Suara Merdeka 08 April 2009
E - S - A - I Diplomasi Perempuan Jawa Oleh Afidah KETIKA membincang keseteraan gender, kebanyakan orang cenderung berkilbat ke Barat. Padahal di belahan Timur dunia, banyak fenomena kesetaraan gender yang luput dari perhatian kita. Bahkan kiblat itu tak jauh di depan mata, yaitu perempuan Jawa. Perempuan Jawa sering dianggap tak berdaya. Padahal, mereka memikiki peran yang tak terperikan dalam kepemimpinan. Hal itu tak hanya dijumpai dalam realitas masyarakat modern saat ini, tetapi jauh sebelum Indonesia merdeka. Dalam tradisi budaya Jawa, perempuan sering disebut kanca wingking, yang mempunyai makna negatif sebagai ketidakberdayaan. Tetapi mereka juga tertulis dalam tinta emas sejarah, baik di zaman Majapahit maupun Mataram. Anehnya, selama ini masyarakat masih memandang perempuan Jawa dengan wajah ketertindasan. Kaum feminis umumnya melihat kultur Jawa tidak memberi ruang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Apabila melihat relasi kuasa, perempuan melayu (dalam konteks ini Asia Tenggara) tak terkecuali Jawa, terlihat bahwa kekuasaan bisa lahir dari ketakberdayaan. Hal ini sesuai dengan teori kontradiktif yang dipopulerkan Foucault: sesuatu bisa lahir dari hal-hal kontradiktif. Kuasa Wanita Dalam buku Kuasa Wanita Jawa, karya Ardhian Novianto dan Christina Handayani berdasarkan hasil riset yang dilakukannya di Gunungkidul (DIY), perempuan Jawa tak perlu menjadi maskulin untuk mendapatkan kekuasaan, tetapi justru harus memanfaatkan watak feminisnya. Kita bisa membuktikannya dengan melihat realitas terdekat, bahkan di rumah, dengan melihat sosok ibu yang merupakan repesentasi perempuan yang berperan nyata di area domestik sekaligus area publik. Banyak ibu yang berdagang di pasar atau membuka warung di rumah, yang menegaskan mereka telah berperan dalam kegiatan perekonomian, yang notabene berperan di area publik.Inilah yang dimaksud dengan diplomasi perempuan Jawa, yang mana perempuan dengan kekuatan akal, pikir, dan tenaganya dapat mencari solusi atas problem-problem yang ada. Sebuah pekerjaan yang berat memang, mengingat perempuan masih memiliki tugas menjaga anak dan ''mengabdi'' kepada suami. Sebagai seorang ibu, perempuan Jawa bukanlah sosok yang ambisius untuk mendapatkan kedudukan publik tertentu. Melainkan ia memosisikan diri sebagai support untuk keberhasilan suami. Mengedepankan rasa dan bukan emosi dalam menyelesaikan masalah juga merupakan kelebihan yang belum tentu bisa dilakukan lelaki. Ini sekaligus menegaskan, perempuan punya kecerdasan dan bisa mengelola persoalan dengan pikiran dan rasa tersebut. Melihat berbagai alasan atas, rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa perempuan Jawa adalah perempuan yang mempunyai segenap kelebihan, dan karena itu harus dapat diapresiasi. Bukankah demikian? (32) -Afidah, koordinator Lembaga Kajian Gender HMI-wati Cabang Semarang, aktif di Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI).