lina pada
Zahrana.
"Aku tak ingin membicarakan kejahatannya. Yang jelas
apa yang sebaiknya kulakukan setelah mendengar saran
Bu Merlin."
"Yang paling penting menurutku adalah, apa kaupercaya
dengan apa yang disampaikan Bu Merlin?" Zahrana
menjawab dengan memandang lekat-lekat teman
karibnya itu,
"Sampai saat ini saya belum pernah dibohongi Bu
Merlin. Saya percaya padanya."
"Kalau begitu masalahnya jelas. Pak Karman itu sedang
sangat tersinggung dan marah besar karena kamu tolak.
Dia merasa tidak nyaman berada satu atap denganmu di

kampus. Dan Bu Merlin melihat dia akan membuat
perhitungan denganmu."
"Jadi?"
"Kalau aku jadi kau, aku memilih mengundurkan diri
dengan baik-baik, daripada dipecat dengan membawa
nama tercemar. Pak Karman tentu lebih kuat posisinya
daripada kamu. Ingat dia orang nomor satu di Fakultas
tempat kamu mengajar."
"Aku tahu. Tetapi jika aku keluar, lantas nanti apa yang
harus aku katakan pada ayah dan ibu?"
"Kau kayak anak kecil aja. Cari pekerjaan baru. Dengan
begitu kau bisa berdalih degan seribu alasan yang
menyejukkan mereka. Bisa kaukatakan tidak kerasan
lagi di kampus. Cari pengalaman baru dan lain
sebagainya." Akhirnya ia mantap untuk mengundurkan
diri.
"Kau benar Lin. Besok aku akan mengundurkan diri."
"Nanti kubantu cari pekerjaan yang cocok untukmu."
"Kau memang sahabatku yang baik Lin."
***
Pagi itu Zahrana datang ke kampus dengan membawa
dua pucuk surat pengunduran dirinya. Satu untuk
rektor dan satu untuk dekan. Pak Karman sedang rapat
dengan rektor. Itu kesempatan baginya untuk
mengemasi barang-barangnya. Teman-temannya sesama
dosen banyak yang kaget.

"Kami tahu dari Ibu Merlin bahwa kamu menolak
lamaran Pak Karman. Apa karena itu terus kamu juga
harus mundur dari kampus?" tanya Pak Didik, dosen
mata kuliah struktur beton yang meja kerjanya paling
dekat dengannya.
"Saya hanya ingin cari suasana baru dan pengalaman
baru. Mungkin saya akan mencoba kerja di sebuah
perusahaan." Jawab Zahrana sekenanya sambil
merapikan berkas-berkasnya.
"Apa ini benar-benar sudah keputusan final?"
"Ya. Final."
"Kami tak berhak menahanmu. Meskipun kami sangat
kehilangan kamu jika kamu keluar. Tidak banyak
pengajar yang seahli kamu. Jika nanti kamu ingin
kembali ke kampus ini jangan segan-segan. Kami para
dosen akan men-support-mu."
"Terima kasih Pak Didik. Maafkan saya jika selama ini
banyak berbuat salah."
"Sama-sama."
Setelah barang-barangnya rapi. la meletakkan surat
pengunduran dirinya di meja kerja Pak Karman. Lalu
mencari mahasiswi yang bisa membantunya mengangkat
barang. Di koridor ia bertemu dengan mahasiswi
berjilbab hitam.
"Nina!"
"Ya Bu Rana."
"Bisa bantu saya sebentar?"
"Bisa Bu."

"Kalau begitu cari tiga teman, dan segera ke ruang
kerja saya. Saya minta bantuannya sedikit."
"Baik Bu."
Ia lalu balik ke ruang kerjanya.
"Pak Didik?"
"Ya Bu Rana."
"Saya minta tolong, surat pengunduran ini disampaikan
ke Pak Rektor begitu saya pergi. Data-data saya di
komputer ini nanti diselamatkan ya Pak. Trus sayaminta
tolong dicarikan taksi."
"O bisa Bu."
Lima menit kemudian tiga orang mahasiswi berjilbab,
dan dua orang mahasiswa datang. Kepada mereka
Zahrana menjelaskan bahwa dirinya akan mengundurkan
diri dari kampus itu.
"Kenapa Bu?" tanya Nina, mahasiswinya yang aktif di
Lembaga Pers Kampus.
"Tidak apa-apa. Hanya ingin cari suasana baru saja."
"Tidak karena tekanan seseorang kan Bu?" tanya
mahasiswa berbaju biru tua kotak-kotak.
"Tidak. Ini murni keinginan Ibu. Mana ada yang berani
menekan Ibu tho San." Jawab Zahrana pada mahasiswa
bernama Hasan.
"Kalau ibu mundur, skripsi saya bagaimana Bu?" tanya
mahasiswa itu lagi.
"O tenang San. Nanti kamu menghubungi Bu Merlin dan
Pak Didik ya. Mereka akan membantumu, insya Allah."

"Saya masih boleh konsultasi pada ibu tho. Meskipun
ibu tidak di kampus ini lagi?"
"Boleh San. Kalian semua ibu persilakan dolan ke rumah
ibu kapan saja." Kata Zahrana sambil memandang wajah
mahasiswanya satu per satu. Zahrana lalu meminta
mereka mengangkat barangbarangnya ke luar gedung.
Tak lama taksi datang. Zahrana pun meninggalkan
kampus itu dengan membawa seluruh barangbarangnya.
Begitu selesai rapat, Pak Karman kembali ke ruang
kerjanya. Keputusannya sudah mantap yaitu memecat
Zahrana dengan beberapa tuduhan serius, di antaranya:
tidak disiplin. "Perawan tua itu harus diberi pelajaran!"
Geramnya dalam hati. Ketika ia duduk di kursinya ia
menangkap sepucuk surat tergeletak di atas meja
kerjanya. Ia baca surat itu. Kemarahannya seketika
meluap,
"Kurang ajar!" Ia seperti petinju yang nyaris meng-KO
lawan, tibatiba malah dipukul KO. Ia sama sekali tidak
memperhitungkan Zahrana akan membuat keputusan
nekat itu.
Namun ia tetap akan membuat perhitungan dengan
satusatunya dosen Fakultas Teknik yang masih gadis
itu.
* * *
Tak perlu waktu lama bagi Zahrana untuk mendapatkan
pekerjaan baru. Dari seorang teman ia mendapatkan
informasi bahwa STM Al Fatah Mranggen, Demak,
sedang membutuhkan seorang guru baru yang

profesional untuk mendongkrak prestasi. STM Al Fatah
berada di payung Yayasan Pesantran Al Fatah.
Pesantren besar yang terkenal di Mranggen. Ia
mengajukan lamaran dan hari itu juga ia diterima.
Kepala sekolahnya yang masih keturunan pendiri
Pesantren Al Fatah sangat senang. Pengalaman
mengajar Zahrana ketika mengajar di FT universitas
swasta terkemuka di Semarang adalah jaminan kualitas.
Sejak hari itu Zahrana mengajar siswa-siswa yang
sebagian besar adalah santri. Ia berusaha mendalami
kultur dan budaya santri. Sebab sejak kecil ia belum
pernah menjadi santri sama sekali. Ia merasakan
nuansa yang berbeda antara mengajar santri dan
mengajar mahasiswa. Ada tantangan tersendiri
mengajar santri yang masih banyak menganggap ilmu
eksak tidak penting, yang menganggap "ilmu umum"
lainnya juga tidak penting.
Dianggap tidak penting, karena para santri berpikiran
bahwa ilmu eksak dan "ilmu umum", kelak tidak akan
ditanyakan di akhirat. Bagi mereka, yang terpenting
adalah "ilmu agama", karena ilmu itulah yang akan
dibawa hingga akhirat nanti. Pikiran yang perlu
diluruskan.
Dan Zahrana tertantang untuk meluruskannya. la
merasa mengajar di lingkungan pesantren lebih
menenteramkan. Entah kenapa? Apa karena dekat
dengan banyak ulama? Atau karena memang di
pesantren tempat ia mengajar tidak ada manusia
seperti Pak Karman yang dalam pandangannya sangatsangat
durjana. Hari-harinya ia lalui dengan lebi

tenang dan tenteram. Ilmu S.2-nya ia rasa tidak benarbenar
hilang tanpa guna. Sebab ia juga diterima
sebagai konsultan sebuah perusahaan properti. Ia juga
masih sering didatangi mahasiswanya.
Yang masih sering datang adalah mahasiswanya yang
bernama Hasan. Tugas Akhir Hasan memang di bawah
bimbingannya. Namun setelah ia keluar, tugas
pembimbingan diambil alih oleh Bu Merlin. Hasan dan
teman-temannya masih suka datang untuk konsultasi
dan meminjam referensi. Ia merasa senang dengan
kedatangan mereka. Ia merasa mereka seperti adiknya
sendiri.
Suatu siang ayahnya bertanya, mengapa ia
meninggalkan kampus dan memilih mengajar di STM Al
Fatah yang gajinya jauh lebih kecil.
Ia menjawab, "Ingin mencari ketenangan dengan dekat
kiai dan para santri." Ayahnya hanya mendesah tanda
tidak setuju.
Namun ia kemudian berusaha menghibur, "Yang kedua
Yah, Zahrana berharap mengajar di lingkungan
pesantren jadi jalan bagi Zahrana menemukan jodoh
Zahrana. Bertahun-tahun di kampus jodoh yang
Zahrana harap tidak juga datang."
Wajah ayahnya itu sedikit cerah, "Semoga harapanmu
terkabul. Kalau perlu kamu harus berani minta tolong
pada Pak Kiai. Siapa tahu beliau bisa membantu
menemukan jodohmu."
"Iya Yah. Mohon doanya terus."

