Asyik juga menyimak opini Siti Musdah Mulia (SMM) orang Bugis vs Abah H. M. Nur 
Abdurrahman (HMNA) orang Makassar. Sayangnya ibu Siti Musdah Mulia bukan member 
WM sehingga tidak dapat menggunakah hak jawab atas tulisan Abah HMNA di sini.

Saya tidak dalam kapasitas membela siapapun, hanya ingin mencoba sedikit share 
komentar dan menyampaikan pertanyaan ulang yang seharusnya dijawab :

Ibu SMM itu amat resah dan gelisah dan dengan niat ingin memberdayakan kaumnya, 
tidak rela Islam dipahami sedemikian rupa oleh tafsir yang dikritiknya dengan 
lebel Kelompok Fundamentalis Islam (KFI) -- sementara Abah HMNA lebih enjoy KFI 
itu tidak lain adalah Ahlu Sunnah wal Jama'ah -- yang dianggap menempatkan 
wanita senantiasa dalam posisi sebagai korban.

Sayang sekali saya belum menemukan bantahan atau sanggahan abah HMNA dalam 
postingan ini, benarkah islam di mata KFI atau ahlu sunnah wal jamaah, menurut 
ibu SMM memposisikan kaum wanita sebagai korban ??.

Justru Abah lebih banyak menyoroti cara pandang atau pola pikir ibu SMM sebagai 
pengusung ide Sekularism, Pluralism dan Liberalism yang senantiasa menempatkan 
wahyu di bawah akal manusia. Dengan demikian produk yang dihasilkan kelompok 
ini senantiasa menjauh dari wahyu.

Padahal sebenarnya dalam tataran implementasi maka wahyu itu bisa implemented 
apabila ditafsirkan atau dijabarkan dalam tataran yang lebih teknis lebih 
operasional pastilah melibatkan akal manusia. Pada zaman Nabi Muhammad tidak 
terlalu menimbulkan multi interpretasi karena Nabi Muhammad mampu tampil 
sebagai penafsir tunggal yang otoritasnya tidak diragukan dan kredibelitas 
tidak terbantahkan.

Nah bagaimana dengan era sekarang, di mana Nabi Muhammad sudah tiada dan 
peninggalan berupa hadits kadang tidak cukup memadai menjawab persoalan 
kontemporer era sekarang yang tentu jauh lebih kompleks dibanding era Nabi 
Muhammad. Pendekatan atsar saja tentu tidak cukup untuk menjawab problem 
kontemporer era sekarang, maka kalau akal disingkirkan lantas alat apa yang mau 
dipakai, bukankah ijtihad adalah mustahil tanpa melibatkan aqal, keberanian 
menarik qiyas atau analogi adalah keberanian akal juga. Lantas apa batasan aqal 
itu tunduk pada wahyu kalau wahyu tidak diimplementedkan dengan akal ??

Barangkali ada baiknya Abah fokus menjawab sanggahan ibu SMM yang melontarkan 
opini sebagai sanggahan atau jawaban atas pertanyaan ibu SMM sebagai berikut :

1) Benarkah qur'an yang turun di tanah arab yang berkultur patriarkhis itu 
selalu menghalangi peran wanita untuk berkontribusi atau berpartisipasi secara 
maksimal sejajar dengan kaum pria ?? benarkan wanita itu hanya boleh 
berpartisipasi di level domestik belaka, sementara di level politik di depan 
publik hanya kaum pria saja ?? dengan kata lain benarkah wanita itu menjadi sub 
ordinat kaum pria alias warga negara kelas dua ??

2) Beranikah kita menilai bahwa Iran di bawah Khomeni yang membatasi hak-hak 
kaum perempuan di ruang publik, Sudah di bawah rezim Omar Bashir yang 
memarjinalkan kaum perempuan untuk mendapatkan acces pendidikan, Afghanistan di 
era Taliban merumahkan kaum perempuan (dengan melepaskan partipasi mereka 
sebagai karyawati pemerintah, melepaskan posisi sebagai pejabat publik seperti 
guru, hakim, pengacara, pengusaha), interaksi dengan dunia luar hanya melalui 
jendela, perempuan wajib mengenakan Burqah. Adalah contoh negara muslim yang 
menjauhi nilai dasar islam ??

3) Mengapa penerapan PERDA Syari'at merujuk syari'at islam yang versi textualis 
tanpa memperhatikan faktor context historis dan politis ajaran islam, bahkan 
syari'at yang diterapkan tidak kritis dan rasional seperti UU Perkawinan, UU 
Pornografi, Perda wajib jilbab, Fatwa MUI yang mengharam perempuan keluar malam 
tanpa disertai mahram serta Perda larangan prostitusi dan penerapan hukum rajam 
bagi pezina di Aceh.

Mohon pencerahan Abah.

Wassalam
Abdul Mu'iz 

--- Pada Ming, 8/8/10, H. M. Nur Abdurahman <mnur.abdurrah...@yahoo.co.id> 
menulis:

Dari: H. M. Nur Abdurahman <mnur.abdurrah...@yahoo.co.id>
Judul: [wanita-muslimah] Seri 935 Refleksi Kritik Siti Musdah Mulia atas 
Fundamentalisme
Kepada: tahajjud_c...@yahoogroups.com, wanita-muslimah@yahoogroups.com, 
tadab...@yahoogroups.com, "Sabili" <sab...@yahoogroups.com>, 
relex...@yahoogroups.com, "muslim arema" <muslim-ar...@yahoogroups.com>, 
mayapadapr...@yahoogroups.com, mangaj...@yahoogroups.com, 
lautan-qu...@yahoogroups.com, jamaah-islami...@yahoogroups.com, 
info_is...@yahoogroups.com, "bugin...@yahoogroups." <bugin...@yahoogroups.com>
Tanggal: Minggu, 8 Agustus, 2010, 6:10 AM







 



  


    
      
      
      BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM



WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU

[Kolom Tetap Harian ajar]



935 Refleksi Kritik Siti Musdah Mulia atas Fundamentalisme



Saya mulai dengan mengutip cuplikan tulisan Siti Musdah Mulia (SMM) yang 
daimbil dari: => http://kalyanamitra.or.id/newsdetail.php?id=0&iddata=94

"Pada umumnya gejala fundamentalisme Islam mengambil bentuk intensifikasi 
penghayatan Islam dalam format yang sangat tekstualis, baik dalam bentuk 
intensifikasi keislaman yang berorientasi ke dalam (inward oriented) yang lebih 
bersifat individual (psikologis), maupun yang berorientasi ke luar (outward 
oriented) yang lebih bersifat social-politik. Kelompok fundamentalis Islam 
(KFI) secara esensial memperjuangkan Islam sebagai pedoman hidup menyeluruh. 
Islam yang mencakup seluruh aspek dalam kehidupan manusia: mecakup system nilai 
dan system hukum. Islam berisi ajaran yang serba lengkap. Karena itu, 
istilah-istilah ekonomi Islam, politik Islam, keluarga Islam, Negara Islam, 
bank Islam, Ilmu pengetahuan Islam mendominasi retorika kelompok ini. 



Berbeda dengan kelompok pembaru (modernis) yang menenkankan pada aspek teologi 
atau nilai-nilai, KFI justru menekankan pada aspek fiqh dan memandang fiqh 
sebagai perwujudan dari teologi. Dan keterpaduan teologi dan fiqh ini 
melahirkan suatu komunitas Islam yang unik. Bagi mereka, Islam adalah identitas 
dalam kehidupan sosio-politik. Namun, secara sosiologis, pandangan 
fundamentalisme tidak memiliki masa depan Islam dimanapun, termasuk di 
Indonesia. Hal itu mengingat tendensi mereka yang menekankan literalisme 
sehingga pada gilirannya mengalami pemiskinan intelektual. 
Alternatif-alternmatif mereka yang sangat terbatas dan konsep-konsep mereka 
secara intelektual miskin itu tak bakal mampu menopang tuntutan-tuntutan zaman 
yang semakin meningkat."



Refleksi:

Secara sinis SMM memakai ungkapan KFI, padahal kalau disimak lebih jauh dan 
teliti, bukankah  KFI itu bermakna AhlusSunnah? Dalam Bedah Buku Kiamat Segera 
Tiba, Karya Prof HA Halim Mubin (HM) pada 28 Juli 2010, antara lain saya 
kemukakan: 



Berbeda dengan kebiasaan umum, saya mulai dengan kesimpulan: Karena seperangkat 
postulat (unproven statements) dari HM diambil dari ayat-ayat Al-Quran, maka 
ijtihad HM itu tidak merusak Aqidah, sehingga ijtihad HM kalau benar pahalanya 
dua, bila salah pahalanya satu, seperti juga yang dikemukakan Prof Azhar Arsyad 
dalam sambutannya. 



Ijtihad HM ini sangat jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para penganut 
"Islam" Liberal yang mereka dalam exegesis kontekual ayat Al-Quran memakai 
postulat produk benak manusia yaitu sekularisme, liberalisme, pluralisme dan 
genderisme (kesetaraan gender), yang memposisikan Wahyu di bawahnya akal 
manusia. 



***



Sekularisme, liberalisme dan genderisme tidak perlu dijelaskan lebih jauh, 
orang sudah faham. Lain halnya dengan prularisme. Beberapa pandangan ttg 
pluralisme:



Tokoh sufi Ibnu Arabi (560-638H/1165-1240M): Wihdatu al-Adyan (integrasi 
agama-agama). John Harwood Hich dalam bukunya God and the Universe of Faiths 
(1973): the Universe of Faiths. Komunitas Utan Kayu (sarangnya Jaringan Islam 
Liberal) dalam situs ww.islamlib.com: semua agama itu sama dan paralel, dan 
kita tidak boleh memandang agama lain dengan kacamata agama kita sendiri, tidak 
boleh ada truth claim dan salvation claim. Prof Syafii Maarif (SM) dalam acara 
Kick Andy, 29/7-2010: Pluralisme harus mendapatkan perhatian utama, karena 
bangsa Indonesia lahir dari banyaknya suku-suku yang bersatu. The Random House 
Dictionary of the English Language, p.1022: Pluralism, a theory that there is 
more than one basic principle. Beberapa pandangan (termasuk SM) yang 
mengacaukan makna pluralisme yang menganggap sama dengan istilah pluralitas. 
Istilah ini diadopsi dari plurality, yang menurut The Random House Dictionary 
of the English Language, p.1022: "the state or
 fact of being numerous." 



Jadi sesungguhnya ada perbedaan antara pluralisme dengan pluralitas. Pluralisme 
itu semacam teori sedangkan pluralitas adalah keadaan atau fakta keberagaman. 
Perbedaan di antara keduanya sebenarnya tidak terlalu musykil difahami jika 
mengacu pada Firman Allah SWT: 

-- LKM DYNKM WLY DYN (S. ALKFRWN, 109:6), dibaca: lakum di-nukum waliya di-n, 
artinya: 

-- Untuk kamu agamamu, dan bagiku agamaku. 



Jadi sekali lagi ditekankan: para penganut "Islam" Liberal (antara lain Siti 
Musdah Mulia) yang mereka dalam exegesis kontekual ayat Al-Quran memakai 
postulat produk benak manusia yaitu sekularisme, liberalisme, pluralisme dan 
genderisme, yang memposisikan Wahyu di bawahnya akal manusia. Inilah yang 
diharamkan oleh Fatwa MUI no.7: haram hukumnya dalam konteks pemahaman Jaringan 
Islam Liberal.



Tulisan SMM yang menyatakan: 

Pertama, KFI memperjuangkan Islam hanya sebatas retorika dan kedua, 
alternatif-alternamatif mereka yang sangat terbatas dan konsep-konsep mereka 
secara intelektual miskin itu tak bakal mampu menopang tuntutan-tuntutan zaman 
yang semakin meningkat," itu sama sekali tidak benar, lain yang gatal lain yang 
digaruk. 



Pertama, perjuangan AhlusSunnah bukan hanya sekadar retorika, melainkan fakta 
dan kedua, Al Imam Asy-Syafi'i rahimahullah (150-204 H) menulis sebuah buku 
tentang prinsip-prinsip ijtihad yang dapat digunakan sebagai pedoman. Maka 
lahirlah kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi'i sebagai kitab pertama dalam Ushul 
Fiqh. Dalam hal ibadah mahdhah (ritual), memang berlaku qaidah Ushul Fiqh: 
Hukum asal dalam ruang ibadah mahdhah adalah ikut pada apa yang diperintahkan 
Nash (Al-Quran dan Sunnah), tidak boleh menambahi, ataupun mengurangi. Namun 
dalam hal yang menyangkut mu'amalaat (non-ritual, sosiologis) berlaku Qaidah: 
Semua boleh, asal tidak bertentangan dengan Nash. 



Jadi dalam hal mu'amalaat, kita berlomba-lomba untuk terus berkarya, berkreasi 
seinovatif dan semodern mungkin dalam batas-batas yang tidak bertentangan 
dengan Al-Quran dan Sunnah. Tuntutan-tuntutan zaman yang semakin meningkat 
dapat dihadapi dengan qaidah Ushul Fiqh tersebut. WaLlahu a'lamu bisshawab.



*** Makassar, 8 Agustus 2010

    [H.Muh.Nur Abdurrahman]

http://waii-hmna.blogspot.com/2010/08/935-refleksi-kritik-siti-musdah-mulia.html

   





 



  







[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke