Data Kebiadaban yang Meningkat

Jousairi Hasbullah, penulis, bekerja di Badan Pusat Statistik 
Nyawa manusia di Indonesia semakin hari cenderung semakin tidak berharga. 
Kematian sia-sia berlangsung di mana-mana: di jalan raya, di laut, di udara, 
dan di berbagai tempat. Pada awal Februari ini bahkan seorang Ketua DPRD 
Provinsi Sumatera Utara meninggal di kantornya sendiri di tengah demonstrasi 
massa. Pembunuhan manusia secara tidak langsung juga terus terjadi. Di musim 
hujan, beribu kematian terjadi karena banjir, banjir bandang, tanah longsor, 
petir, dan bencana alam lainnya. Ini hanya beberapa contoh dari sekian banyak 
perilaku manusia yang berujung pada kematian orang lain. Sepertinya kita tengah 
hidup dalam lingkungan bencana dan kebiadaban. Kebiadaban yang didefinisikan 
sebagai uncivilized dan kejam sebetulnya telah menyusup sampai ke desa-desa di 
pelosok. Pertanyaannya, bagaimana spektrumnya? 
Pembaca data statistik yang teliti akan dikagetkan oleh angka yang baru saja 
didiseminasikan akhir Desember lalu oleh BPS mengenai hasil Pendataan Potensi 
Desa 2008. Tindak biadab yang ditunjukkan oleh indikator menunjukkan bahwa 
kejadian pencurian, perampokan, pembunuhan, dan pemerkosaan telah merambah ke 
desa-desa dengan spektrum begitu luas dan masif. Hasil pendataan tersebut 
mengungkapkan, dari 75.378 desa/kelurahan yang ada di Indonesia, 33.683 desa 
mengalami tindak kejahatan pencurian, 2.617 desa mengalami perampokan, dan di 
5.080 desa masyarakatnya mengalami penganiayaan. Hal yang agak sulit dipercaya 
bahwa terdapat 1.844 desa di Indonesia, dari Mei 2007 sampai Mei 2008, 
mengalami kejadian pembunuhan. Kejadiannya menyebar ke seluruh provinsi dengan 
empat provinsi yang menduduki rekor tertinggi: Sumatera Selatan, Lampung, Jawa 
Barat, dan Jawa Timur. Gambaran yang tidak kalah mengerikan, terdapat 2.199 
desa dengan sebaran 657 desa di Jawa dan 1.542
 desa di luar Jawa yang mengalami kejadian pemerkosaan di desa mereka. Di luar 
Jawa, angka tertinggi terjadi di Provinsi Papua (536 desa). Di Jawa Timur 209 
desa, dan Jawa Barat 177 desa.

 
Refleksi kegelapan 
Menyitir kata-kata Julia Kristeva (1982, dalam The Power of Horror), kejadian 
pembunuhan yang masif itu merupakan sisi paling gelap kemanusiaan dari sebuah 
bangsa yang tengah mengalami kegelapan. Kita tidak banyak mengetahui seluas 
mana spektrum geografis kebiadaban serupa terjadi di negara lain. Tetapi, dari 
indikasi-indikasi yang digambarkan melalui data tindak kriminal selama ini, 
kedudukan kita ada kemungkinan hanya disamai oleh negara-negara yang paling 
terbelakang di Afrika. Kecenderungan kebiadaban tersebut merupakan produk dari 
tiga hal sekaligus. 
Pertama, refleksi kegelisahan ekonomi rumah tangga di suatu komunitas. Kejadian 
pembunuhan umumnya dilakukan oleh masyarakat menengah bawah, yaitu mereka yang 
pada posisi transient poverty (kehidupan ekonomi rumah tangga di sekitar garis 
kemiskinan), bukan oleh mereka yang berada di lapisan atas (sejahtera) atau 
mereka yang berada pada situasi chronic poverty. Pada kelompok yang 
dikategorikan sebagai transient, mereka cenderung lebih mudah mengalami tekanan 
kejiwaan, karena mereka telah memiliki pilihan-pilihan dan aspirasi yang luas 
(seperti yang digambarkan oleh Piere Bourdeu sebagai ortodoksi) tetapi belum 
dapat dicapai. Buahnya adalah frustrasi yang tinggi. 
Kedua, seperti yang dikemukakan oleh Robert D. Putnam (1995), adalah akibat 
melemahnya modal sosial, terutama pada dimensi trust (rasa saling percaya), 
sense of efficacy (perasaan berharga), reciprocity (keimbalbalikan pertolongan 
dan pemberian), dan humanity (semangat kemanusiaan) berupa toleransi dan 
semangat menghargai manusia yang lain. Melemahnya keempat komponen modal sosial 
ini mengakibatkan masyarakat kehilangan tujuan dan arah kehidupan yang 
berpengharapan. Mereka juga terjebak pada situasi ketakutan dan kecemasan. 
Ketiga, kebiadaban yang disebabkan oleh kegelapan tuntunan agama. Agama apa pun 
senantiasa memberikan tempat tertinggi kepada kemanusiaan. 

Nihil spectre homini admirabilius (tidak ada yang paling berharga selain 
penghormatan terhadap manusia) adalah serangkaian kata yang membahana pada saat 
awal Renaisans Eropa, dan itu berasal dari dan diilhami oleh ajaran agama. Di 
Indonesia, pertanyaan besar itu jarang dijawab serius. Apakah kita sebagai umat 
beragama merasa telah cukup untuk disebut sebagai manusia beragama, sementara 
kita cenderung mengabaikan kebiadaban: penghancuran lingkungan, pembunuhan, 
penganiayaan, pemerkosaan, perampokan, dan bentuk-bentuk penindasan lainnya 
yang berlangsung di depan mata. Biaya yang sangat mahal kemudian akan kita 
tanggung berupa melemahnya energi integratif kebudayaan. 
Penutup 
Dengan situasi tekanan ekonomi yang tinggi, rendahnya modal sosial, dan 
disorientasi peran agama, masyarakat Indonesia dewasa ini sesungguhnya tengah 
berada pada situasi yang tercerai-berai. Masyarakat yang tercerai-berai dan 
jatuh dalam kebiadaban (uncivilized society), menurut Lewis Hendry Morgan, 
mirip pola kehidupan barbarian society. Suatu situasi yang akan senantiasa 
merintangi terselenggaranya pembangunan dan upaya perbaikan kesejahteraan 
masyarakat. Kejadian-kejadian dan penyebab determinannya sebetulnya telah 
berlangsung cukup lama dari suatu pemerintahan ke pemerintahan yang lain. 
Tulisan ini bukanlah untuk dijadikan konsumsi kepentingan politik sesaat oleh 
kelompok mana pun menjelang pemilu, melainkan untuk menggugah semua pihak bahwa 
ada suatu penyakit besar yang tengah melanda masyarakat dan bangsa kita karena 
ulah kita semua. Tentu saja ini tidak akan dapat diselesaikan dengan 
janji-janji kampanye--pertumbuhan ekonomi, mengatasi pengangguran, dan 
mengurangi kemiskinan semata--tapi semua pihak dituntut lebih sungguh-sungguh 
merevitalisasi kebudayaan. Kita membutuhkan implementasi nyata untuk membawa 
kebudayaan bangsa kepada penghormatan terhadap manusia setinggi-tingginya yang 
menjadi nilai "ultimate" dari misi hidup manusia Indonesia di semua segmen 
masyarakat. Langkah nyata dan besar perlu kita lakukan. Dan kita merindukan 
konsep nyata dari partai peserta pemilu, mengenai jalan keluar mendasar dan 
sistemik untuk mengatasinya. *

 
 
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/06/Opini/krn.20090206.155961.id.html


 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
 
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke