Investor Butuh Pemerintah yang Profesional

Asmiati Rasyid

DIBUKANYA interkoneksi, penyediaan fasilitas carrier selection, dan number
portability adalah sebagian dari tuntutan wajib liberalisasi kepada
operator incumbent, seperti tercantum dalam WTO Reference Paper on Basic
Telecommunications Services. Alasannya, mendukung iklim persaingan usaha
yang sehat perlu membuka semua penghalang untuk pemain baru. Liberalisasi
dan persaingan bisa dicapai demi meningkatkan efektivitas, efisiensi
pasar, kualitas lebih baik, dan harga terjangkau masyarakat.

TUJUAN ini bisa dicapai pada kondisi tertentu dengan mengikuti proses dan
prosedur pelaksanaan yang benar, yang sayangnya tidak dilakukan di negara
kita. Pertanyaannya, terutama pada masa transisi, apakah semua tuntutan
kompetisi ini bisa diterapkan sepenuhnya di kita?

Minimnya infrastruktur menyebabkan sistem perangkat dan jaringan PT Telkom
selaku incumbent tak siap mendukung kebutuhan pemain-pemain baru. Terutama
kesiapan menyediakan fasilitas interkoneksi atau kanal sewa (leased line)
yang sangat dibutuhkan operator-operator VoIP dan internet.

Selama ini pemerintah tidak memiliki kebijakan, konsep, dan perencanaan
yang matang untuk mempersiapkan badan usaha milik negara (BUMN)- nya
menghadapi perubahan pasar dari monopoli menjadi kompetisi (Kompas,
1/4/2004: Incumbent Canggung Memasuki Era Liberalisasi). Banyak kebijakan
pemerintah yang membuat posisi PT Telkom sulit dan mengalami kerugian
besar. Seperti gagalnya program kerja sama operasi (KSO) yang membebani
BUMN itu sebesar 1 miliar dollar AS lebih untuk penyelesaian kasus dan
pembelian kembali investasi para mitra KSO (buy out) hanya untuk
penambahan 1,2 juta satuan sambungan telepon (SST).

Di negara lain, sebelum liberalisasi dilakukan, operator incumbent yang
biasanya juga BUMN benar-benar telah dipersiapkan pemerintahnya. Terutama
untuk meningkatkan dan memodernisasi sentral dan jaringan. Fasilitas
carrier selection, baik yang secara call-by call basis maupun
pre-selection, diterapkan sejak tahun 2001 sehingga pemakai dapat memilih
operator sambungan langsung jarak jauh (SLJJ) dan sambungan langsung
internasional (SLI) yang diinginkan.

Di negara kita timbul permasalahan siapa yang harus membiayai implementasi
fasilitas ini? Apakah adil jika tuntutan- tuntutan kompetisi ini
dibebankan sepenuhnya kepada Telkom selaku operator incumbent?

Tuntutan liberalisasi harus hati-hati disikapi. Jika pemain baru berbisnis
hanya mengandalkan hak interkoneksi, mereka dapat melakukan cherry
picking, meraup keuntungan dengan memanfaatkan infrastruktur yang telah
tersedia. Akibatnya, meski pasar dibuka, percepatan pembangunan
infrastruktur tidak akan tercapai. Di sini diperlukan intervensi
pemerintah berupa kebijakan spesifik mempercepat pembangunan
infrastruktur, misalnya dengan menerapkan progressive license-fee sebagai
pemacu pemain baru memenuhi target.

Kinerja pemerintah

Perubahan struktur industri dan struktur pasar perlu dilakukan untuk
mendorong pertumbuhan industri ini karena kinerja sektor masih sangat
rendah. Teledensitas PSTN (public switched telephone network/telepon
rumah) baru 4 persen, seluler 14 persen, pendapatan total Rp 40 triliun,
investasi pembangunan dan belanja perangkat ICT tahun 2004 sekitar Rp 1,5
triliun, kontribusi terhadap produk domestik bruto (GDP) kurang dari 2
persen padahal GDP per kapita hanya 800 dollar AS. Jauh tertinggal dari
negara-negara berkembang lainnya, seperti Malaysia, Meksiko, dan India.

Sepatutnya pemerintah punya visi dan strategi yang jelas untuk memosisikan
negara ini dalam era persaingan global. Di beberapa negara, meski
kebijakan pemerintah mendukung kompetisi, ada strategi dan langkah-langkah
yang jelas untuk mempertahankan BUMN- nya agar tetap memenangi persaingan,
seperti France Telecom di Perancis dan Telstra di Australia.

Dalam lima tahun ini, pemerintah harus berusaha meningkatkan investasi
menjadi 5 miliar dollar AS, atau tiga kali investasi tahun 2004. Juga
menarik industri-industri telekomunikasi besar dunia untuk mendirikan
pabriknya di sini, agar tidak hanya menjadi target pasar industri
Malaysia.

Investor tertarik bukan saja ada insentif-insentif yang ditawarkan, tetapi
juga didukung personel pemerintah yang profesional. Perlu menyusun arah
kebijakan dan regulasi yang jelas dan efektif sesuai dengan skala
prioritas dan jaminan kepastian penerapannya. Penetapan suatu kebijakan
seharusnya berdasarkan kajian yang komprehensif dengan melibatkan semua
stakeholders akademisi, politisi, praktisi dan melalui proses konsultasi
publik. Para investor tidak meragukan potensi pasar karena, katanya,
Indonesia merupakan one of the most profitable market.

Asmiati Rasyid Pendiri Center for Indonesian Telecommunications Regulation
Study dan Staf Pengajar Sekolah Tinggi Manajemen Bandung



Visit our website at http://www.warnet2000.net 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/warnet2000/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke