255. Allah, tiada Tuhan melainkan Dia, Yang tetap hidup, Yang kekal 
selama-lamanya mentadbirkan/mengurus (sekalian makhlukNya). Yang tidak 
mengantuk usahkan tidur. Yang memiliki segala yang ada di langit dan yang ada 
di bumi. Tiada sesiapa yang dapat memberi syafaat / pertolongan di sisiNya 
melainkan dengan izinNya. Yang mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan 
apa yang ada di belakang mereka, sedang mereka tidak mengetahui sesuatu pun 
dari (kandungan) ilmu Allah melainkan apa Yang Allah kehendaki (memberitahu 
kepadanya). Luasnya Kursi Allah (ilmuNya dan kekuasaanNya) meliputi langit dan 
bumi; dan tiadalah menjadi keberatan kepada Allah menjaga serta memelihara 
keduanya. dan Dia lah Yang Maha Tinggi (darjat kemuliaanNya), lagi Maha Besar 
(kekuasaanNya).
256. tidak ada paksaan dalam dien / ugama (Islam), kerana sesungguhnya telah 
nyata kebenaran (Islam) dari kesesatan (kufur). oleh itu, sesiapa yang tidak 
percayakan taghut / brhala, dan ia pula beriman kepada Allah, maka sesungguhnya 
ia telah berpegang kepada simpulan / tali  ugama yang teguh yang tidak akan 
putus. dan (ingatlah), Allah Maha Mendengar, lagi Maha mengetahui.
[QS 2:255,256]

************************************************

BISMILLA-HIRRAHMA-NIRRAHIYM

WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU
[Kolom Tetap Harian Fajar]
004. Kursi Iman dan Kursi Ilmu. Dibedakan Tetapi Tidak Dipisahkan

Di dalam diri kita harus disediakan dua kursi, yaitu kursi iman dan kursi ilmu. 
Kedua kursi itu harus dapat dibedakan, tetapi tidak boleh dipisahkan, karena 
keduanya merupakan satu sistem. Kedua kursi itu harus dibedakan, oleh karena 
apabila kita menempatkan sesuatu hal tidak pada kursinya, misalnya suatu hal 
yang harus didudukkan pada kursi ilmu, tetapi kita dudukkan pada kursi iman, 
pikiran kita akan beku, tidak berkembang, karena sesuatu yang patut kita 
pertanyakan, kita tidak berani mempertanyakannya. Sebaliknya, jika sesuatu hal 
yang seharusnya didudukkan pada kurasi iman, tetapi kita dudukkan pada kursi 
ilmu, maka iman kita akan cacat, karena kita akan mempertanyakan sesuatu, yang 
sepatutnya kita tidak boleh mempertanyakannya.

Uraian di atas itu berpangkal pada perbedaan sikap dalam beriman dan berilmu. 
Sikap kita harus skeptik, jika kita menghadapi obyek ilmu. Apakah yang menjadi 
obyek llmu itu? Yang menjadi obyek ilmu adalah produk akal manusia. Yaitu fakta 
dan hasil penafsiran manusia terhadap fakta itu, yang lazim disebut dengan 
teori ataupun hipotesa. Dan apakah fakta itu? Fakta adalah hasil observasi dari 
sumber informasi yang dapat ditangkap oleh pancaindera secara langsung, maupun 
secara tidak langsung. Maksudnya dideteksi terlebih dahulu oleh instrumen dalam 
laboratorium. Skeptik berarti ragu, tidak menolak, tetapi belum menerima, dan 
sebaliknya tidak menerima, tetapi belum menolak. Sikap ragu itu akan berakhir 
dengan menerima, atau menolak, tergantung hasil jawaban pertanyaan-pertanyaan 
berikut: Betulkah begitu? Apa fakta-fakta yang menguatkan pembuktian itu? 

