[yonsatu] Re: Refleksi 21 Maret (Re: tahun tahun penuh warna)

2002-05-23 Terurut Topik Rifki Muhida

Wcds, 
Herman Wijaya (Ankatan 29, Danyon 1998-1999), memang
layak kita berikan applause, untuk langkah "berani"
itu dan keberhasilan membawa batalyon I/ITB melewati
kondisi kritis di tahun 1998, dan itu menurut saya
menandai awal baru batalyon I/ITB dengan cara pandang
baru, yang lebih mandiri. Saya sendiri, seandainya
jadi danyon di tahun 1998 itu mungkin tidak akan
seberani Herman Wijaya, mungkin saya kan memilih jalur
aman untuk keselamatan organisasi, itu tercermin dalam
saran saya ketika itu, supaya batalyon I mengambil
sikap diam sembari mengingatkan kasus 1978. Saya
sendiri ketika itu ragu, apakah Suharto akan mengambil
sikap yang tegas seperti kasus malari (dan kasus
1978)atau dia akan mundur, malah saya lebih berat
kepada yang pertama, dimana suharto akan
mempertahankan kekuasaan dengan cara apa saja. 
Saya mengenal Herman Wijaya, sebagai kader saya yang
sangat kritis, keritisannya itu terkadang membuat saya
takut ketika melibatkan dia dalam berdialog dengan
rektorat, pejabat ABRI atapun pejabat pemerintah,
walau demikian saya tahu bahwa dia adalah salah
seorang kader yang bagus, yang memiliki dedikasi dan
kemampuan untuk memimpin Batalyon I/ITB.
Pada akhirnya, kita tahu, bahwa Suharto mengundurkan
diri, dan Herman Wijaya bersama rekan2 yang lain
berhasil melewati situasi kritis itu dengan benar dan
warna baru atau cara pandang baru telah lahir di
Batalyon I/ITB. Saya baru sadar, bahwa cerita yang
disampaikan pak Joni Saleh memang suatu peritiwa
penting yang bisa dicatat dalam sejarah Batalyon I
ITB. Dan menurut saya layak, untuk selalu diingat, dan
bacakan dalam setiap malam renungan setiap tahunnya
sebagimana kisah2 historis lainnya dalam batalyon
I/ITB. Orang di luar yon I mungkin berpikir itu
peristiwa kecil, dan tidak ambil perduli, namun kita
yang pernah melewatkan hari-hari di batalyon I, dalam
keterpurukan dan kemenangan, dalam cacimaki dan pujian
kawan2 mahasiswa, terasa bahwa itu peritiwa hebat,
karena ada bagian dalam hidup kita menyatu dalam 
corps Menwa ITB.

Rifki Muhida 


--- Akhmad Bukhari Saleh <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Dalam suasana penuh tanda-tanya besar itu, Dan Yon,
> ketika itu sdr. Herman
> Wijaya, mengambil suatu keputusan yang sungguh
> berani. Yaitu mengundang
> saya, kalau tidak salah ingat pada Maret 1998
> (tanggal berapanya barangkali
> Herman Wijaya lebih ingat) untuk memberikan
> pandangan mengenai apa yang
> sebaiknya dilakukan Yon-I dalam situasi dilematis
> itu.
> 
> Mengapa saya katakan "sungguh berani".
> Karena saya pribadi waktu itu dalam status "berkasta
> paria".
> Beberapa bulan sebelumnya, akhir Januari awal
> Pebruari 1998, saya bersama
> beberapa teman lainnya (Arifin Panigoro, Zainal
> Arifin, Andi Sahrandi, yang
> kebetulan semuanya alumni Yon-I) diinterogasi
> Koserse Polri, atas permintaan
> BAIS (sekarang BIA) untuk tuduhan makar/subversif
> hendak menggulingkan
> Soeharto. Walaupun tidak ditahan berlama-lama,
> tetapi berminggu-minggu
> setelah itu saya secara berkala disidik di Mabes
> Polri dan 24 jam
> dibayang-bayangi petugas intel. Sehingga banyak
> teman-teman yang risih
> berada dekat-dekat saya.
> Pada bulan-bulan akhir 1997 dan awal 1998 itu sedang
> berlangsung proses
> pembentukan Yayasan Corps Yon-I, di mana saya
> diminta untuk ikut menjadi
> anggota Badan Pendiri bersama beberapa senior
> lainnya, termasuk juga sdr.
> Arifin Panigoro (Ketua Corps, apa kabarnya ya
> Yayasan ini?). Tetapi ketika
> Arifin dan saya jadi tertuduh makar, ada
> senior-senior tertentu yang menekan
> Dan Yon untuk mencoret nama Arifin dan saya dari
> daftar Badan Pendiri,
> karena "kita perlu clearance bagi dua orang ini"
> katanya.
> Sementara itu sdr. Andi Sahrandi ditekan di
> perusahaan tempatnya berkerja
> untuk mengundurkan diri, karena posisinya sebagai
> tertuduh makar, walau
> bersifat pribadi tetapi "akan  menempatkan
> perusahaan dalam bahaya" katanya.
> Lain lagi sdr. Zainal Arifin, saat itu ia pengurus
> suatu yayasan paguyuban
> ex mahasiswa Bandung yang di tahun 1966 aktif dalam
> gerakan pembaharuan.
> Karena statusnya sebagai tertuduh makar itu Yayasan
> mengadakan rapat untuk
> "mengadili" Zainal, karena kegiatan oposisinya itu
> walau bersifat pribadi
> tetapi dapat "membawa imbas yang membahayakan
> kelangsungan hidup Yayasan"
> katanya.
> 
> Namun walaupun demikian toh Dan Yon Herman Wijaya
> berani mengundang
> salahsatu dari para "paria" ini untuk menjadi
> narasumber utama menyampaikan
> sikap dan pandangannya pada rekan-rekannya di Yon-I.
> Apa yang menjadi pertimbangan Herman Wijaya ketika
> itu memilih saya, sampai
> sekarang saya sendiri tidak tahu.
> 
> Pertemuan diadakan malam hari di salahsatu ruang
> kuliah yang saya tidak tahu
> ruang nomor berapa (jaman saya mahasiswa ruang itu
> belum dibangun), tetapi
> letaknya di seberang Student Center Barat.
> Di situ hadir semua anggota Yon-I yang aktif, para
> pimpinan dan staf, bahkan
> juga para dosen pembina.
> Dan atas permintaan saya, diundang pula, dan hadir,
> teman-teman

[yonsatu] Re: Refleksi 21 Maret (Re: tahun tahun penuh warna)

2002-05-21 Terurut Topik Indradjaja Dalel

Terima kasih info refleksinya bung Djoni. 

"Old Ekek will never die, he just keep coming back when things are not going right". 

Ayolah kita cari jalan supaya "Ekek Baru" dapat mengembangkan sayapnya dan terbang 
tinggi didalam dunia kemahasiswaan masa depan (Indonesia) dengan "bentuk dan 
paradigma" baru yang sesuai.

Wassalam.

 -Original Message-
From:   Akhmad Bukhari Saleh [mailto:[EMAIL PROTECTED]] 
Sent:   21 Mei 2002 23:48
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject:[yonsatu] Refleksi 21 Maret   (Re: tahun tahun penuh warna)

Milis Yon-I/ITB ini haruslah disebut sebagai milis refleksi, milis
kenang-kenangan.
Karena isi postings-nya didominasi oleh refleksi kegiatan masa lalu dari
para members milis ini ketika mereka masih aktif sebagai anggota Yon-I pada
"jaman dahulu".

Mengapa ada dominasi posting yang reflektif itu?
Salahsatu sebabnya tentulah karena memang kegiatan Yon-I sekarang ini tidak
terlalu tinggi intensitasnya, sehingga tidak banyak yang "laik muat" sebagai
postings dalam milis ini. Sehingga berita kegiatan mutakhir menjadi
minoritas di milis ini.
Sebab lain, yang menurut saya lebih menentukan, adalah jangka waktu yang
panjang sejak tahun-tahun awal Yon-I sampai sekarang memang menyimpan banyak
kisah-kisah kenangan. Selama ini tidak ada media untuk menyalurkannya yang
se-instant milis ini, dan sekarang perkembangan teknologi memungkinkan
munculnya kisah-kisah yang reflektif itu. Maka membanjirlah kisah masa lalu
di sini.

Yang namanya "masa lalu" itu pun tidak tanggung-tanggung "ke-antik-annya".
Misalnya kisah-kisah klasik dari Joseph Wardi yang ber-serial, dan dari
Tutun Suntana beserta foto-fotonya, menceritakan kejadian-kejadian yang
berlangsung hampir 40 tahun yang lalu.
Posting yang berjudul "tahun-tahun penuh warna" yang tersebut pada subject
di atas ini, walau di-posting-kan sdr. Edy Christiono dari generasi yang
lebih kemudian, tetapi merupakan refleksi dari kegiatan anggota Yon-I yang
lebih senior pada 30 tahun yang lalu.
Cerita reflektif mengenai meninggalnya siswa latihan dasar Menwa Yon-I yang
dikisahkan generasi yang lebih muda, itu pun suatu kejadian yang terjadi
sudah belasan tahun yang lalu.

Tetapi hari ini saya ingin menyampaikan suatu kisah reflektif tentang Yon-I
yang terjadi belum lama berselang, yaitu di bulan-bulan pertama tahun 1998.
Refleksi ini sengaja saya posting-kan hari ini, karena tepat di tanggal 21
Mei ini pada 4 tahun yang lalu perjuangan para mahasiswa berhasil menurunkan
Soeharto dari tahta kepresidenannya.

Pada bulan-bulan itu para mahasiswa berjuang menggulirkan reformasi, dalam
suatu gerakan yang terus meningkat bagaikan bergulingnya bola salju. Pada
akhir bulan April 1998 intensitas gerakan itu sudah jauh lebih besar
daripada gerakan mahasiswa di tahun 1966 (di mana saya pribadi terlibat
cukup intens), karena kali ini sudah menyebar ke semua kota universitas di
seluruh Indonesia, sedangkan pergolakan 1966 praktis hanya berlangsung di
Jakarta dan Bandung.

Di tengah-tengah gejolak gerakan reformasi itu, para mahasiswa anggota Yon-I
merasa berada dalam dilema.
Ikut terjun ke tengah-tengah demonstrasi mahasiswa dirasakan sebagai tidak
sejalan dengan "garis" pimpinan ITB, padahal selama seperempat abad sudah
ditanamkan doktrin bahwa Yon-I adalah aparat Rektor selaku Kamatrik.
Tidak ikut berdemo dianggap sebagai melawan arus perjuangan para mahasiswa
yang pada saat itu sudah nyata-nyata terlihat sebagai perwujudan dari
aspirasi masyarakat bangsa secara keseluruhan.
Secara simplistis dapat dikatakan bahwa kalau anggota Yon-I ikut demo, lalu
ternyata Soeharto bertahan, maka Yon-I bubar. Dan sebaliknya kalau tidak
ikut demo, lalu ternyata Soeharto jatuh, Yon-I akan bubar juga.
Para anggota Yon-I mendiskusikan langkah apa yang pas, tetapi keputusan
sulit diperoleh. Sementara tanggungjawab pengambilan keputusan yang
menentukan mati-hidupnya Yon-I itu tentu ada pada Dan Yon.

Dalam suasana penuh tanda-tanya besar itu, Dan Yon, ketika itu sdr. Herman
Wijaya, mengambil suatu keputusan yang sungguh berani. Yaitu mengundang
saya, kalau tidak salah ingat pada Maret 1998 (tanggal berapanya barangkali
Herman Wijaya lebih ingat) untuk memberikan pandangan mengenai apa yang
sebaiknya dilakukan Yon-I dalam situasi dilematis itu.

Mengapa saya katakan "sungguh berani".
Karena saya pribadi waktu itu dalam status "berkasta paria".
Beberapa bulan sebelumnya, akhir Januari awal Pebruari 1998, saya bersama
beberapa teman lainnya (Arifin Panigoro, Zainal Arifin, Andi Sahrandi, yang
kebetulan semuanya alumni Yon-I) diinterogasi Koserse Polri, atas permintaan
BAIS (sekarang BIA) untuk tuduhan makar/subversif hendak menggulingkan
Soeharto. Walaupun tidak ditahan berlama-lama, tetapi berminggu-minggu
setelah itu saya secara berkala disidik di Mabes Polri dan 24 jam
dibayang-bayangi petugas intel. Sehingga banyak teman-teman yang risih
berada dekat-dekat saya.
Pada bulan-bulan akhir 1997 dan awal 1998 itu sedang berlangsung proses
pembentukan Yayasan Corps Yon-I, di man