BEDAH BUKU (GATRA, No. 42, 28 Agustus—02 September 2008)

FPI Perlu Meniru Strategi Natsir 

Hasil penelitian lapangan tentang FPI. Menyelami tarik-menarik antara
komitmen moral, godaan finansial, dan friksi internal. Ekspresi
kekerasan ala FPI cenderung berumur pendek. Strategi dakwah damai gaya
Natsir lebih efektif dan tahan lama.


Membaca undangan bedah buku Hitam Putih FPI di sebuah milis, seorang
jurnalis yang biasa memandu talkshow di salah satu televisi swasta
bereaksi spontan. "Hitam-putih FPI? Emang-nya FPI ada putihnya?" ujar
pria berkacamata minus itu, dengan senyum sinis.

Ketika diskusi buku itu berlangsung di Gedung Gatra, Kalibata, Jakarta
Selatan, Kamis 14 Agustus lalu, seorang peserta berkerudung juga
memprotes judul buku itu. Tapi dengan angle berbeda. "Aksi FPI selalu
putih, tidak ada hitamnya," katanya, membela FPI.

FPI --kependekan dari Front Pembela Islam-- adalah organisasi yang
berpusat di Jakarta, yang dikenal luas lantaran lantang merazia tempat
hiburan. Mei lalu, FPI kembali jadi sorotan pada saat terjadi insiden
di Monas. Ketua FPI, Habib Rizieq Shihab, sampai ditahan polisi untuk
kedua kalinya. Kini ia tengah menjalani proses pengadilan.

Mengkaji gerakan sosial sarat pro dan kontra macam FPI rupanya harus
siap menanggung reaksi pro-kontra pula. Walaupun diniatkan seimbang,
bagi yang kontra-FPI, buku itu dinilai lunak. Bagi yang pro-FPI, buku
itu dianggap menyudutkan. "Reaksi pro-kontra itu saya anggap risiko,"
kata Andri Rosadi, penulis buku yang diangkat dari tesis master di
Jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu. "Studi
ini untuk memahami FPI, bukan menghakimi."

Pada saat penelitian, Andri membaur dalam pengajian rutin FPI,
berinteraksi dengan anggota, mendalami kehidupan pribadi mereka, dan
mengamati cara habib mengatasi pengaduan jamaah, mulai agenda
organisasi sampai urusan pribadi. Andri mendapat gambaran model
kepemimpinan Habib Rizieq yang penuh human interest. Bisa dipahami
bila loyalitas anggota amat kuat.

"Habib itu orang paling bijak di muka bumi," ujar Tarmidi, anggota FPI
asal Jakarta Utara yang menghadiri diskusi di Gatra. Dalam
penelusurannya, Andri menemukan anggota yang semula antipati pada FPI
akibat pencitraan media, tapi setelah menyaksikan langsung ceramah
Habib Rizieq berubah jadi terpesona.

Tipologi anak muda yang menjadi anggota FPI juga teridentifikasi.
Sebagian pemuda yang diwawancara mengaku termotivasi masuk FPI karena
haus agama. Kehidupan mereka sebelumnya jauh dari panduan agama. Ada
mantan pemuda nakal dan pernah dipenjara akibat perkelahian. Ia
mengaku tertarik masuk FPI karena nalurinya sebagai petarung cocok
dengan watak FPI yang lugas menindak.

Secara sosial, FPI tidak dilihat sebagai simpul yang berdiri sendiri,
melainkan ditempatkan secara bertalian dengan elemen lain: negara dan
masyarakat sipil. Aksi kekerasan FPI tidak hanya dibaca sebagai
ekspresi problem internal FPI, juga cermin bahwa ada masalah di level
negara. Misalnya, lemahnya penegakan hukum. Juga ada masalah di
tingkat masyarakat, antara lain maraknya penyakit sosial.

Salah satu sumbangan orisinal buku ini adalah temuan friksi internal
antara apa yang oleh sebagian anggota FPI diistilahkan sebagai
"kelompok hitam" dan "kelompok putih". Terjadi rivalitas antara dua
kelompok ini pada lapis kedua di bawah Habib Rizieq. Kelompok hitam
dikatakan berisi kalangan oportunis yang suka mengambil keuntungan
pribadi di tengah aksi FPI.

Bila kehidupan ekonomi oknum oportunis itu mulai mapan, biasanya mulai
malas terlibat aksi. Bila tidak kuat dengan komitmen moral, godaan
finansial anggota FPI amat menggiurkan. "Kalau saya mau jual diri, dua
bulan di FPI saya sudah bisa punya mobil mewah. Saya tidak mau
begitu," kata Tarmidi, anggota FPI yang berkunjung ke Gatra. "Sudah
sembilan tahun di FPI, saya masih pakai motor, kredit belum lunas.
Tapi saya merasa lebih terhormat."

Dengan cara pandang berbasis pemahaman friksi internal itu, sinyalemen
bahwa sejumlah pengusaha hiburan diperas FPI diduga adalah akibat ulah
"kelompok hitam" tadi. Mereka bergerak di luar kendali organisasi.
Pembersihan internal untuk menggulung penunggang gelap itu, kata
Tarmidi, beberapa kali dilakulan. Bahkan Laskar FPI sempat dibekukan,
semata untuk pembersihan tadi.

Yudi Latif, pembedah buku, menilai, sebagai penelitian sosial, buku
itu berada dalam tradisi verstehen (berempati pada objek). "Tugas
penelitian sosial tidak memberikan stempel hitam atau putihnya
gerakan," kata doktor sosiologi politik itu. Tapi bagaimana kita
memahami. Paham tidak berarti setuju.

Kritik Yudi, buku itu kurang mendalami akar sosial FPI. Tiga fase
perkembangan yang banyak dipakai dalam studi gerakan sosial --tahap
persiapan (gestation), pembentukan (formation), dan konsolidasi
(consolidation), kata Yudi, tidak diulas secara mendalam. Bila hal itu
didalami, akan mempermudah memprediksi masa depan FPI.

Ada dua catatan Yudi melihat kemunculan FPI. Pertama, FPI dibaca
sebagai residu ingatan pahit di masa lalu. "Dalam banyak gerakan
sosial di Indonesia, ingatan pedih ke belakang sangat powerful
melahirkan gerakan radikal," ujar Yudi. Tiap pergantian rezim, sejak
masa kolonial, banyak ingatan pedih belum diselesaikan. Akibatnya
berkepanjangan dan menjadi sumber identitas baru.

Kedua, FPI dinilai sebagai cermin masyarakat plural. Dalam latar
demikian, agama menjadi jangkar identitas. Hal itu kian efektif ketika
terjadi pergeseran dari pemerintahan otoriter menjadi pemerintahan
tanpa otoritas. Eksesnya, negara kehilangan daya melindungi warga,
lalu anarki di depan mata. FPI lahir dalam situasi demikian, ketika
negara dipandang tidak menjalankan layanan publik dengan baik.

"FPI harus dibaca secara simptomatik, bagian dari gejala patologi
sosial masyarakat kita yang tanpa otoritas," kata Yudi. "Tanpa ada
penyelesaian persoalan mendasar dan manajemen kekuasan ambruk,
sehingga orang mencari jalan sendiri-sendiri."

Adian Husaini, pengulas yang lain, lebih banyak mengkritik. "Buku ini
katanya untuk memahami FPI, bukan menghakimi. Itu hanya basa-basi.
Buku ini menghakimi," ujar Adian. "Saya berharap, ada teori sosial
baru tentang fundamentalisme. Ternyata tidak ada."

Buku itu, di mata Adian, justru menambah stigmatisasi FPI. Adian
mengkritik ulasan Andri bahwa Habib Rizieq dalam pemikiran fikih
bersifat moderat karena menganut mazhab Syafi'iyah, tapi dalam soal
akidah bersifat tegas akibat pengaruh Wahabisme, mengingat Rizieq
pernah kuliah di Saudi.

Adian menunjukkan buku I'tiqad Ahlussunnah Waljamaah (aswaja) karya
Siradjuddin Abbas yang dirujuk buku Andri. Buku Siradjuddin itu
anti-Wahabi, kata Adian, tapi juga tegas dalam isu akidah. "Jangan
setiap yang tegas soal akidah dibilang Wahabi," tutur Adian.

Ia mempersoalkan rujukan Andri ketika menyimpulkan bahwa konsep
politik aswaja tidak bisa kritis pada penguasa. Sehingga sikap keras
FPI pada penguasa dianggap menyimpang dari teologi aswaja yang dianutnya.

Kritik Adian membuat para penanya, yang sebagian besar simpatisan FPI
dan belum membaca lengkap isi buku itu, meminta buku tersebut ditarik
dari peredaran. Ada pula yang menyoal tiadanya wawancara langsung
dengan Habib Rizieq, tapi hanya merujuk pada buku karya Rizieq. Andri
sendiri berkomitmen mengoreksi yang keliru dan melengkapi yang kurang.

Akhirnya, Yudi Latif menutup diskusi dengan merenungkan efektivitas
jalan kekerasan dalam gerakan keagamaan. Tingkat ketahanan gerakan
demikian, kata Yudi, biasanya tidak lama. Ekspresi kekerasan sering
menyisakan konflik internal, rentan politisasi, dan penyusupan
penunggang gelap (free rider). "Gerakan kekerasan paling mudah
dimasuki penetrasi intelijen," katanya.

Yudi mengingatkan jalan Mohammad Natsir, pemimpin Masyumi. Natsir
punya gagasan negara Islam, tapi selalu berkomitmen memperjuangkannya
lewat jalur konsensual. Ketika menjumpai Darul Islam yang menggunakan
senjata, Natsir menolak. Masyumi kemudian dipatahkan. Natsir bilang,
tidak masalah patah secara politik, ia mengubah strategi dengan
mendirikan Dewan Dakwah.

"Lewat jalur dakwah, perjuangan kami akan menang," kata Natsir.
Melalui jalan dakwah secara damai, ia semaikan Islamisasi di
kampus-kampus terkemuka yang tadinya dikenal sekuler. Islamisasi
berikutnya merambahi birokrasi. Natsir memilih filosofi garam
ketimbang gincu.

Garam yang larut dalam air tak terlihat, tapi terasa. Sedangkan gincu,
walau terlihat mencolok, rasanya hambar. "Harus ada perubahan modus
perjuangan FPI," tutur Yudi. "Kita apresiasi semangatnya, tapi
bagaimana semangat itu tidak backfire bagi perkembangan FPI sendiri."

Asrori S. Karni
  -------------g -------------



Kirim email ke