“Lalu Yesus memandang murid-murid-Nya
dan berkata: "Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang
empunya Kerajaan Allah. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar, karena
kamu akan dipuaskan. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini menangis, karena
kamu akan tertawa. Berbahagialah kamu, jika karena Anak Manusia orang membenci
kamu, dan jika mereka mengucilkan kamu, dan mencela kamu serta menolak namamu
sebagai sesuatu yang jahat. Bersukacitalah pada waktu itu dan bergembiralah,
sebab sesungguhnya, upahmu besar di sorga; karena secara demikian juga nenek
moyang mereka telah memperlakukan para nabi. Tetapi celakalah kamu, hai kamu
yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu.
Celakalah kamu, yang sekarang ini kenyang, karena kamu akan lapar. Celakalah
kamu, yang sekarang ini tertawa, karena kamu akan berdukacita dan menangis.
Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu; karena secara demikian juga nenek
moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi palsu.” (Luk 6:20-26), demikian 
kutipan Warta Gembira hari
ini

 

Berrefleksi
atas bacaan-bacaan hari ini saya sampaikan catatan-catatan sederhana sebagai
berikut:

·   Sabda bahagia serta kutukan atau kritikan yang
disampaikan oleh Yesus pada hari ini kiranya baik sekali menjadi permenungan
atau refleksi kita. (1) Pertama-tama marilah kita refleksikan sabda bahagia,
ajakan untuk tetap berbahagia ketika dalam keadaan  miskin, lapar, 
menderita/menangis, dibenci,
dikucilkan atau dicela, sehingga hati, jiwa, akal budi atau tubuh kita ‘sakit’
atau ‘tersakiti’. Berada dalam keadaan yang demikian itu rasanya merupakan
kesempatan emas bagi kita untuk menyadari dan menghayati jati diri kita yang
sebenarnya, sebagaimana pernah dinyatakan oleh para Yesuit dalam Konggregasi
Jendral ke 32, yang berbunyi: “Yesuit
adalah orang yang mengakui dirinya pendosa, tetapi tahu bahwa dipanggil menjadi
sahabat Yesus seperti Ignatius dahulu; Ignatius minta kepada Santa Perawan,
‘agar menempatkan dia dia di samping Puteranya’, dan kemudian Ignatius melihat
Bapa sendiri minta kepada Yesus yang memanggul salib agar menerima si musafir
ini dalam kalangan sabahatnya” (KJ 32 dekrit 2.1). Kita semua bagaikan
musafir yang sedang mengarungi atau menempuh ‘jalan’ (panggilan atau tugas
perutusan), yang sarat dengan tantangan dan hambatan. Dari diri kita atau
mengandalkan diri yang lemah dan rapuh ini kiranya kita tak akan mampu
mengarungi atau menempuh ‘jalan’ tersebut, maka hendaknya menyadari dan
menghayati kelemahan dan kerapuhan diri serta membiarkan Allah hidup dan
berkarya dalam diri kita yang lemah dan rapuh ini. (2)  Bagi yang merasa 
‘kenyang,
tertawa/bersukacita, dipuji’ alias merasa dirinya hebat dan tak tertandingi
serta tidak butuh bantuan orang lain, hendaknya menyadari bahwa hal itu
merupakan benih kesombongan yang akan mencelakakan. Maka jika berada dalam
keadaan demikian itu hendaknya tetap rendah hati, artinya menghayati bahwa
semuanya itu merupakan anugerah Allah, yang harus kita fungsikan atau
manfaatkan sesuai dengan kehendak Allah.

·   “Saudara-saudara,
inilah yang kumaksudkan, yaitu: waktu telah singkat! Karena itu dalam waktu
yang masih sisa ini orang-orang yang beristeri harus berlaku seolah-olah mereka
tidak beristeri; dan orang-orang yang menangis seolah-olah tidak menangis; dan
orang-orang yang bergembira seolah-olah tidak bergembira; dan orang-orang yang
membeli seolah-olah tidak memiliki apa yang mereka beli” (1Kor 7:29-30),
demikian nasihat atau peringatan Paulus kepada umat di Korintus, kepada kita
semua orang beriman. Peringatan atau nasihat ini kiranya mengajak dan
mengharapkan kita semua agar ‘merelativir’ atau ‘tidak memutlakkan’ segala
sesuatu yang kelihatan atau dapat dinikmati oleh pancaindera kita, misalnya
harta benda/uang, kenikmatan seksual, makanan dan minuman dst.. Semuanya itu
hendaknya dihayati sebagai sarana atau jalan bagi kita untuk semakin beriman,
semakin suci, semakin mengasihi dan dikasihi oleh Allah maupun sesama kita.
Untuk itu saya angkat empat motto hidup beriman atau menggereja: kemandirian, 
subsidiaritas, solidaritas dan
keberpihakan pada atau bersama yang miskin dan berkekurangan. Dua motto
terakhir yaitu ‘solidaritas dan keberpihakan pad atau bersama yang miskin dan
berkekurangan’ rasanya mendesak dan up to date untuk kita hayati dan
sebarluaskan pada masa kini, mengingat dan memperhatikan di satu sisi masih
banyak orang miskin dan berkekurangan dan di sini lain sementara orang kaya
hidup berfoya-foya tanpa batas. Maka dengan ini saya mengingatkan dan mengajak
mereka yang kaya untuk solider pada dan memperhatikan mereka yang miskin dan
berkekurangan. Hendaknya diingat dan dihayati bahwa kekayaan anda diperoleh
tidak terlepas dari mereka yang miskin dan berkekurangan melalui berbagai cara.


Jakarta, 10 September 2008


Kirim email ke