Salam,

Sekarang kita akan melihat secara umum, bagaimanakah sebenarnya hubungan antara 
filsafat dengan mistisisme, yang dalam konteks filsafat Islam disebut dengan 
tasawuf. 

 

Tasawuf dipahami sebagai mistisisme Islam -kadang disebut juga Sufisme- (karena 
dinisbatkan kepada ahli tasawwuf yang disebut sufi). Tasawuf dimasukkan oleh 
Ibn Khaldun ke dalam kelompok ilmu-ilmu naqliyyah (agama). Sebagai salah satu 
ilmu naqliyyah, maka tasawuf, didasarkan pada otoritas, yaitu Al-Qur'an dan 
Hadits, dan  bukan pada nalar rasional seperti filsafat.

 

Tasawuf dan Filsafat memang bisa kita bedakan, karena sementara yang pertama  
bertumpu pada wahyu dan penafsiran esoterik (batini) sedangkan yang kedua 
bertumpu pada akal. 

 

Meskipun begitu, tidak selalu berarti bahwa kedua disiplin ini bertentangan 
satu sama lainnya. Walapun untuk kebanyakan orang, filsafat akan terasa aneh 
karena mereka hanya menafsirkan agama secara harfiah atau eksoterik. 

 

Menurut Ibn Rusyd, kalau terkesan bahwa filsafat seolah-olah bertentangan 
dengan agama, maka kita harus melakukan ta'wil kepada naskah-naskah agama. 
Alasannya adalah karena naskah-naskah agama bersifat simbolis dan kadang 
memiliki banyak makna.

 

Dari sudut boleh tidaknya penafsiran eksoterik atau ta'wil, maka filsafat dan 
tasawuf, seiya-sekata. Tetapi dilihat dari metode penelitiannya maka keduanya 
berbeda.

 

Filsafat memanfaatkan dimensi rasional pengetahuan, sementara tasawuf dimensi 
spiritual. Namun, karena keduanya (dimensi rasional dan spiritual) adalah 
dimensi sejati dari kebenaran sejati yang sama, maka keduanya berpotensi untuk 
saling melengkapi.

 

Menurut Al-Farabi dan Ibn Sina, sumber pengetahuan para filosof dan para nabi 
(termasuk para sufi), adalah sama dan satu, yaitu akal aktif (al-'aql 
al-fa'al), atau malaikat Jibril dalam istilah agamanya. Hanya saja sementara 
para filosof mencapai pengetahuan darinya (akal aktif) melalui penalaran 
akal-beserta latihan yang intensif, sementara para Nabi (sufi) memperolehnya 
secara langsung tanpa perantara, tanpa usaha.

 

Sementara itu, untuk memperoleh pengetahuan para filosof menggunakan penalaran 
diskursif, para Nabi (sufi) menangkapnya lewat daya mimitik imajinasi (menurut 
Al-Farabi) atau akal suci atau intuisi (menurut Ibn Sina).

 

Sehingga bisa kita saksikan bahwa, bahasa filsafat bersifat rasional, sementara 
bahasa profetik/mistik bersifat simbolis dan mitis. Namun menurut kedua filosof 
muslim tersebut, baik filsafat maupun tasawuf berbicara tentang kebenaran yang 
sama. Hanya saja mereka menggunakan cara dan bahasa yang berbeda. 

 

Perbedaan yang mencolok antara modus pengenalan rasional dan pengenalan 
intuitif atau mistik adalah, bahwa pengetahuan akal membutuhkan "perantara", 
berupa konsep atau representasi-semisal kata-kata atau simbol-untuk mengetahui 
objek yang ditelitinya. Dan mungkin karena itu, maka modus pengenalan rasional 
(falsafi) disebut ilmu hushuli (acquired knowledge). 

 

Untuk mengetahui pikiran seorang misalnya, kita harus mempelajari 
pikiran-pikirannya dengan membaca tulisan-tulisan atau mendengarkan 
ceramah-ceramahnya. Berbeda, tentunya, dengan orang itu sendiri, ketika ia 
ingin memahami pemikiran-pemikirannya sendiri, ia tidak perlu atau tergantung 
pada kata-katanya, karena orang itu dapat memahaminya dengan begitu saja, tanpa 
representasi apapun.

 

Oleh karena sifatnya yang tidak langsung itulah, maka pengetahuan rasional 
tidak bisa betul-betul menangkap objeknya secara langsung. Modus pengetahuan 
seperti itu, menurut Rumi, akan sama dengan orang yang berusaha memetik 
setangkai bunga mawar dari "M.A.W.A.R." 

 

Anda, kata Rumi, "tidak akan mampu memetik mawar dari M.A.W.A.R., karena anda 
baru menyebut namanya. Cari yang empunya nama!".

 

Berbeda dengan modus pengenalan rasional, pengenalan intuitif atau mistik 
(seperti yang dialami oleh para Sufi atau nabi) bersifat langsung, dalam arti 
tidak butuh pada simbol atau representasi  apapun. Ia tidak butuh pada bacaan, 
huruf atau bahkan konsep dan sebangsanya. 

 

Contoh yang mudah dari pengenalan seperti ini adalah, misalnya, pengetahuan 
kita tentang diri kita sendiri, atau yang biasa disebut self-knowledge. Untuk 
mengetahui diri kita sendiri, apakah kita perlu perantara, seperti halnya 
ketika kita hendak mengerti orang lain? Tentu saja tidak.

 

Kita tahu tentang diri kita-dengan begitu saja, karena keinginan kita dengan 
diri kita adalah satu dan sama. Pikiran kita misalnya, bahkan bisa dikatakan 
telah menyatu dengan diri kita. Ia hadir dan dan tidak bisa dipisahkan lagi 
dari diri kita. Itulah sebabnya, mengapa modus pengenalan ini disebut ilmu 
hudhuri (knowledge by presence / presential knowledge). 

 

Karena objek yang diteliti (misalnya pikiran atau keinginan) telah hadir dalam 
diri kita, bahkan telah menyatu dalam diri kita, maka terjadi kesatuan 
(identitas) antara subjek dan objek, antara yang berpikir dengan yang 
dipikirkan, antara alim dan maklum. Akibatnya, maka pengetahuan kita tentang 
objek tersebut (yang tidak lain dari pada diri kita sendiri) adalah sama dan 
satu. Di sini kita mengalami bahwa "mengetahui" (to know) adalah sama dengan 
"ada" itu sendiri (to be).

 

Meskipun tasawuf dikategorikan oleh Ibn Khaldun sebagai ilmu naqliyyah (agama) 
dan karena itu berdasarkan pada otoritas, namun menurut kesaksian  Ibn Khaldun 
sendiri dalam Al Muqaddimah-nya, Tasawuf, pada perkembangan berikutnya, telah 
banyak memasuki dunia filsafat , sehingga sulit bagi keduanya untuk dipisahkan. 

 

Dalam kasus filsafat suhrawardi, misalnya, kita bisa melihat bahwa tasawuf 
bahkan telah dijadikan dasar bagi filsafatnya, sehingga orang menyebutnya 
filosof mistik (muta'allih). Sementara pada diri Ibn "Arabi, kita melihat 
analisis yang sangat filosofis merasuki hampir setiap lembar karya-karyanya. 
Sehingga tasawufnya sering disebut tasawuf falfasi. Pada masa berikutnya, kita 
tahu bahwa Mulla Shadra, pada akhirnya telah dapat mensintesiskan keduanya, 
dalam apa yang kita sebut filsafat Hikmah Muta'aliyyah, atau teosofi 
transenden. Disini, unsur-unsur filosofis dan mistik berpadu erat dan saling 
melengkapi satu sama lain.





Salam,





Iman K.

http://www.parapemikir.com


Kirim email ke