"Tanpa kamu minta pun kami terus mendoakanmu siang
dan malam, Anakku."
"Terima kasih Ayah."
***
Malam itu setelah memeriksa tugas-tugas anak
didiknya Zahrana membuka komputer. Ia hendak
berselancar di dunia maya internet. Ia ingin melihat
apakah ada email yang masuk. Apakah ada berita yang
menarik. Dan ia mau membuat blog. Siapa tahu dengan
membuat blog ia bisa menemukan jodohnya.
Baru saja menyalakan komputer hp-nya berdering
beberapa kali. Ada tiga SMS yang masuk.
Iamembukanya:
"Sedang apa perawan tua?"
"Ternyata jadi perawan tua itu indah."
"Jangan-jangan jilbabmu itu kedok untuk menutupi
daging tuamu yang sudah busuk di kerubung lalat!"
Zahrana tersentak dan geram. Sebuah teror. Teror
paling primitif, dengan kata-kata yang merendahkan
dan menyakitkan. la periksa nomornya. Nomor yang
tidak ia kenal. la nyaris membalas SMS itu dengan
kata-kata yang sama pedasnya. Tapi ia urungkan. Ia
sudah bisa menduga kira-kira dan mana SMS itu
berasal. Akhirnya ia memilih diam. Diam tanpa pernah
menganggap SMS itu ada. Ia merasa diam adalah
senjata paling ampuh.
Menanggapi omongan orang gila berarti ikut jadi gila.
Menanggapi sikap orang dungu berarti ikut jadi dungu.
Internetnya sudah konek. Lima email dari

temantemannya sesama dosen. Semuanya
menyayangkan keputusannya meninggalkan kampus. Dan
semuanya mendoakan semoga sukses dengan pilihannya.
Hp-nya kembali berdering. Dua kali. Ia buka,
"Apa kabar Perawan Tua?"
"Kelapa itu semakin tua semakin banyak santannya.
Banggalah jadi perawan tua!"
Ia meneteskan airmata. Tubuhnya bergetar. Hatinya
sakit. Tapi ia harus menang. Diam adalah senjata
pamungkasnya untuk menang. Ia tidak akan meladeni
kata-kata yang tidak mencerminkan datang dari orang
terdidik itu. Akhirnya, ia matikan hp-nya. Ia memilih
asyik berselancar di dunia maya.
Ia buka alamat emailnya yang lain. Ada dua email. Yang
satu dari sebuah komunitas milis, memanggilnya untuk
ikut milis. Dan satunya dari Pak Didik. Ia jadi bertanya
ada apa dengan Pak Didik. Baru kali ini Pak Didik
mengirim email kepadanya.
la buka email itu: Subjeknya: SEBUAH TAWARAN,
JIKA BERKENAN. Baru dikirim beberapa jam yang lalu.
la lalu membacanya dengan sedikit rasa penasaran.
Tawaran apa yang dimaksud Pak Didik, yang celananya
selalu di atas mata kaki itu?
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Semoga Ibu Zahrana sukses dan berbahagia selalu. Amin. Sebelumnya
mohon maaf jika email saya ini mengganggu. Sebenarnya sudah lama
saya ingin mengirim email ini tapi terhambat karena beberapa sebab.
Hari ini saya merasa hari yang tepat saya mengirim email ini untuk
memberikan sebuah tawaran kepada Ibu Zahrana. Maaf terpaksa saya
sampaikan lewat email, sebab jika saya sampaikan langsung secara lisan

