---------- Forwarded message ----------
From: Sunny <[EMAIL PROTECTED]>
Date: 2008/10/14
Subject: [nasional-list] Ali Imron: Bom Bali Itu Musibah
To: Undisclosed-Recipient


   http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail&id=11217

Minggu, 12 Okt 2008,



*Ali Imron: Bom Bali Itu Musibah *
****


Tepat hari ini, enam tahun lalu, sebuah bom dahsyat mengoyak kedamaian Pulau
Dewata. Mayoritas korban adalah turis asing yang tengah berlibur. Tiga
pelaku utamanya -Amrozi, Ali Ghufron alias Muklas, dan Imam Samudra- memilih
tidak minta maaf kepada para korban (JP, 5/10). Sedangkan Ali Imron, 38,
justru menyesali terlibat dalam peledakan yang menewaskan 202 orang
tersebut.
Mengapa Ale -sapaan Ali Imron- berbeda pandangan dengan mereka? Apa pula
tanggapan terpidana seumur hidup itu atas rencana kejaksaan mengeksekusi
Amrozi dkk? Berikut wawancara Jawa Pos dengan Ale di Rutan Polda Metro Jaya
kemarin (11/10).


Bagaimana kondisi di tahanan?

Alhamdulillah, baik-baik saja. Hari raya kemarin dapat besukan dari istri,
anak dan saudara, Ali Fauzin. Yang lain-lain belum, mungkin nanti menyusul.
(Ale kini menunggu permohonan grasi yang diajukan kepada presiden sejak dia
di vonis seumur hidup Oktober 2003 lalu, Red).


Apa aktivitas Anda sekarang?

Terus beribadah dan saya kembali menulis buku untuk melanjutkan buku saya,
Ali Imron sang Pengebom (November, 2007) yang menimbulkan pro dan kontra.
(Buku baru saya) akan menjawab yang kontra, karena yang pro tentu tidak
perlu dijawab. Yang kontra itu soal mengapa saya menyebutkan kawan-kawan
saya yang ada di Akademi Militer Mujahidin Afghanistan (Ale belajar di sana
pada 1991-1994, seangkatan dengan Imam Samudra, Red) dan soal penyesalan
saya. Itu semua yang akan saya jawab. Memang di dalam buku (pertama) saya
sudah ada penjelasan tentang sikap ini, cuma perlu diperjelas. Sebelum
menulis yang pertama pun saya sudah antisipasi mesti ada pro dan kontra.


Apa alasannya untuk menyebut nama?

Loh baru saya keluarkan di buku. Kalau nanti diberitahu… Tunggu sajalah
bukunya.


Mengapa menyesal?

Sebelum bom Bali pun sudah saya ingatkan secara pribadi kepada kakak saya,
Muklas (kakak tertuanya. Nama aslinya Ali Gufron, yang kini mendekam di
Lapas Batu, Nusakambangan, bersama Amrozi dan Imam Samudra, Red). Saya
katakan, jika mayoritas ikhwan di Indonesia tidak setuju dan marah dengan
peledakan bom di Kedubes Filipina (Agustus 2000), gereja (malam Natal 2000),
dan Atrium Senen (2001).

Alasan penolakan saya yang kedua, Indonesia adalah tempat persembunyian yang
nyaman dan tempat persiapan yang bagus. Tapi, syaratnya tidak berbuat
apa-apa karena mayoritas ikhwan di Singapura sudah ditangkap dan Malaysia
juga seperti itu. Sekitar 26 September 2002, saat menyiapkan aksi di Bali,
saya juga ingatkan kembali pada Amrozi karena Mukhlas tidak ada di rumah,
jika sudah ada berita Amerika mencurigai Ponpes Ngruki dan Ustad Abu Bakar
Ba'asyir. Amrozi bilang, "Tidak ada masalah. Terus saja."

Organisasi kami itu saya yakini adalah Jamaah Islamiyah (JI) yang dulu Darul
Islam. Pada 2002 itu sebenarnya saya tidak aktif di organisasi (JI), tapi di
Pondok Al Islam, Solokuro, Lamongan. Tapi, tiba-tiba Mukhlas dan Imam
Samudra datang, dan saya diajak ke Surakarta oleh Amrozi ke kontrakan Dul
Matin. Di sinilah ada pembagian tugas. Saya kebagian membantu Amrozi untuk
membeli mobil dan potassium chlorat. Pada waktu peledakan, saya sedang di
Jalan Imam Bonjol, Denpasar, baru mengantarkan mobil berisi peledak yang
digunakan untuk bom bunuh diri oleh Arnasan. Saya dijemput Idris dan
meledakkan bom di Konsulat Amerika.


Selain kedua alasan itu, adakah dasar dari Islam untuk menolak bom Bali?

Pembalasan itu, sampai sekarang pun, saya yakini wajib. Tapi, harus kepada
mereka yang melakukan. Kita tidak bisa meniru perbuatan orang kafir dan
jahat untuk menyerang orang yang tidak bersalah. Itu tidak bisa. Amerika,
yang tak punya adab, boleh saja menyerang Afghanistan yang tidak semuanya
menentang mereka. Tapi kami, sebagai mujahid, seharusnya berperang dan
berjihad dengan dipagari adab. Tidak sembarangan.

Dalam kasus mutilasi SMU di Poso, misalnya, ikhwan Poso yang terlibat
menyitir ayat, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka
pun memerangi kamu semuanya, untuk memutilasi (korban siswi). Justru dengan
ayat itu (QS At Taubah: 36) kita tidak boleh membunuh siswi. Konteks ayat
itu adalah perangi orang musyrik yang memerangi, yang tidak, ya tidak.
Apakah siswi itu memerangi? Tidak kan.


