Proyek telepon pedesaan 2005 distop

Meski telah berjalan dua periode yaitu pada 2003 dan 2004, program
uni-versal service obligation (USO) alias pengadaan fasilitas telepon
(fastel) pedesaan ternyata belum sesuai harapan. Di satu sisi, fastel USO
memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pedesaan karena tarifnya dianggap
lebih murah dibanding aksesibilitas menuju wartel yang jaraknya cukup jauh
padahal komunikasi sudah merupakan kebutuhan.

Tapi, di sisi lain, realisasinya masih tersendat-sendat meski USO SO telah
diamanatkan dalam Pasal 16 UU No.36/1999 tentang Telekomunikasi dan
kemudian diatur secara rinci dengan Keputusan Menteri Perhubungan No.
34/2004 tentang Kewajiban Pelayanan Universal. Awalnya, PT Telkom sebagai
pemegang monopoli telekomunikasi diberi kewajiban membangun fastel hingga
di daerah-daerah USO.

Tanggung jawab tersebut diambilalih oleh pemerintah menyusul dibukanya
kom-petisi di sektor telekomunikasi. Realisasi program USO tahap pertama
dimulai pada 2003 dengan menggunakan anggaran APBN sebesar Rp45 miliar
dengan membangun fastel di 3.010 desa mencakup wilayah Sumatra (1.009
SST), Kalimantan (573 SST), KTI (1.388 SST), dan Jawa-Banten (40 SST).

Adapun teknologi yang digunakan pada proyek USO 2003 hanya dua jenis yakni
PSF (portable fixed satellite) sebanyak 2.975 SST dan 35 SST lainnya
menggunakan teknologi VSAT (very small apperture terminal).

Selanjutnya pada periode 2004, dengan anggaran yang besaran dan sumbernya
sama dengan sebelumnya pemerintah kembali melanjutkan pembangunan fastel
USO tapi selain menggunakan teknologi PFS dan VSAT juga diperluas dengan
teknologi radio, seluler, dan IP based dengan total kapasitas sebanyak
2.620 SST. Dalam master plan penyelenggaraan USO, rencana pembangunan
untuk 2005 sebanyak 10.000 SST, 8.000 SST (2006), 7.000 SST (2007), 7.000
SST (2008), 3.000 SST (2009), dan 3.000 SST (2010).

Adapun rencana pembangunan infrastruktur USO mulai 2004 sampai 2010 akan
menerapkan pola pembangunan yang menekan seminimal mungkin beban biaya
operasional sehingga target pembangunan cenderung lebih rendah dibanding
pertumbuhan pendanaan.

Kesulitan dana

Setelah berjalan selama dua periode, ternyata program USO tidak serta
merta memberikan harapan yang lebih baik khususnya bila dikaitkan dengan
upaya untuk memberikan kesempatan akses telekomunikasi yang lebih luas dan
merata bagi masyarakat Indonesia.

Indikasi itu dapat dilihat dari hasil evaluasi pemanfaatan fastel yang
telah dibangun pada periode 2003 dimana sekitar 30% dari total fasilitas
telekomunikasi yang dibangun melalui program USO tidak dipakai dan bahkan
ada yang sudah rusak.

Kondisi tersebut memang banyak menuai kritik sehingga desakan agar
pemerintah segera mengevaluasi pelaksanaan program USO sangat kuat. Tapi,
pemerintah masih dapat ?menghindar? dengan alasan dananya sangat terbatas
sehingga tidak bisa menutupi biaya pemeliharaan dan operasional.

Atas alasan ini pula, pemerintah melalui Ditjen Postel sudah
mengisyaratkan jika program USO untuk periode 2005 pengajuan dananya hanya
difokuskan untuk memenuhi kebutuhan biaya pemeliharaan dan operasional
untuk daerah-daerah yang fastelnya tidak lagi beroperasi. Celakanya,
dengan fokus untuk mengoptimalkan 30% fastel yang tidak beroperasi itu
pemerintah juga mengisyaratkan jika dananya benar-benar minim kemungkinan
pada 2005 tidak ada pembangunan infrastruktur baru.