takut terjadi salah paham. Karena bahasa tulisan bisa diedit sementara
bahasa lisan tidak.
Bu Zahrana, setelah mengetahui lebih detil tentang Ibu. Juga apa yang
Ibu cari selama ini saya memberanikan diri mengajukan diri.
Mengajukan diri untuk menjadi suami ibu. Maaf, to the point saja Bu.
Saya menawarkan kepada ibu, sekali lagi maaf jika dianggap lancang,
untuk menjadi isteri kedua saya. Saya yakin isteri saya bisa
menerimanya nanti.
Saya akan berusaha adil sebagai suami. Terus terang sebenarnya yang
saya harapkan adalah seorang isteri yang educated dan cerdas seperti Bu
Zahrana. Bukan yang bisanya cuma arisan seperti isteri saya saat ini.
Tapi karena sudah punya dua anak, tidak mungkin saya meninggalkan
dia.
Saya yakin dengan kita membina rumah tangga bersama, kita bisa
bersinergi. Kita bisa saling memberi dan memaksimalkan potensi. Ini
harapan saya. Semoga ibu berkenan dengan harapan ini.
Saya kira cukup sekian dulu surat ini. Jika ada salah kata motion maaf.
Tawaran saya ini mohon tidak diartikan sebagai pelecehan. Sama sekali
saya tidak bermaksud seperti itu. Saya bermaksud kita saling memberi
manfaat. Itu saja. Akhirul kalam,
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Hormat saya,
Didik Hamdani, M.T.
Zahrana membaca email itu dengan tubuh bergetar,
mata berkaca-kaca. la tidak tahu apa yang ia rasakan.
Yang jelas bukan bahagia. Ia merasa betapa tidak
mudah menjadi gadis yang terlambat menikah. Dan
betapa susah menjadi wanita.
Jika Pak Didik itu tidak memiliki isteri, katakanlah
duda sekalipun, tawaran itu mungkin akan sedikit
menjadi jendela harapan di hatinya. Tapi ia harus
dijadikan yang kedua. Ia tidak tega. Ia tidak tega pada

perasaan yang akan dialami isteri Pak Didik. Dan ia juga
tidak tega pada perasaan kedua orangtuanya. Mereka
semua tidak siap untuk itu. Bahkan jika mau jujur, ia
sendiri "belum siap", atau lebih tegasnya "tidak siap"
menjadi isteri kedua. Sakit rasanya. Bagaimanapun ia
adalah wanita biasa. Ia adalah perempuan Jawa pada
umumnya, yang benar-benar "tidak siap", atau lebih
tepatnya "tidak mau" dijadikan istri kedua. Atau "tidak
mau" dimadu.
la membayangkan, alangkah tersiksanya, misalnya, bila
ia menerima tawaran Pak Didik itu, ternyata isterinya
tidak setuju. Isterinya itu lantas melabraknya dan
mengatakan kepadanya,
"Hai perawan tua tengik, memang di dunia ini sudah
tidak ada lelaki sehingga kamu tega merampas suami
orang! Dasar perawan tua! Suka merusak pager ayu
orang saja!"
Ia tidak tahu akan menjawab apa.
Maka begitu ia selesai membaca email itu, yang ia
lakukan adalah men-delete-nya tanpa me-reply sama
sekali. Ia menganggap email itu tak pernah ada.
Matanya masih berkaca-kaca.
* * *

Tiga
Bumi terus berputar pada porosnya. Detik berkumpul
menjadi menit. Menit berkumpul menjadi jam. Jam
berkumpul menjadi hari. Minggu berkumpul menjadi
bulan. Ternyata sudah enam bulan Zahrana mengajar di
STM. Namun masalah utamanya belum juga selesai.
la belum juga mendapatkan jodohnya. Setelah
mendapat tawaran dari Pak Didik, sudah ada dua orang
yang maju.
Tapi entah kenapa ia tidak sreg. Hatinya belum cocok.
Yang pertama dibawa oleh teman ayahnya. Seorang
satpam di sebuah Bank BUMN. Ia tidak lagi melihat
status. Satpam atau apapun tak jadi masalah. la tidak
sreg karena satpam itu tidak bisa membaca Al-Quran
sama sekali. Sekali lagi, tidak bisa membaca Al-Quran
sama sekali. Shalat juga dengan jujur diakuinya tidak
pernah lengkap. la hanya membayangkan akan jadi apa
anak-anaknya kelak jika ayahnya sama sekali tidak
mengenal Al-Quran. Dalam bahasa dia, buta Al-Quran.
Dan alangkah beratnya mengajari ngaji suaminya dari
nol. Juga mendisiplinkan shalatnya dari nol. Akhirnya
tanpa berpikir panjang ia lebih memilih menunggu yang
lain.
Orang yang kedua, yang maju melamarnya dibawa oleh
temannya sendiri, Wati. Seorang pemilik bengkel
sepeda motor. Duda beranak tiga. Status duda dengan
berapa anak juga sebenarnya tidak masalah baginya. Ia
tidak mungkin cocok dengan duda itu, karena ia telah
kawin cerai sebanyak tiga kali dalam waktu tiga tahun.



to be continued.....


Kirim email ke