Apakah perubahan sikap Anda terjadi setelah "dekat" dengan polisi setelah
penangkapan di tambak udang di Pulau Berukang, Kalimantan Timur, 14 Januari
2003?

Bukan. Selama ini orang memandang saya berubah setelah ditangkap. Ini tidak
benar. Waktu saya lari, sempat semingguan, saya berpikir untuk melawan dan
melakukan pengeboman kembali karena saya waktu itu masih menyimpan bom. Saya
ingin menyasar tim investigasi polisi yang datang ke Tenggulun, Lamongan,
dan (Markas) Polres Lamongan. Tapi, ketemu Ali Fauzi di Surabaya, dia tidak
setuju dengan rencana itu. Akhirnya saya lari ke Kalimantan dan ketika itu
saya mulai mengoreksi diri saya.

Mengapa pengeboman yang begini besar kok hasilnya begini? Ini jelas musibah.
Ditangkapnya Amrozi jelas musibah karena seharusnya ini menjanjikan
kemenangan. Nah, ini menghasilkan kekalahan. Waktu ditangkap pun saya dan
Mas Mubarok (juga divonis seumur hidup, Red) duduk dan tidak melawan. Jadi,
kalau tidak ditangkap polisi pun perasaan saya sudah berubah. Tapi, sampai
sekarang saya katakan bahwa jihad itu tetap wajib. Begitu pula mendirikan
negara Islam juga wajib. Untuk jihad sasarannya harus pas dan untuk
mendirikan negara Islam caranya bukan kekerasan karena kita tidak mampu.
Jalannya dengan dakwah. Ini memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa yang
pokok dalam Islam itu adalah menegakkan syariat.


Amrozi cs mengatakan toh Amerika juga membunuh muslim sipil di Iraq dan
Afghanistan sehingga sah saja berjihad menuntut balas membunuh sipil Amerika
di Bali sebagaimana surat An Nahl 126?

Ini yang perlu saya koreksi. Amerika menyerang di Afghanistan kan ada
Taliban, ada tentaranya, yang mereka tuduh mendalangi penghancuran WTC lalu
yang sipil ikut kena. Nah, tapi di Bali siapa tentaranya? Kalau di Bali ada
pasukan Amerika yang berlibur atau (kapalnya) bersandar, itu boleh kita
serang walau orang sipil kena. Kenyataannya kan tidak ada tentara Amerika
yang jadi korban di Bali. Sejak awal perencanaan, bersama Imam Samudra, saya
survei, kita hanya cari diskotek yang banyak bulenya. Itu saja. Bukan
menyelidiki ada tentara Amerika atau Australia. Dalam aksi Bali, Imam itu
komandan lapangan dan Mukhlas pimpinan umum.


Lalu bagaimana menyikapi perbedaan pandangan begini?

Saya hargai, itu pendapat, sebagaimana mereka menghargai saya. Tapi, saya
tidak membenarkan mereka. Hubungan keluarga kami baik, tapi mereka ingin
agar saya tidak bersikap seperti ini. Mereka menyesalkan, mengapa saya
menyesal. Ada surat dari Mukhlas kepada saya, jika sikap seperti saya yang
condong pada thogut, kalau tidak hati-hati bisa berbahaya dan mengeluarkan
saya dari Islam. Cuma saya tidak disuruh menanggapi dan mbalas. Kalau saya
disuruh membalas akan saya tulis. Mungkin dia hanya dengar dari orang lain
tentang saya.

Selama ini saya diisukan selalu negatif. Termasuk keakraban saya dengan
polisi. Padahal, ini juga bagian dari dakwah supaya bom tidak terjadi lagi.
Saya sering katakan kepada kawan-kawan saya di luar, kalau kita memang mau
menantang pemerintah, langsung tantang pemerintah Indonesia. Kudeta. Ini
baru jihad yang betul, bukan dengan mengebom sembarangan. Ngebom juga dengan
peringatan karena sementara ini kita seperti pengebut, (yang) ngebom di
tempat umum. Beratnya saya di dalam ini kan, kalau saya bicara, selalu
dikatakan, "Nah itu kan ditekan polisi karena di penjara." Maka kalau saya
bebas nanti, saya akan berdakwah dengan plong.


Jika memang bom Bali musibah, apakah tepat pelakunya, saudara kandung Anda,
divonis mati?

Saya tidak sampai mengoreksi soal itu. Tapi, namanya saudara (terkait
rencana eksekusi) saya ikhlas. Kalau memang mereka nanti ingin bertemu saya,
saya mau, dan saya akan sampaikan alasan saya mengapa begini. Soal ancaman
itu (Amrozi mengancam akan terjadi pembalasan jika dirinya dieksekusi),
wallahualam. Setahu saya kelompok kami belum siap ke arah sana. Waktu itu
pun bom Bali dikenali oleh para ikhwan yang lain sebagai tindakan pelaku
yang dipimpin Mukhlas langsung, bukan perintah jamaah atau organisasi.


Apa yang Anda rasakan pada setiap peringatan bom Bali?

Saya tidak pernah lupa dan capai untuk meminta maaf kepada korban,
keluarganya, dan siapa saja yang dirugikan dalam peristiwa itu karena saya
terlibat di situ. (farouk arnaz/agm)
 

Kirim email ke