Salam,


Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa telah terjadi hujatan dan 
penentangan yang begitu keras dan sekaligus membabi buta dari beberapa kalangan 
mengenai kehadiran filsafat ke dalam kajian/wilayah agama. Mereka mengatakan 
filsafat sangat bertentangan dengan ajaran agama, khususnya agama Islam.

 

Apakah betul bahwa filsafat sangat bertentangan dengan agama?

 

Mengutip apa yang dikatakan oleh Al-Kindi, bahwa filsafat dan agama 
sesungguhnya adalah sama-sama berbicara dan mencari kebenaran, dan karena 
pengetahuan tentang kebenaran itu meliputi juga pengetahuan tentang Tuhan, 
tentang keesaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, maka barang siapa saja 
yang menolak untuk mencari kebenaran dengan alasan bahwa pencarian seperti itu 
adalah kafir, maka sesungguhnya yang mengatakan kafir tersebutlah yang 
sebenarnya kafir.

 

Diantara filsuf muslim yang paling peduli untuk menjawab perihal hubungan 
filsafat dengan agama ini adalah Ibn Rusyd. Ibn Rusyd bahkan menulis sebuah 
karya khusus untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya dan seharusnya hubungan 
antara filsafat dan agama. Menurut Ibn Rusyd, antara filsafat dan agama 
sesungguhnya tidak ada pertentangan. Agama alih-alih melarang, bahkan justru 
mewajibkan pemeluknya untuk belajar filsafat.

 

Jika filsafat mempelajari secara kritis tentang segala wujud yang ada dan 
merenungkannya sebagai petunjuk 'dalil' adanya sang pencipta dari satu sisi dan 
syari'ah pada sisi yang lain telah memerintahkan untuk merenungkan segala wujud 
yang ada, maka sesungguhnya antara apa yang dikaji oleh filsafat dan apa yang 
dianjurkan oleh syari'ah telah saling bertemu. Dengan kata lain bisa dikatakan 
bahwa mempelajari filsafat sesungguhnya telah diwajibkan oleh syari`ah.

 

Penekanan al'quran didalam surat 59 ayat 2 yang berbunyi : "Fa`tabiru ya uli al 
abshar" (Renungkanlah olehmu, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan 
(visi)) sesungguhya lebih kepada penekanan pentingnya untuk  menggunakan akal, 
atau gabungan antara penalaran intelektual (filsafat) dan penalaran hukum 
(syari'at).

 

Demikian juga surat 185 ayat 7 yang mengatakan :

 

"Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala 
sesuatu yang diciptakan Allah"

 

Juga adalah ayat yang menganjurkan supaya manusia menggunakan akal dan 
penalarannya untuk mempelajari totalitas wujud. Dengan demikian maka 
sesungguhnya syari`at telah mewajibkan kepada kita untuk menggali pengetahuan 
tentang alam semesta ini dengan penalaran. Namun demikian, untuk bisa melakukan 
penalaran yang benar maka disyaratkan seseorang itu harus mengetahui terlebih 
dahulu beberapa metode atau cara berpikiran yang logis dengan mempelajari ilmu 
logika supaya bisa melakukan pembuktian yang demonstratif.

 

Ibn Rusyd kemudian membandingkan kewajiban mempelajari ilmu logika sebagai alat 
untuk berfilsafat dengan kewajiban yang ditetapkan oleh para fuqaha untuk 
mempelajari katagori-kategori hukum yang termuat dalam ushul al-fiqh.

  

Ibn Rusyd menyatakan jika para fuqaha menyimpulkan kewajiban untuk memperoleh 
pengetahuan tentang penalaran hukum dari ayat "fa`tabiru ya uli al abshar", 
maka alangkah lebih pantas jika ayat tersebut dijadikan sebagai dalil wajibnya 
untuk mempelajari pengetahuan rasional (rasional reasoning) bagi mereka yang 
ingin mengetahui Tuhan dan ciptaan-Nya.

 

Bagi mereka yang tetap ngotot mengatakan bahwa belajar filsafat tersebut adalah 
bid`ah, Ibn Rusyd mengatakan, "anggaplah filsafat itu bid`ah karena tidak 
terdapat dikalangan orang-orang Islam pertama (salaf). Tetapi apakah hal serupa 
tidak berlaku juga bagi studi penalaran hukum (ushul al-fiqh) yang tercipta 
juga setelah periode salaf. 

 

Bagaimana mungkin jika yang satu dikatakan tidak bid`ah tetapi yang lainnya 
dikatakan bid`ah padahal keduanya membicarakan penalaran  hukum dan penalaran 
rasional yang sama-sama diciptakan setelah periode salaf.





Salam,



Iman K.
http://www.parapemikir.com

Kirim email ke