Telah dimuat pada Harian Batak Pos, 16 Juni 2008
 
Antara Artalyta dan Mas/Bang Jaksa 
Oleh Victor Silaen
 
     Pemberitaan media elektronik dan media cetak dalam 
sepekan terakhir ini diramaikan dengan tereksposnya dua rekaman percakapan per 
telepon selular (ponsel) antara seorang warga negara biasa dan dua pejabat 
tinggi di institusi kejaksaan. Dua rekaman itu masing-masing adalah: pertama, 
antara Artalyta Suryani dan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara 
(Jamdatun) Kejagung Untung Udji Santoso; kedua, antara Artalyta Suryani dan 
(mantan) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman.
 
     Sosok Artalyta mulai menarik perhatian publik sejak 2 
Maret lalu, terkait kasus pemberian uang kepada Urip Tri Gunawan, Ketua Tim 
Jaksa dari Kejaksaan Agung, yang menangani kasus Bantuan Likuiditas Bank 
Indonesia (BLBI). Urip Tri Gunawan dianggap telah mencoreng penegakan hukum, 
khususnya pemberantasan korupsi terkait debitur Sjamsul Nursalim (pemilik Bank 
Dagang Negara Indonesia dan Grup Gadjah Tunggal). Minggu sore itu (2 Maret), 
Urip tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika baru 
keluar dari sebuah rumah mewah di kawasan Simprug, Jakarta Selatan, tak jauh 
dari rumah Sjamsul Nursalim. Dari tangannya, KPK menyita uang senilai 660.000 
dolar AS (sekitar Rp 6 miliar), yang diduga uang suap, dari Artalita Suryani -- 
kerabat Sjamsul. 
 
    Yang menarik, Urip selama ini dikenal sebagai jaksa yang 
baik. Mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Bali ini pernah menjadi salah 
satu jaksa yang menangani kasus Bom Bali I dengan terdakwa Amrozi dkk. Suatu 
kali, ia memberikan sepasang sepatu kepada Amrozi – karena si teroris berwajah 
senyum-sumringah itu selalu memakai sandal saat di persidangan. Tak disangka, 
Amrozi menolak pemberian sepatu itu. Alasannya, ia khawatir sepatu tersebut 
dibeli dari uang korupsi Kepala Kejari Bali itu. Saat itu, siapa pernah menduga 
bahwa suatu saat kekhawatiran Amrozi terbukti -- bahwa jaksa yang baik itu 
kelak menjadi (tersangka) koruptor?
 
     Namun, pasca-penggerebekan oleh aparat KPK, Urip 
berupaya membela diri. Menurut dia, uang miliaran yang ia terima dari Artalyta 
adalah hasil jual-beli permata. ”Sejak lama saya mempunyai usaha sampingan jual 
permata. Untuk uang ini pun ada bukti tanda terimanya, tidak ada kaitannya 
dengan perkara. Saya jamin 100 persen,” katanya berdalih. Ketika ditanya apakah 
uang tersebut terkait penghentian kasus BLBI, Urip membantah. ”Kalau 
penghentian kasus BLBI,  itu bukan saya yang menentukan.” Memang, ada yang 
aneh, ketika beberapa hari sebelumnya Kejaksaan Agung mengumumkan penghentian 
pengusutan semua kasus BLBI -- termasuk kasus Sjamsul. Wajar jika aparat KPK 
menduga uang yang ditemukan dalam peristiwa penggerebekan itu sebagai suap atas 
kasus yang ditangani Urip. 
 
     Waktu pun berjalan. Hubungan ”tidak biasa” antara 
Artalyta-Urip semakin terkuak.  Artalyta, dalam rekaman percakapannya 
dengan Jamdatun Untung yang diperdengarkan dalam sidang di Pengadilan Khusus 
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu (11 Juni), antara lain 
mengatakan ”Urip kita, Mas...”. Tidakkah kita merasakan ada sesuatu yang”aneh” 
dalam percakapan itu? Pertama, mengapa Artalyta menyebut Urip sebagai ”Urip 
kita”? Jelas ada hubungan yang ”tidak biasa” di antara Artalyta-Urip. Kedua, 
mengapa Artalyta memanggil Untung dengan sapaan ”Mas”? Ini pun menyiratkan 
adanya hubungan yang ”tidak biasa” di antara Artalyta-Untung. Sebaliknya 
Untung, mengapa ia memanggil Artalyta dengan sapaan ”Dik”? Seberapa akrabkah 
hubungan mereka berdua dan apa yang membuat keduanya menjadi akrab? 
 
    Terkait kasus pemberian uang kepada Urip, ternyata Artalyta 
sebelumnya (1 Maret) sudah menghubungi Kemas Yahya Rahman. Percakapan antara 
Artalyta-Kemas terjadi sehari setelah Kejagung mengumumkan penghentian 
penyelidikan kasus BLBI yang ditangani Kejagung sejak 29 Februari. Dalam 
rekaman percakapan Artalyta-Kemas terungkap bahwa Artalyta memanggil Kemas 
dengan sapaan ”Bang”. Ini pun membuat kita curiga tentang adanya sesuatu yang 
”tidak biasa” dalam hubungan keduanya. Mengapa Artalyta terkesan begitu 
akrabnya dengan Kemas sehingga memanggil pun cukup dengan ”Bang” saja? 
Sebaliknya Kemas, beberapa kali ia terdengar tertawa-tawa dalam percakapan itu. 
Rileks sekali. Terkesan Kemas sama sekali tak berupaya menjaga wibawanya 
sebagai seorang pejabat tinggi negara di depan Artalyta. 
 
     Menariknya lagi, dalam percakapannya dengan Kemas, 
Artalyta sempat menyebut seseorang dengan “julukan rahasia”, yakni “si Joker”. 
Terungkap kemudian, ternyata yang dimaksud si Joker adalah Djoko Tjandra, 
pemilik Bank Bali yang juga debitor BLBI. Tapi, apa menariknya? Pertama, 
hubungan Artalyta-Kemas diduga kuat sudah terjalin cukup lama sehingga keduanya 
bisa menyepakati ”julukan rahasia” terkait diri seseorang. Kedua, jika 
dihubung-hubungkan antara fakta yang satu dan fakta yang lainnya, ternyata 
”julukan rahasia” itu masih berkait erat dengan kasus-kasus BLBI lainnya. 
 
     Tulisan ini tidak bermaksud menganalisa carut-marut 
penegakan hukum terkait megakasus BLBI yang dianggap sebagai salah satu 
penyebab kebangkrutan ekonomi Indonesia pasca-Soeharto. Saya lebih tertarik 
untuk mengajak kita membuka mata lebar-lebar tentang hubungan-hubungan yang 
”tidak etis” dan ”mencurigakan” di antara aparat penegak hukum dan warga negara 
biasa yang bukan pejabat negara. Pertama, meski tidak bisa digeneralisir untuk 
semua kasus atau persoalan, namun tak dapat dibantah bahwa di negara ini ”uang 
bisa mengatur segalanya”. Dalam bidang hukum, ada plesetan ”Kasih Uang Habis 
Perkara” (KUHP). Artinya, perkara yang akan digelar di pengadilan dapat diatur, 
baik tuntutannya maupun keputusannya. Asalkan ada uang, semua beres. Inilah 
praktik konspirasi, kolusi dan korupsi yang harus diperangi. Namun ironisnya, 
praktik itu justru terjadi di institusi-institusi yang berperan penting dalam 
penegakan hukum.
 
     Kedua, terkait itu, inilah kendala besar dalam perang 
melawan korupsi: jika aparat penegak hukum dapat seenaknya saja menjalin 
hubungan dengan warga negara biasa yang bukan pejabat negara. Tentu saja bukan 
maksud saya para jaksa (juga hakim dan aparat lainnya di bidang penegakan 
hukum) tidak boleh berhubungan akrab dengan orang-orang yang bukan pejabat 
negara. Tetapi, bukankah tidak etis dan mencurigakan jika seorang non-pejabat 
negara dapat memanggil pejabat tinggi negara dengan sapaan ”Mas” dan ”Bang” 
atau yang semacamnya, padahal di antara mereka tidak ada hubungan kekerabatan 
atau hubungan lainnya yang ”dapat mengalahkan” keharusan sapaan formal seperti 
”Bapak” atau yang sejenisnya?
 
     Ke depan, tentu saja hal ini perlu diatur menjadi 
semacam tata-tertib atau kode etik bagi para pejabat negara dalam berhubungan 
dengan orang-orang lain yang bukan pejabat negara. Misalnya, pertama, tidak 
memperbolehkan para pejabat negara melakukan pertemuan non-dinas dengan 
orang-orang yang bukan pejabat negara di luar kantor. Kedua, tidak 
memperbolehkan pejabat negara memberitahukan nomor ponselnya, baik secara 
langsung maupun tidak langsung, kepada orang-orang yang bukan pejabat negara. 
Ketiga, tidak memperbolehkan pejabat negara berkomunikasi secara leluasa dan 
intensif dengan orang-orang yang bukan pejabat negara.  
 
     Jika usulan-usulan ini hendak diatur secara baku, 
diperlukan pembahasan yang serius dan mendalam agar tidak bertentangan dengan 
aturan-aturan lainnya. Yang penting digarisbawahi adalah, jangan sampai 
hubungan-hubungan yang ”tidak biasa” dan ”mencurigakan” di antara para pejabat 
negara dan orang-orang yang bukan pejabat negara dapat membuka celah bagi 
terjadinya praktik konspirasi, kolusi dan korupsi. 
 
* Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol.
 


      

Kirim email ke