Maaf numpang lewat....
Duuhh....semakin lengkaplah "citra" negeri tercinta kita Indonesia di mata
dunia....
 
Salam
Asodik
 
-----Original Message-----
From: Riyodian B Pratikto [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Wednesday, March 12, 2003 9:13 AM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: [mpcbda] Kronologis Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO
 
Dear All...
Demi sebuah kemanusiaan dan kemerdekaan yang luhur, mohon informasi ini
disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia. Mudah-mudahan negeri ini tak
terus-menerus menjadi negeri bangsat.....!
Demi kebebasan pers, harap disebarkan ke seluruh penjuru dunia

thx

Kronologi
Penyerbuan Tomy Winata ke TEMPO

Oleh: Ahmad Taufik, Wartawan Majalah TEMPO

Prolog

Peristiwa  yang terjadi pada hari Sabtu, 8 Maret 2003, telah menodai
kemanusiaan dan kehidupan yang beradab di negeri ini. Sekelompok orang
dengan uang yang dimilikinya mengerahkan massa, menteror dan berbuat
sewenang-wenang. Aparat keamanan (polisi) juga tidak berdaya, dan
dipermalukan di depan  masyarakat (minimal saksi mata dan saksi korban). 

Apa yang akan saya ceritakan disini adalah kronologi penyerbuan yang tak
beradab dan penyelesaian akhir yang terputus. Saya sebagai saksi mata, saksi
pelaku sekaligus saksi korban (yang mendengar, melihat dan merasakan
kejadian). Saya akan klasifikasikan secara terbuka dalam laporan ini: apa
itu informasi, yang saya lihat, saya dengar, saya rasakan, analisa atau
kesimpulan. Soal kata akhir terserah masing-masing pihak yang tersangkut
disini, karena saya tidak bisa terima dan sekaligus tertekan secara psikis.

Inilah laporan lengkapnya.

Rabu, 5 Maret 2003 

Saya ditelepon oleh Desmon J.Mahesa, kuasa hukum Tomy Winata. Ia mengatakan
bosnya, Tomy Winata, tak senang dengan tulisan saya di TEMPO edisi Senin, 3
Maret 2003, berjudul "Ada Tomy di Tenabang?". Dia tanya, "Apakah tulisan itu
dibuat BHM (Bambang Harymurti)? BHM itu, kan bekas anak tentara, yang
membenci  Tomy Winata, Artha Graha, karena AG diback-up Edy Sudrajat." 

Saya bilang, "Pada saat tulisan itu jadi BHM sedang berada di luar negeri,
di sini kami bekerja dalam sebuah tim kolektif." 

Desmon lalu bilang, "Akan mengirim surat ke TEMPO." Saya katakan "silakan
saja." Ia mengatakan, "Saya kulonuwun dulu, karena ada senior di sini
(TEMPO, maksudnya saya, sebagai aktivis dulunya) untuk mengirim surat atas
permintaan bos/kliennya." 

Saya sempat memberi tahu kepada atasan saya di kompartemen nasional, dan
beberapa kawan, serta BHM soal rencana Tomy melalui Desmon J. Mahesa akan
mengirim surat ke TEMPO.

Jum'at, 7 Maret 2003

Desmon kembali, menelepon saya, bahwa ia sudah mengirimkan surat somasi ke
TEMPO. Lo, saya kaget juga. Somasi? Saya pikir surat yang dimaksud Desmon
adalah surat bantahan. Saya tanya kapan dikirim? 
"Sudah siang ini," jawabnya. 
"OK, saya cek," jawab saya. 
Baru saya turun ke lantai dua, Wakil Pemimpin Redaksi Toriq Hadad memanggil
saya, bahwa ada surat somasi dari Tomy Winata yang baru diterimanya. Saya
diminta foto copy untuk mempelajarinya, dan mengumpulkan bahan-bahan untuk
bukti-bukti bila kasus tersebut berlanjut ke pengadilan. 

Saya berdiskusi dengan atasan saya di kompartemen nasional. Atasan saya
bilang "cobalah rayu Desmon dulu, mungkin bisa diselesaikan dengan cara
lain." 

Kawan saya dari kompartemen lain, Karaniya Dharmasaputra penanggung jawab
kompartemen Ekbis & Investigasi, juga berusaha menghubungi seorang sumbernya
yang merupakan kawan dekat Tomy Winata. Katanya akan diatur pertemuan dengan
Tomy Winata pada Hari Senin, 10 Maret, mungkin caranya dengan memberikan
wawancara khusus kepada Tomy yang lebih konprehensif seputar isi  berita
sebelumnya.

Saya menelepon Desmon, soal somasi itu. Dia mengatakan akan memberikan
konprensi pers di Restoran Sari Kuring, kompleks SCBD, Sabtu, 8 Maret 2003,
pukul 11.00 siang. Aku menawarkan kenapa dia tidak mengajukan dulu surat
bantahan (yang saya janjikan akan bisa dimuat untuk terbitan mendatang),
"jadi somasinya enak."

Tapi Desmon bilang, "kliennya minta somasi bukan surat bantahan. Lagi pula
bantahannya kan sudah termuat dalam berita itu," kata Desmon. 

Kalau sudah ketetapannya begitu, saya bilang OK-lah. Bahkan Desmon sempat
bilang kirim orang ya ke konprensi pers itu. Saya mengiyakan.

Sabtu, 8 Maret 
Sekitar pukul 10.00 saya sedang menghadiri undangan acara penikahan yang
juga dihadiri Wakil Presiden Hamzah Haz di daerah Condet, Jakarta Timur.
Saya ditelepon seseorang teman seprofesi. "Eh, Tomy marah besar sama TEMPO
soal berita Tanah Abang itu."

"O ya terima kasih," kata saya dan menceritakan soal somasi dan konprensi
pers Desmon, hari ini (Sabtu/11/03). Telepon terputus. Tak lama kemudian
sekretaris redaksi menelepon, "Pik, tolong ke kantor segera, di sini belum
ada orang. Polisi sudah banyak di depan katanya, orang-orang Tomy Winata
akan mendemo kantor TEMPO."

Acara pernikahan belum seluruhnya selesai, saya langsung pulang setelah
mencicipi sedikit nasi kebuli. Saya berjalan kaki mencari taksi di Jln raya
Condet, sunguh sulit, jalan macet. Akhirnya setelah berjalan kaki 15 menit,
saya melihat taksi Blue bird kosong, saya memberi tanda ia untuk memutar
arah. 

Saya akhirnya naik taksi itu sampai ke kantor, memang polisi sudah ada 2
truk, sedang bersiap-siap di dalam pagar TEMPO untuk pengamanan. Saya ke
lantai 3 untuk mengecek e-mail, sambil beberapa kali melihat ke jendela dari
atas ke bawah lapangan parkir. 15 menit kemudian, saya lihat sekelompok
orang (mungkin masih 100-an orang) bertampang sangar menggoyang-goyangkan
pagar gerbang TEMPO. Mereka juga berteriak-teriak, Tutup majalah TEMPO,
Cabut Izinnya, bakar, tangkap dll. Saya berbekal foto copy surat kuasa Tomy
Winata dan somasi yang dikirimkan Desmon, menuju ke bawah, saya berada di
belakang polisi sambil melihat-lihat aksi itu, saya merasa masih biasa-biasa
saja, walapun mereka bertampang sangar dan teriak-teriak. Saya bilang kepada
salah seorang polisi (kalau saya lihat saya ingat orang itu), "Saya minta
perwakilan 2 atau 5 orang untuk masuk ke kantor kami."

Namun, polisi tersebut mengatakan, "Sudah, bapak ke depan saja, beri
penjelasan kepada mereka." 

Akhirnya dengan baca bismilllah, saya ke depan, saya berpikir akan aman, toh
polisi sudah lebih banyak dari mereka (namun saya baru sadar belakangan
semua polisi berada di balik pagar, di dalam halaman kantor TEMPO). Di depan
massa, saya berkata, "Saya sekarang yang sedang bertanggung jawab di kantor
ini, saya akan memberi penjelasan," kata saya sambil membawa kertas surat
kuasa Tomy dan Somasi Desmon. Namun yang terjadi saya ditarik-tarik, ada 4
orang menarik-narik saya ke arah tengah-tengah massa, seorang lagi yang
berada di dekat pagar menarik kerah baju saya (orangnya kurus gondrong, dan
terus ada sampai di kantor Polres). Saya ditarik-tarik, tanpa ada yang
menolong, di depan pagar yang ada polisi, saya bilang, "Buka, buka tolong
selamatkan saya." Tapi pagar tidak dibuka (mungkin polisi punya alasan lain,
takut massa masuk juga). 

Saya sungguh ketakutan, peci putih saya pinjaman ipar saya yang saya kenakan
sejak acara pernikahan melayang dari kepala saya, entah siapa yang
mengambilnya. Saya melihat pintu kecil di pinggir gerbang terbuka, jaraknya
hanya 1,5 meter dari tempat saya ditarik-tarik. Saya berontak dari massa dan
kabur terseok-seok (Alhamdulillah berkat tangan Allah padahal saat
ditarik-tarik saya sudah hopeless). Jari tangan saya berdarah terluka, entah
kena apa? Sampai di dalam gerbang karena terjatuh, dua orang polisi dengan
tongkatnya dari kerumunan itu berusaha akan menggebuk saya, tongkat sudah
diayunkan, tapi hanya jarak dekat tongkat itu tertahan, seorang atau lebih
kawannya saya dengar mengingatkan eeee, itu bukan. Lalu polisi yang akan
menggebuk saya, secara sekilas minta maaf, "Maaf ya, saya kira demonstran,"
katanya.

Saya sudah tak mendengar lagi, karena pikiran saya sudah mulai kalut. Saya
ingat beberapa kawan TEMPO hanya melihat dari kaca di lantai 3 dan beberapa
lainnya dari dalam pagar.

Lalu saya minta kepada seorang polisi, yang lain (bukan yang menyuruh saya
ke depan massa), saya minta perwakilan mereka 2 sampai 5 orang saja, saya
akan menerima mereka, mendengarkan keluhan yang akan disampaikan dan memberi
penjelasan. Saya lalu membawa mereka ke lantai 3, bahkan seseorang di
antaranya (belakangan saya tahu bernama Guntur Medan), mengatakan wah
capeknya nih naik tangga. Saya bilang ya, berbeda dengan kantor Tomy Winata
yang naik lift itu. Saya bawa ke ruang rapat lantai 3 yang sialnya masih
terkinci, tapi belum 2 menit, ruangan itu sudah dibuka oleh pegawai TEMPO.
Saya sempat basa-basi menawarkan minum air, teh atau kopi, tapi mereka
bilang tak perlu. Saya bingung, demontran yang datang bukan dua sampai 5
seperti yang saya minta, tapi belasan orang, saya lihat polisi (saya ingat
tampangnya) menyuruh mereka masuk. 

Saya Tanya siapa saja mereka kok, banyak, saya berpikir kawatir kantor ini
diacak-acak, atau ada barang-barang yang hilang maklum kantor sepi dan tak
jelas siapa yang datang masuk ke kantor. "O,o mereka wartawan," jawab polisi
itu. Ternyata yang berada di dalam ruang rapat belasan orang adalah para
pendukung demo itu, ada beberapa polisi, saya di temani Abdul Manan, yang
duduk di sebelah kiri saya, seorang bagian umum TEMPO, belakangan saya lihat
ada seorang lagi dari TEMPO Bahasa Inggris. Beberapa kawan TEMPO lain tampak
berada di luar ruang rapat.

Saya minta apa keluhan mereka. Saya mengenalkan nama saya, dan kebenaran
saat itu saya bilang saya yang bertanggung jawab, karena yang lain sedang
tidak ada, karena hari Sabtu. Seorang  (yang belakangan bernama Yosep,
menggertak tidak ada orang atau sengaja diliburkan karena tahu kami akan
datang?) Saya bilang sekarang Hari Sabtu, yang masuk hanya yang piket saja,
dan orang yang belum selesai tulisannya. Akhirnya debat yang tak perlu itu
putus. Seorang yang bernama Teddy Uban (tangan kanan Tomy Winata), lelaki
berambut putih berbicara nyerocos, marah-marah. Bahwa TEMPO  menulis hal
yang tidak benar, akibat tulisan itu kantor Bank Artha Graha di
Jln.Jayakarta dilempari telor, "Pak Tomy juga diteror, bahkan Hari Senin,
sejumlah pedagang korban kebakaran Pasar Tanah Abang akan menyerbu kantor
Arta Graha di Jln. Jendral Sudirman. "Kalau nggak percaya gua telepon
Kapolda nih, mau?" kata Teddy.

"Ya, silakan saja," kataku. Dia tampak berusaha menelepon, saya nggak tahu
apakah benar menelepon  Kapolda itu atau cuma gertakan. "Beliau sedang acara
acara nggak bisa diganggu," kata Teddy. Sejumlah orang pengikut Tomy, di
dalam ruang rapat berteriak-teriak mengompori, sahut menyahut, bagi saya itu
biasa terjadi, dalam rapat-rapat. Sudah cukup, saya bilang, "Saya akan
menjelaskan persoalannya." saya katakan, "Saya sudah terima  somasi dari Pak
Tomy melalui pengacaranya Desmon, bahkan hari ini kabarnya akan ada
konprensi pers, kami terima keluhan anda, kami juga sedang berusaha menemui
Pak Tomy, rencananya hari Senin, sekarang kabarnya Pak Tomy sedang berada di
Kendari. Saya terima keluhan anda."

Belum selesai saya omong Teddy sudah menyahut kembali, "kamu kan penulisnya,
kami minta siapa sumber Anda, hayo sebutkan sekarang, tunjukkan kalau Anda
katakan Anda akan aman, akan kami amankan."
Saya bilang, "ada prosesnya seperti yang sudah ada dalam somasi ini," kata
saya menunjukkan somasi, "apa pun ada prosedurnya, orang bersalah juga tidak
langsung dimasukkan ke penjara, tapi ke polisi dulu diproses, ke kejaksaan
lalu ke pengadilan baru masuk ke penjara."

"Ah, lu wartawan taik semua, lu nulis begitu UUD, ujung-ujungnya duit, abis
nulis lu dekati bos gua minta duit, taik lu, " kata Teddy sambil jalan-jalan
di seberang meja, tak lagi duduk.

"Eh... Anda jangan begitu ini penghinaan, mana buktinya, TEMPO tidak seperti
yang Anda sebutkan," kata saya.

"Eeee lu ngomong bolak balik bisa aja," katanya emosi sambil mengambil tisu
kotak kayu dan dilemparkan ke kepala saya, saya tangkis, rupanya kena kawan
saya Abdul Manan yang berada di sebelah kiri saya, kena pas di tengah antara
mata, dan hidung, luka berdarah, seorang bagian umum mengambil betadin dan
mengelapkan betadine ke luka itu, tangan saya yang luka bertambah berdarah,
setelah menangkis itu, dan sambil menjulurkan jari tanda minta diberi
betadine juga.

"Lo, kok  dikantor saya main kekerasan begitu," kata saya kepada polisi yang
berdiri di sebelah kanan saya, yang diam saja. Saya langsung menelepon BHM,
"Udah deh kalau begitu saya telepon atasan saya."
"Panggil kesini segera," kata Teddy dengan suara keras.

Seorang yang bernama Yosep menyela bicara, "Kamu tahu pimpinan kami di
Kendari, berarti kamu mengkuti kemana saja bos kami pergi ya?"

Situasi tak jelas karena banyak yang omong namun yang dominan Teddy, Yosep
yang menekan-nekan dan yang lain bersahut-sahutan.

Saya telepon BHM, sempat saya pada telepon pertama karena saya punya nomor
yang lama. Lalu saya telepon lagi, dan bilang saya tak bisa mengatasi
situasi, saya keluar ruang bertemu dengan Kapolsek Menteng. Saya tanya,
"Bagaimana nih Pak Kapolsek?"

"Gimana ya selesaikan dong, kan anda yang tahu persoalannya," kata Kapolsek
Menteng itu.

Lalu Teddy menelepon, "Nih sudah ada yang nulisnya, disini diapain,"
katanya. Tak lama kemudian lelaki putih, berbaju jeans biru naik  Belakangan
saya tahu bernama David  alias A Miauw (juga dikenal sebagai tangan kanan
Tomy Winata) ia menyerocos terus marah-marah tak jelas minta sumber berita
itu supaya dihadirkan sekarang juga. Bahkan ia menyebut-nyebut soal yang
berbau rasial. "Jangan mentang-mentang Tomy winata, Cina, ya, gua cina, buka
diskotek, buka judi, lalu lu tulis senaknya."

"Nggak begitu Pak David," kata saya," disini kami pluralis tak pandang
suku."

"Lu banyak omong bisa aja balikin omongan orang," katanya sambil dia
nyerocos saya lihat mata dia, "E, mata elu jangan melotot ngeliatin gua
ngomong gua bunuh sekarang lu bisa juga," kata David emosi. Orang asal
Flores, orangnya Tomy Winata mengambil bangku lipat yang ada dikantor mau di
pukulkan ke wajah saya, sudah terayun, begitu juga seorang Flores lain yang
memakai baju safari biru gelap didanyanya tertulis bordiran PMD warna merah.
Mendekati saya mau memukul. Entah kenapa tidak jadi saya dikepruk.

Karaniya (kebetulan dia juga keturunan Cina) masuk, saya bersyukur, karena
David sudah menggunakan ungkapan rasial. Akhirnya Karaniya yang mengambil
alih situasi. Semua penjelasan Karaniya juga tak digubris, dan David serta
kembali memaki-maki, "Elu ngomong kayak berak. Gua tiup mati lu!"

Saya kini hanya lesu tertunduk loyo, sebagai manusia saya akui saya takut
dan merasa tertekan waktu itu, saya cuma telepon kembali BHM, dia sudah
berada di jalan kolong BNI 46, Sudirman. David sudah tak sabar meminta saya
ditangkap, dibawa ke kantor polisi, "Ini sudah ada penulisnya dia yang
bertanggung jawab bawa saja," kata David.

Kapolsek Menteng juga mendesak saya soal penyelesaiannya. Saya bilang,
"Tunggu, pimpinan saya, Bambang harymurti, sudah tak jauh, paling lama 10
menit." Saya masuk ke dalam ruangan, David keluar ruangan menelepon entah
kemana, saya mencoba mencairkan suasana. Saya peluk Yosep dan lelaki berbaju
safari yang bertampang seperti kawan kita di kantor yang berasal dari NTT
juga  Saya bilang Anda dari mana? Dari Flores, "Wah satu tempat dengan saya,
bapak saya dari Waingapu,"
"O, kita satu kampung, untung saya nggak jadi ngepruk kamu," kata Yosep,
"Kamu kenapa ke depan massa untung kamu selamat."

Saya bilang, "Saya berani karena saya pikir yang di depan saudara saya semua
asal flores jadi saya aman," kata saya. Kami mengobrol basa-basi, Yosep
menekan saya, "kamu katakan saja siapa sumber kamu, ayo kamu akan aman, aku
yang jamin deh, udah jangan takut," katanya sedikit merayu. Saya hanya
senyum saja. 

Saya keluar ruangan, tak lama kemudian BHM datang dan mengambil semua
tanggung jawab berhadapan dengan preman yang tak jelas omongannya, kesana
kemari membangga-banggakan diri, mengancam akan membunuh, membakar kantor
ini, menjadikan Humanika kedua, bilang kantor TEMPO ini kecil dibeli sama
Tomy juga bisa. Dia juga menelepon mengendalikan massa di luar untuk terus
menekan. 

David dengan sombong juga mengatakan, soal bom Bali, "Tahu nggak yang
memberi tahu adanya bom Bali pertama kali ke Kapolri, gua, dia belum tahu
gua udah tahu."

Ia juga ngomong soal kebakaran Tanah Abang. "Elu tahu apa soal kebakaran
Tanah Abang. Gua tahu titik api pertama kali, kenapa pemadam kebakaran tidak
bisa masuk ke pasar. Jadi, lu, jangan sok tahu soal kebakaran tanah Abang,"
kata David. Apa maksudnya? 

Akhirnya sampai situasi, harus ke kantor polisi, agar massa di depan kantor
bisa tenang. BHM minta jaminan keamanan dan barikade polisi. Bari kade malah
di dalam kantor, untung di luar turun hujan. BHM tampak naik ke mobil Timor
milik polisi, dan berusaha mempersiapkan tempat untuk saya berdua. 

Tetapi saya ditahan David untuk tidak masuk mobil polisi, saya mulai
khawatir diculik dan dibawa ke tempat lain, saya terus berpegangan erat
dengan Karaniya. Mobil Land Cruiser hitam milik Arta Graha (tampak dari
tanda pengenal diujung kanan dekat sopir) di dalam sudah masuk orang-orang
Tomy winata yang tadi ikut menarik-narik badan saya di tengah massa di depan
kantor. Karaniya menarik seorang polisi (dadan/dadang untuk ikut masuk ke
dalam mobil) di mobil itu sempat bertumpuk-tumpuk. Akhirnya di bangku tengah
kami berempat, sebelah kiri saya Haris Sumbi, Ambon yang tinggal di
Bendungan Hilir, karena saya pernah bertemu dia beberapa kali di Retro,
Hotel Crown, depan Polda Metro jaya, setelah saya ingat-ingat, ia mengiyakan
ingatan saya itu. Sebelah kanan saya Karaniya, sebelah kanan nya lagi polisi
Dadang tadi. Di depan David dan sopir, dibangku belakang tiga orang dari
arthha graha, Yosep, si gondrong kurus yang menarik-narik baju saya di depan
massa dan lainnya. Akhirnya, kami dibawa pergi, dengan suara sirenenya,
nguing-nguing.  

Di dalam mobil, David berkata lewat telepon, "Kantor itu lu segel, nggak
boleh ada seorang pun karyawan TEMPO yang keluar dari situ, sampai persoalan
ini selesai, mengerti?" Katanya entah kepada siapa? Alhamdulillah ternyata
kami bukan dibawa kemana-mana tapi ke kantor Polres Jakarta Pusat. 

Sudah aman di kantor Polres? Nggak juga, David marah-marah kepada Yosep,
"Elu tahu, gua pecat lu, dia kan orang Flores, seharusnya elu yang duluan
ijak-injak dia sampai mati." Sejak saat itu tampang Yosep tak lagi
bersahabat malah menekan-nekan. Dialah yang pertama kali menggebuk wajak BHM
dari belakang di kantor polisi. Buk. Keras juga, sehingga kaca matanya
terpental. David, Teddy, dan beberapa preman lainnya juga memaki-maki dan
mendorong-dorong BHM di depan kantor Kapolres Jak-Pus. 

Saya, BHM, dan Karaniya dibawa ke ruang kerja Kasat Serse Polres Jak-Pus
A.R. Yoyol. Masuk ke ruangan kerja Kasat Serse sekitar 5 polisi (beberapa
berpakaian preman), David, Teddy, Haris Sumbi, dan sekitar 5 orang David
lainnya. David terus mengoceh, soal BHM sebagai komandan yang harus
bertanggung jawab, mengancam akan membunuh. "Lu gue tembak juga deh
sekarang, kalau gue di penjara dan dibunuh disini nggak takut. Mana, mintain
pistol?" kata David. 

Dia ngoceh terus menunjuk-nunjuk saya dan BHM. "Lu, kan, orang pintar kalau
ngua kan nggak makan sekolah, SD aja gua nggak tamat, tapi gua megang tempat
judi di Harco Mangga dua menghidupkan 800 orang, gua bayar mereka Rp 50 ribu
tiap hari, lu bisa?"

BHM berusaha menjawab tudingan David yang tak masuk akal dan tak berdasar,
dan menyebutkan cara penyelesaiannya secara prosedur yang sudah ada,
beberapa polisi reserse ada di dalam ruangan itu juga beberapa orang Tomy
Winata. Dari TEMPO cuma saya, BHM dan Karaniya. Lalu David emosi, dan
menonjok perut BHM, menendangnya dan memukul-mukul kepalanya, "Ini saking
pinternya sampe botak. Karaniya marah dan protes atas perlakuan itu, malah
bogem mentah menghantam wajah sebelah kirinya. Keras juga. Saya hanya diam
saja. Saya lihat apa yang dilakukan David sudah tidak wajar, menghina banyak
orang termasuk polisi dan tentara. "Udahlah polisi sudah gua bayar semua,
lampu disini juga gua yang beliin, gua juga ngeluarin duit buat wartawan Rp
150 juta tiap bulan ada daftarnya. Sutiyoso juga gue yang jadiin sebagai
Gubernur, kalau kagak mana bisa dia jadi gubernur. Udahlah lu nggak ada
ape-apenya jangan macem-macem. Udah deh persoalan ini bisa selesai kalau
Ciputra udah ketemu sama bos gue Tomy Winata. Telepon dia!" kata David.

"Wah saya nggak punya teleponnya, sejak handphone saya hilang," kata BHM.
"Ah lu pemimpin goblok nih gua teleponin," kata David. Dia sambungkan. "Halo
ada yang mau bicara nih,'' telepon David pindah ke BHM. BHM ngomong dengan
Ciputra. Tapi hanya memberitahukan persoalan saja. Kata BHM kemudian Ciputra
bilang kan saya nggak ikut-ikutan urusan redaksi, "Cuma komisaris saja, anda
kan yang tangani." 

Situasi di ruangan Kasat Serse tak jelas. Saya, BHM, dan Karaniya tak
berkutik dan tak bisa melawan. Polisi yang hadir cuma menonton tanpa
berusaha mencegah semua tindakan brutal itu. Belakangan, di situ juga hadir
Kasat serse Yoyol yang datang setelah penggebukan. Tapi David masih berlaku
tak sopan dengan polisi, bahkan merendahkan martabatnya, namun
polisi-poilisi itu menerima saja tampaknya. IRONIS, BAHKAN DI KANTOR POLISI
HUKUM PUN SEPERTI TAK EKSIS.

Tak lama kemudian, David mengatakan, "Sekarang ini di luar beredar kabar
Anda diculik ditangkap, tapi sebenarnya Anda kesini, kan untuk menyelasaikan
persoalannya, ya," kata David menekan-nekan. 

Kami diminta untuk berbicara di lain tempat untuk bersepakat dan berbicara
pada pers, bahwa kami tidak ditangkap, tidak ada kekerasan, tidak ada
penggebukan. Beruntung memang banyak kawan-kawan jurnalis yang ikut ke
kantor Polres, sehingga, tekanan terhadap kami mulai berkurang. Sehingga di
dalam ruangan data di Polres kami mengadakan konprensi pers, BHM lah yang
berbicara dan seorang yang mengaku Habib Hamid Alhamid dari Ambon yang
mengaku punya pengajian membawa 50 orang massa dengan 2 metro mini dan
mendapat makan dari Tomy Winata. 

Saat kami di dalam ruangan untuk konprensi pers, sebenarnya kami masih
tertekan, karena orang-orang Tomy Winata masih banyak di dalam ruang itu dan
depan ruangan konprensi pers. Jawaban-jawaban BHM terkesan diplomatis dan
menghindarkan jawaban-jawaban langsung. Wajar kami sudah hopeless, di ruang
kantor polisi saja orang-orang Tomy Winata bisa berbuat seenaknya. Siapa
yang jamin, apa lagi kabarnya kantor masih disegel dan dijaga orang-orang
Tomy Winata.

Saya lebih banyak diam dan mendengarkan pembicaraan. Kesombongan David,
ancamannya dan penghinaannya terhadap profesi jurnalis dan polisi, begitu
juga setelah dipindahkan ke ruang Kapolres Jakpus dan hadir Kapolres AKBP
Sukrawardhi Dahlan, yang juga tak bisa berbuat banyak. Bahkan, Teddy Uban
lalu mengontak Kapolda melalui HP-nya. Setelah tersambung, HP itu
diserahkannya ke Kapolres. Kapolres terdengar bicara, "Siap, Jenderal. Siap,
Jenderal" Setekah itu ia bilang ke BHM, "Wah, ini sudah jadi urusan di atas.
Saat ini Kapolda sedang membicarakan nasib saya ke Kapolri". Ia lalu
menguliahi kami, bahkan Kapolres cenderung mengarahkan agar TEMPO, membuat
pernyataan permohonan maaf pada Tomy Winata karena berita yang telah dibuat
itu fiktif. Tapi BHM tetap berkelit dan tak mau ada pernyataan itu. 

Yang keluar akhirnya adalah pernyataan bersama, yang dikonsep oleh Karaniya
dan Haris Sumbi (dari pihak Tomy Winata) di ruang lain. Baik David alias A
Miauw dan Kapolres meminta agar TEMPO menyatakan semua kejadian dianggap
selesai disana, namun  berkali-kali soal permintaan maaf TEMPO diminta oleh
David, Teddy, dan kapolres. Tapi BHM bertahan. Akhirnya, pernyataan bersama
itulah yang keluar, yaitu akan menyerahkan persoalan itu dengan lewat jalur
hukum. Di pernyataan itu, David alias A Miauw menyatakan diri sebagai YANG
MEWAKILI TOMY WINATA. Kami keluar dari ruang Kapolres, bersalam-salaman
(hanya basa basi), persoalan sesungguhnya masing menggantung. Kenapa
kekerasan bisa terjadi, bahkan di kantor polisi? Saya sudah putus asa.

Penutup

Saya kawatir sikap kritis jurnalis akan digadaikan dengan ketakutan dan
terror. Baru menghadapi seorang Tomy Winata yang punya saham di Hotel
Borobudur, kelompok Artha Graha Grup, sejumlah tempat hiburan dan judi.
Tekanan yang lebih besar akan terus terjadi dari orang-orang lain yang punya
kekuasaan secara politik, punya uang, punya senjata, punya otorisasi
menangkap, menculik, membunuh dan punya massa. Persoalan ini harus
diselesaikan secara tuntas. Saya minta David, Teddy, Yosep, Hamid Al-Hamid
dkk di proses secara hukum dan adil sesuai andil yang mereka lakukan dalam
terror ini. Juga Tomy Winata dimintai pertanggung jawabannya. Kalau tidak
bakal bisa terjadi pada siapapun dan institusi manapun. Situasi bisa terjadi
seperti Zaman Soeharto (orde baru)  atau bahkan lebih buruk lagi seperti
terjadi di Kolombia, Amerika Latin, ketika mafia kartel barang-barang
terlarang menguasai negeri. Saya tak tahu harus berbuat apa?

Jakarta, 10 Maret 2003, pukul  04.45 WIB

Ahmad Taufik
Wartawan MBM TEMPO 
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta

Catatan:

Mungkin ada yang terlewat, atau kurang jelas, bisa dikonfirmasikan kepada
masing-masing pihak yang saya sebutkan dalam cerita itu di atas. Inilah yang
sementara saya bisa rekam dalam waktu hampir lima jam.. Diselingi minum
pocari sweat, air putih dan madu, sesekali ke kamar kecil. Banyak
teman-teman yang membantu dalam proses pendinginan suasana dan melepaskan
tekanan sedikit semi sedikit, termasuk kawan-kawan jurnalis lainnya, saya
mengucapkan terima kasih. Begitu juga simpatisan yang bergerak untuk melawan
ketidakberadaban itu, baik yang lewat SMS, yang dikirimkan kepada saya dan
kemana-mana, maupun yang membuat pernyataan tertulis, serta aksi-aksi nyata
yang dilakukan. Saya masih tertekan secara psikis, tetapi saya dan
teman-teman di TEMPO tidak takut untuk melawan. Terima kasih




Yahoo! Groups Sponsor


ADVERTISEMENT
 
<http://rd.yahoo.com/M=246920.2960106.4328965.2848452/D=egroupweb/S=17050688
02:HM/A=1481646/R=0/*http:/www.gotomypc.com/u/tr/yh/cpm/grp/300_flake/g22lp?
Target=mm/g22lp.tmpl> 

 
<http://us.adserver.yahoo.com/l?M=246920.2960106.4328965.2848452/D=egroupmai
l/S=:HM/A=1481646/rand=946675063> 

Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of
<http://docs.yahoo.com/info/terms/>  Service. 


--[YONSATU - ITB]----------------------------------------------------------
Online archive : <http://yonsatu.mahawarman.net>
Moderators     : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Unsubscribe    : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Vacation       : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>


Kirim email ke