Sebalikanya, kita tidak boleh bersikap skeptik terhadap obyek iman. Terhadap 
apa yang harus diimani, akal kita tidak boleh bertanya seperti rentetan 
pertanyaan dalam berilmu di atas itu. Dan apakah obyek iman itu? Obyek iman itu 
berasal dari sumber informasi berupa wahyu dari Allah SWT yang diturunkan 
kepada para nabi dan rasul. Informasi wahyu ini tentu saja yang otentik berasal 
dari nabi dan rasul yang menerima wahyu itu. Apakah kriteria sumber informasi 
wahyu yang otentik itu? Tidak boleh ada penafsiran/interpretasi manusia yang 
disisipkan ke dalamnya. Tidak boleh ada perubahan kalimat ataupun kata, baik 
berupa penambahan, atau pengurangan. Harus dalam bahasa asli bangsa dari rasul 
yang diutus itu. Satu-satunya sumber informasi wahyu yang dapat memenuhi 
kriteria itu adalah Al Quran. Semua wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW 
ada dalam Al Quran yang dituliskan oleh para juru tulis Rasulullah. Itulah 
sebabnya Al Quran (yang dibaca) disebut pula Al Kitab (yang dituliskan). Dan 
tak ada satupun yang bukan wahyu yang ikut dimasukkan dalam Al Quran. Dan Al 
Quran itu adalah dalam bahasa Arab yang dipergunakan oleh suku bangsa Quraisy, 
yaitu suku bangsa di mana Nabi Muhammad SAW tergolong dalam suku itu. 
-- Inna anzalnahu Quranan Arabiyyan la'allakum ta'qilun. 
-- Sesungguhnya Kami turunkan Al Quran dalam bahasa Arab, mudah-mudahan kamu 
pergunakan akalmu (S.Yusuf 1). 
Keadaan Al Quran yang dapat bertahan keotentikannya terhadap zaman, adalah 
konsekwensi logik bahwa Nabi Muhammad Rasulullah SAW adalah nabi dan rasul yang 
terakhir, Khatamun Nabiyyien, penutup para nabi. 

Telah disebutkan di atas iman dan ilmu harus dibedakan, tetapi tidak boleh 
dipisahkan. Karena memisahkan iman dengan ilmu akan mengakibatkan pecahnya 
kepribadian seseorang. Di satu saat ia akan bicara sebagai seorang ilmuwan, di 
satu saat yang lain akan bicara sebagai seorang yang beriman. Misalnya di satu 
saat sebagai seorang pakar kebudayaan, akan memasukkan agama ke dalam 
kebudayaan, artinya agama itu adalah bagian dari kebudayaan, dan di suatu saat 
yang lain ia bicara sebagai orang beriman lalu mengatakan bahwa agama itu bukan 
bagian dari kebudayaan, karena agama itu sumbernya dari  wahyu Allah SWT.  
Apabila ia menjumpai adanya pertentangan antara apa yang mesti dia imani dengan 
yang mesti dia ilmui, dia akan bingung. Salah satu alternatif ini yang akan 
terjadi, ia akan berhenti menjadi pakar dan akan frusturasi, lalu ia akan 
beragama secara dogmatik, akalnya beku, yang akan menjerumuskannya ke dalam 
taklid buta. Atau sebaliknya ia akan memilih ilmunya dan mencapakkan imannya, 
dan menjadi acuh tak acuh terhadap agamnya, menjadi orang agnostik. 

Apabila iman dan ilmu tidak kita pisahkan, kepribadian kita akan menjadi utuh, 
sehingga kita tidak akan terjerumus ke dalam sikap beragama yang bertaklid 
buta, dan juga tidak terjerumus ke dalam sikap yang agnostik. Kalau suatu saat 
kita melihat adanya pertentangan di antara keduanya, kita tambah ilmu untuk 
mendapatkan informasi yang relevan untuk iman kita. Atau kita tinjau kembali 
ilmu kita, melakukan reinterpretasi, penafsiran kembali, karena kebenaran 
ilmiyah itu sifatnya sementara, artinya relatif dalam arti menurut tempat, 
situasi, waktu dan peralatan ilmu bantu. Untuk contoh di atas, kalau kita 
sedikit jeli, mengapa terjadi pertentangan, karena ada agama yang berasal dari 
akar yang historik, maka itu adalah agama kebudayaan, ia termasuk dalam bagian 
kebudayaan. Ada agama yang berasal dari akar yang non-historik, yaitu wahyu, 
maka itu adalah agama wahyu, ia bukan bagian dari kebudayaan. Dan ada agama 
yang sebagian mempunyai akar historis dan sebagian bersumber dari wahyu. Agama 
jenis ketiga ini, sebagiannya menjadi bagian dari kebudayaan, dan sebagiannya 
bukan bagian dari kebudayaan.

Di dalam berilmu ada sebuah pendekatan yang dirasa perlu dikemukakan di sini, 
yaitu pendekatan sistem. Melihat obyek ilmu secara kaffah (totalitas), yang 
mempunyai fungsi dan tujuan, yang terdiri atas komponen-komponen yang mempunyai 
kaitan tertentu antara satu dengan yang lain, dan yang kaffah itu melebihi dari 
sekadar kumpulan komponen-komponen itu semuanya. Pendekatan ini 
dapat diterapkan dalam obyek iman, oleh karena pendekatan ini tidak akan 
merusak iman kita, bahkan Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk memegang 
prinsip kaffah ini, seperti firmanNya dalam S. Al Baqarah, ayat 208: 
-- Ya ayyuhalladziena amanu udkhulu fie ssilmi kaffah, artinya: 
-- Hai orang-orang beriman, masukilah keselamatan secara kaffah/totalitas.

Maka dengan metode pendekatan sistem ini, dapatlah kita menjadikan iman dan 
ilmu menjadi satu sistem, dan terlepaslah  klita insya Allah, yang pakar dan 
bukan pakar, dari bahaya pecahnya kepribadian, terhindarlah kita dari 
alternatif atau beragama yang dogmatik, atau bersikap agnostik, acuh tak acuh 
mencuekkan agama.
WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 10 November 1991
    [H.Muh.Nur Abdurrahman]
http://waii-hmna.blogspot.com/2007/06/004-kursi-iman-dan-kursi-ilmu-dibedakan.html



----- Original Message ----- 
From: "F e r o n a" <cakefe...@gmail.com>
To: <wanita-muslimah@yahoogroups.com>
Sent: Tuesday, July 20, 2010 20:29
Subject: Re: [wanita-muslimah] Allah Tidak Tidur



Pak Sabri,

Senang membaca uraian panjang lebarnya tentang agama. Soal teman saya itu,
saya yakin dia tidak beragama dan kalau ditanya soal tuhan, jawabnya tuhan
baginya antara ada dan tiada, sulit baginya memastikan .. itu jawab
terakhirnya.

Dan saya tidak lagi bertanya lebih lanjut. Biarlah itu jadi urusannya
sendiri ... :)



-- 
Salam Manis,
F e r o n a
http://www.goldoven.com


2010/7/20 TEdJO stSabri <x1...@gmx.com>

>
>
> Dear Ferona,
>
> sejauh ini saya baik-baik saja, walaupun sering henk :D
>
> Kayaknya ada yang sedikit pandangan tentang kawan anda, dia sangat
> religius, kini tidak beragama. Kupikir sangat mungkin seseorang TIDAK
> BERAGAMA Tapi RELIGIUS. Diluar definisi umum Religi = Agama, Religius =
> Beragama. Bagiku sangat mungkin seseorang religius tanpa meyakini satu
> agama-pun, sebagaimana pernah disinyalir oleh ibnu Sinna dalam kitab "al
> Isyarah ..." Secara Pribadi saya sendiri pernah mengalami sebuah periode
> ini, dimana enggan melakukan ritual Agama, tapi sama sekali tidak kehilangan
> Keyakinan Terhadap Gusti Allah, diskusi dengan Gusti Allah (kelihatannya
> seperti Ngomel wong Gusti Allah gak menjawab secara verbal) dikala duduk
> diatas klothok (perahu tradisional khas banjarmasin, barang yang sama di
> samarinda namanya ketinting). dikala berdiri diatas Tumpukan batu bara di
> jaman bergaul dengan dunia hitam itu: (Quit dari dunia batu bara karena
> dilarang Istri).
>
> IMHO, tidak ada hubungan antara Religius dan beragama. Agama adalah sebuah
> Jalan, sebuah Petunjuk, sebuah Guidance. Dalam dunia Ibarat, banyak manusia
> bisa memahami arah tanpa kompas, mengerti jurusan tanpa peta. Masyarakat
> Jawa sebelum Islam masuk, sudah mengenal Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang
> Widhi, artinya masyarakat Jawa sudah Tauwhid sebelum Islam masuk, sehingga
> tidak mengeharankan bila Islam sebagai Agama Tawhid dengan cepat diterima
> masyarakat Jawa. Dan sangat banyak masyarakat lain di permukaan bumi ini
> sudah ber-Tauwhid sebelum "agama" sampai pada mereka.
>
> Tidak sedikit gejala, masyarakat beragama MenuHankan agama itu sendiri
> sehingga "seakan-akan" Tuhan= Agama. CMIIW, kaum Krsitiani menyatakan :
> Tidak akan sampai pada "Bapa" tanpa melalui "Anak. Kaum Muslim juga memiliki
> Aroma ini, Tidak akan sampai pada Tujuan yang benar Tanpa "syahadat". Dalam
> Pikiran Nakal saya, sering terpikir, aroma ini menyempitkan "Kebesaran
> Tuhan". Gusti Allah jauh lebih besar dari sekedar Agama, Tuhan Lebih Agung
> dibanding segala jenis ritual.
>
> Dalam skala pemikiran manusia, tidak pantaskah seorang Mahatma Gandhi
> menikmati Surga (?)
>
> "..." ana al-Haq
>
> wassalam
> ./STS


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke