http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=6280

2009-03-24

"Affirmative Action" vs Suara Terbanyak


Oleh Joseph Henricus Gunawan 



Pesta demokrasi 9 April 2009 tinggal menunggu hitungan hari. Kampanye terbuka 
telah digelar sejak 16 Maret dan berakhir 5 April 2009. Kecemasan aktivis 
gerakan perempuan dan caleg perempuan makin menjadi. Perppu tentang affirmative 
action, yang diharapkan menjadi senjata pamungkas terhadap putusan Mahkamah 
Konstitusi (MK) No. 22-24/PUU-VI/2008, yang mengabulkan gugatan uji materi atau 
judicial review dan mencabut Pasal 214 Huruf a, b, c, d, dan e UU No. 10 Tahun 
2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD 2009, pupus sudah.

Penentuan calon anggota legislatif (caleg) terpilih diubah, tidak lagi memakai 
sistem nomor urut, melainkan suara terbanyak. Mahkamah Konstitusi merasa 
putusan tersebut sejalan dengan semangat demokrasi yang ditetapkan UUD 1945 dan 
mengacu pada UU No.7 Tahun 1984 mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi 
Perempuan yang harus diprioritaskan. Di lain pihak, putusan MK ini meresahkan 
aktivis gerakan perempuan dan caleg perempuan, karena sama saja membatalkan 
legalitas affirmative action yang dengan gigih mereka perjuangkan.

Di kalangan aktivis gerakan perempuan, putusan MK dianggap berbau diskriminatif 
negatif, karena mencabut affirmative action yang di Eropa dikenal sebagai 
diskriminatif positif dan bertujuan mengurangi efek diskriminasi. Putusan MK 
ini menyumbat aspirasi, sebab potensial melemahkan keterwakilan politik 
perempuan di parlemen dan berakibat menjadi penggembosan dan penghambatan akses 
terhadap perjuangan gerakan perempuan untuk melakukan mobilitas sosial politik. 

Mereka menyuarakan perihal mengakomodasi keterwakilan perempuan pada Hari 
Perempuan Sedunia, 8 Maret lalu. Sistem kuota perempuan 30 persen dan 
pencalonan zipper pada setiap daerah pemilihan (dapil) menjadi mandul akibat 
putusan MK. Apalagi, affirmative action telah diberlakukan di belahan dunia, 
seperti alokasi kursi parlemen negara-negara di wilayah Skandinavia. Itulah 
sebabnya, putusan MK dianggap bertentangan dengan makna substantif dan prinsip 
keadilan, sebagaimana diatur UUD 1945.

Upaya mempercepat proporsi keterwakilan politik perempuan di parlemen semakin 
sulit dilaksanakan. Ditambah, ketidakjelasan berlarut-larutnya kebijakan yang 
mengatur setiap tiga caleg terpilih di suatu dapil satu peluang khusus harus 
diberikan kepada caleg perempuan. Sistem suara terbanyak membuka peluang dan 
ruang kompetitif kepada para caleg untuk bersaing memperebutkan mandat rakyat. 

Banyak caleg perempuan berkualitas optimistis bisa menduduki kursi parlemen 
dengan berkompetisi secara bebas terbuka dan all out, habis-habisan, dengan 
caleg lain dan parpol lain dalam memperebutkan posisi pada arena publik. Jadi, 
penetapan caleg dengan sistem suara terbanyak pun belum tentu merugikan caleg 
perempuan yang sudah jauh-jauh hari mengantisipasinya. Perempuan juga tidak 
diuntungkan dan posisi mereka pun belum tentu diuntungkan sebelum adanya 
putusan MK. 


Emansipasi

Laporan KPU menyebutkan, keterwakilan perempuan di DPR pada 2008 sekitar 11,60 
persen dan di DPD sekitar 19,80 persen. Data KPU yang dirilis menunjukkan, 
total caleg tetap untuk Pemilu 2009 mencapai 11.301 dengan perincian, 7.391 
laki-laki dan 3.910 perempuan atau 34,60 persen, padahal jumlah konstituen 
perempuan melebihi laki-laki dengan estimasi sekitar 57 persen.

Kalangan aktivis gerakan perempuan menuntut emansipasi dalam keterwakilan 
politik perempuan. Emansipasi merupakan upaya yang diimplementasikan untuk 
memperoleh hak sipil, hak politik, dan persamaan derajat, bagi kelompok 
masyarakat yang semula mengalami eksklusif, diskriminasi, marginalisasi, dan 
kurang terwakili, dalam hal ini kaum perempuan, yang tidak diberi hak secara 
spesifik. 

Meminjam pemikiran Karl Heinrich Marx (1818-1883), ahli filsafat Prusia yang 
membahas emansipasi politik dalam Zur Judenfrage, yang membutuhkan kesamaan 
derajat warga negara/individu dalam kaitannya dengan negara dan kesamaan di 
hadapan hukum (equality before the law), dalam hal ini tepat. 

Oleh karena itu, putusan MK tidak perlu dirisaukan aktivis gerakan perempuan 
dan caleg perempuan, sebab itu sejalan dengan hakikat demokrasi. Ketentuan 
suara terbanyak harus dihormati sebagai pilihan rakyat, karena rakyat 
berpartisipasi dan terlibat dalam memberikan dukungan kepada caleg yang akan 
menjadi wakil rakyat. 

Implementasi sistem suara terbanyak semestinya hanya mempertontonkan partai dan 
caleg perempuan yang harus memiliki program kerja dengan konsep yang baik, 
jelas dan terfokus. Nantinya, hanya caleg perempuan yang peka, tajam, sensitif 
gender, tepercaya, terdidik akademis, berkapasitas, berintegritas, 
berkompetensi dan berkualitas tinggi saja yang layak dan patut terpilih. 
Hendaknya, anggota legislatif perempuan merupakan cerminan dari pilihan dan 
hati nurani rakyat. Ke depan, diharapkan anggota legislatif terjun ke 
tengah-tengah rakyat, memiliki respons, dan menyerap aspirasi rakyat dengan 
lebih berperan aktif, responsif, dan aspiratif terhadap keinginan rakyat.


Penulis adalah peneliti pada Reformed Center for Religion and Society, alumnus 
University of Sou thern Queensland (USQ), Australia

Kirim email ke