Pembangunan infrastruktur USO tahun ini praktis hanya mengharapkan
kontribusi sebesar 0,75% dari pendapatan kotor operator karena dengan
kondisi saat ini kemungkinan besar dana dari APBN kalaupun cair akan lebih
kecil dari dua periode sebelumnya.

Kontribusi 0,75% dari operator jika dapat dikumpulkan dengan baik memang
cukup besar yakni rata-rata sekitar Rp300 miliar per tahun. Tapi
masalahnya tidak bisa berharap banyak untuk tahun ini karena Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP)-nya sampai saat ini belum ditandatangani oleh
Presiden meski tekah diajukan sejak masa pemerintahan Megawati.

Kontribusi dari operator memang sudah lazim dalam program semacam USO
termasuk di luar negeri, bahkan Malaysia misalnya, bukan hanya 0,75% tapi
menarik 5% dari pendapatan operator untuk menjalankan program yang sama.

Bagi program USO di Indonesia, dengan target 43.000 desa hingga 2010
secara teoritis agak sulit tercapai jika hanya mengandalkan 0,75% dari
operator kecuali jika ada sumber dana yang lain. Idealnya, jika hanya
mengandalkan satu sumber dari operator mau tidak mau formulasinya hanrus
diubah sedikitnya sebesar 3% karena tidak hanya menyangkut pembangunan
infrastrukturnya tapi juga biaya operasionalnya.

Kurangnya perhatian terhadap masalah operasional memang terbukti sebagai
salah kunci tidak maksimalnya program USO yang ditandai dengan 30%
perangkat telepon pedesaan yang tidak terpakai.

Sebetulnya pemerintah telah menyadari biaya pemakaian telepon USO
khususnya yang menggunakan teknologi satelit masih cukup mahal bagi
masyarakat di pedesaan tapi teknologi tersebut juga mau tidak mau masih
harus tetap digunakan untuk beberapa daerah tertentu yang secara geografis
cukup sulit dijangkau teknologi komunikasi lainnya. Karena dananya masih
tidak menentu, pemerintah sebenarnya tengah mencoba menggunakan strategi
lain dengan menyusun aturan pentarifan khsusus untuk penggunaan telepon
pedesaan berbasis satelit.

Jika kebijakan yang tengah disusun Rancangan Keputusan Menteri (RKM)-nya
tersebut benar-benar bisa direalisasikan mungkin untuk jangka pendek bisa
menjadi solusi untuk mengoptimalkan program USO setidaknya meminimalisasi
jumlah perangkat yang tidak terpakai karena meski nantinya biaya
komunikasinya akan menjadi lebih murah.

Berdasarkan hasil monitoring lapangan yang dilakukan oleh LPM-UGM
diperoleh gambaran tarif telepon USO dari portable fixed satellite (PFS)
ke sesama PFS rata-rata Rp1.656 per menit dan PFS ke PSTN (interlokal)
sebesar Rp2.457 per menit. Sementara tarif dari PFS ke handphone (Jakarta)
sebesar Rp3.960 per menit serta PFS ke handphone (lokal) sebesar Rp2.830
per menit.

Masalahnya kemudian, untuk jangka panjang kebijakan tersebut kemungkinan
sulit dipertahankan karena juga menyangkut bisnis dari operator pelaksana
yang mesti memiliki tanggungjawab sosial juga tetap harus mempertahankan
bisnisnya apalagi jika pemotongan biaya itu tidak diikuti oleh pemberian
subsidi dari pemerintah.

Dalam hal ini akan timbul dilema, karena di satu sisi operator ditarik
dana sebesar 0,75% dari pendapatan kotor tapi juga masih harus menanggung
kekurangan biaya percakapan yang secara teoritis berdampak langsung pada
pendapatan karena masih banyak beban operasional lain yang harus
ditanggung.

Kendala memang masih banyak, tapi mau tidak mau program USO harus tetap
berjalan karena memang sangat dibutuhkan. Dari sisi program mungkin sudah
memadai tapi yang dibutuhkan sekarang adalah strategi untuk menjalankan
program itu yang perlu melibatkan semua stakeholder yang terkait.

Junaidi Halik


Visit our website at http://www.warnet2000.net 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/warnet2000/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke