GAJAH MADA, "...jadilah rakyat..!"

Kebesaran Majapahit, berarti kebesaran Gajah Mada, patih yang  telah
mengabdi  pada tiga pimpinan pemerintahan selama lebih dari tiga puluh
tahun.

Pada tahun 1300/1301,  di aliran    sungai   Brantas yang mengalir
dengan derasnya ke arah selatan dataran Malang dan kaki gunung
Kawi-Arjuna, lahirlah Gajah Mada kecil dengan nama Pipil.

Setelah dewasa Gajah Mada memiliki beberapa nama lain seperti Empu Mada,
Jaya Mada, Dwirada Mada dan Lembu Muksa (sebagai penjelmaan Dewa Wisnu).

Namun menurut kepercayaan orang Bali, seperti tertulis di kitab Usana
Jawa, Gajah Mada dilahirkan di pulau Bali Agung tanpa ibu-bapak,
terpancar dari dalam buah kelapa, sebagai penjelmaan Sang Hyang Narayana
(Yamin G.M. Pahlawan persatuan Nusantara, h. 15)

Bahkan dalam Kakawin Gajah Mada dan Babad Gajah Mada, Gajah Mada adalah
Dhatrasutra (putera Dewa Brahma) dan dengan sendirinya mempunyai sifat
gaib, tubuhnya mengeluarkan cahaya seperti sinar yang memancar dari
intan.

Masih dalam Kakawin Gajah Mada, salah seorang patih Majapahit saat itu
sangat tertarik dengan kepribadian Gajah Mada muda yang sangat cerdas
dan tekun bekerja layaknya seorang ksatria.

(Pipil) Gajah Mada akhirnya diminta tinggal bersamanya. Bukan itu saja,
karena ketertarikkannya, Patih Majapahit itu bahkan kemudian mengawinkan
Gajah Mada dengan puterinya yang bernama Ni Gusti Ayu Bebed, yang
digambarkan sangat setia kepada suami seperti layaknya puteri Madhawi,
puteri raja Yayati.

Banyak sekali dongeng atau legenda mengenai pemuda Gajah Mada. Namun tak
satupun ditemukan tulisan yang sangat akurat tentang kelahiran dan masa
kecilnya.

Sejarah mulai mencatat biodatanya pada tahun 1328 pada masa pemerintahan
Sri Jayanagara pada saat peristiwa Badander.

Kalaupun ada tulisan mengenai kelahiran dan masa kecilnya, itu dibuat
atau ditulis jauh setelah Gajah Mada tiada. Nilai sejarahnya menjadi
kabur dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Gajah Mada benar seorang rakyat kebanyakan, bukan dari keluarga
bangsawan, dapat dilihat dari gelar yang disandangnya: mpu, bukan dyah.
Sebagai seorang biasa, Gajah Mada mempunyai kelebihan dari orang
kebanyakan.

Pokok-pokok fikirannya, tindakan dan kebijakannya melebihi siapapun
termasuk para bangsawan sendiri. Itulah sebabnya Gajah Mada sering
dipersamakan sebagai putera dewa.

Sebagai seorang petinggi kerajaan, Gajah Mada mampu bertindak melebihi
pejabat lainnya. Kebangsawanannya tumbuh dari perilaku dan kinerjanya
sendiri.

Dialah bangsawan yang sebenarnya, bukan karena keturunan. Pengabdiannya
yang luar biasa kepada negara membuatnya bertindak sangat tegas dan
tanpa pandang bulu.

Karena terlahir sebagai rakyat biasa, membuatnya sangat perduli dengan
kepentingan dan kesejahteraan rakyat banyak. Masa kecilnya di desa
terpencil di kaki gunung Kawi-Arjuna telah membentuknya menjadi pemuda
perkasa dan tahu melihat penderitaan rakyat banyak.

Keangkuhan para bangsawan yang selama ini telah menambah beban
penderitaan rakyat kebanyakan menjadi tolok ukur baginya memerangi para
bangsawan yang hanya mengandalkan darah keturunan tanpa pernah
melahirkan gagasan memajukan negara untuk memakmurkan bangsa.

Itulah sebabnya, kemunculan Gajah Mada nyaris tidak disukai oleh para
bangsawan istana, yang pada umumnya sudah mapan dengan kehidupannya.
Yang nyaris tidak lagi kenal arti susah, hidup baginya adalah kemewahan
dan pemanjaan ragawi yang sudah menyatu dengan aliran darahnya.
Kebanggaan menyandang gelar dan kepangkatan, biasa dilayani bukan
melayani, disembah dan selalu diangkat sampai lupa bumi tempatnya
berpijak. Bergelimang harta sampai lupa penggunaannya, kalau perlu
pelana kudanya  terbuat dari sutera Cina dan disalut dengan emas murni
di tepinya.

Dengan ketegaran dan kepercayaan dirinya, Gajah Mada merubah semua
kebiasaan dan kebijakan yang selama ini hanya mementingkan para pejabat
dan bangsawan istana.

Falsafah Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa, menjadi
inspirasi besar bagi Gajah Mada untuk membangun Majapahit. Dengan dasar
falsafah persatuan dan kesatuan, seluruh masyarakat `dipaksa'
memikirkan orang lain. Tidak berlomba untuk saling menjatuhkan.

Para raja dibuatnya bukan penguasa mutlak. Di atas raja masih ada raja.
Sampai Raja Majapahit di pusat kerajaan tanpa sadar dibatasi oleh
kebijakan struktural dengan terbentuknya Dewan Sapta Prabhu yang terdiri
dari tujuh orang keluarga raja-diraja (setelah tahun 1354 dewan ini
beranggotakan sembilan orang, bukan tujuh lagi, dengan Ketua Dewan Sri
Rajasanagara sendiri. Tapi dewan ini tetap dinamakan Bhatara Sapta
Prabhu).

Untuk mewujudkan itu, Gajah Mada memulai dari dirinya sendiri, sesuai
dengan isi sumpah agungnya itu, bahwa dia tidak akan bersenang-senang,
beristirahat menikmati pensiun,  sebelum Nusantara Raya ini bersatu.

Sejarah mencatat, baru Gajah Mada, seorang patih yang bertempat tinggal
di luar kompleks istana. Dia lebih memilih hidup dan tinggal bersama
rakyat di luar  tembok istana. Baru Gajah Mada yang hati, jiwa dan
wadagnya betul-betul cerminan rakyat jelata. Kesederhanaan dan
kecintaannya kepada rakyat bukan hanya dongeng, tetapi tertulis di atas
lempengan tembaga dan batu.

Para pujangga dan para seniman besar sejak zaman itu tidak
henti-hentinya membuat pujian kepada orang yang tidak pernah sekalipun
terlintas akan mengadakan makar, subversi dan penggulingan pemerintahan
padahal dia dapat melakukan itu. Baginya raja atau ratu adalah orang
yang harus dihormati dan dijunjung tinggi selama mereka duduk di atas
tahta rakyat, bukan tahta kebangsawanan.

Beberapa karya sastra besar menuliskan bahwa Gajah Mada adalah keturunan
dewa Brahma. Hal ini terjadi karena para pujangga tidak sanggup lagi
menahan perasaan hatinya melihat betapa mulia dan agungnya perilaku dan
akhlak Gajah Mada selama memimpin bangsa besar ini.

Para Pujangga itu tidak dapat menerima apabila melihat kenyataan bahwa
Gajah Mada hanya seorang rakyat jelata yang lahir di tengah
masyarakatnya, bahkan tak seorangpun tahu siapa orang tuanya, dimana
rumah masa kecilnya, selain diketahui setelah dewasa Gajah Mada mengabdi
di Majapahit sebagai seorang prajurit rendahan, yang kemudian diangkat
sebagai bekel, di kesatuan Bhayangkara.

Ketika jabatan Mahapatih Amangkubumi mulai dipegangnya, Gajah Mada
memilih tinggal di luar kompleks istana. Dia takut lupa pada rakyat. Dia
takut lupa darimana dia berasal. Dia takut lupa bahwa dirinya adalah
rakyat jelata.

Dia takut lupa bahwa rakyatlah yang membesarkannya dan memberikannya
inspirasi tentang pentingnya persatuan dan kesatuan untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kemakmuran.

Di sebelah timur laut pasar kotaraja, Gajah Mada mendirikan rumahnya
bersebelahan dan berdekatan dengan masyarakat pada umumnya. Dengan
begitu, dia dapat langsung merasakan keinginan, kebahagiaan dan
penderitaan rakyatnya. Dia menyatu dengan rakyat.

Segala hal yang berhubungan dengan rakyatnya, langsung dirasakan, bukan
karena laporan dari bawahannya yang kadang-kadang belum tentu benar.
Pada hakekatnya kita lah rakyat itu sendiri. Itu yang sering dikatakan
kepada bawahannya. Untuk membahagiakan rakyat dan memajukan negara ini,
jadilah rakyat.

Salam Nusantara..!
Renny Masmada
http://rennymasmada.wordpress.com <http://rennymasmada.wordpress.com/> 

Kirim email ke