Hukum Melibatkan Diri dalam Perayaan Natal dan Perayaan Agama Lainnya

HTI-Press. Perayaan Natal Bersama yang melibatkan umat Islam masih saja marak 
terjadi. Kendati Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa 
haramnya umat Islam terlibat dalam perayaan Natal, namun banyak yang tidak 
mengindahkan fatwa itu. Bahkan, hampir tidak ada perayaan Natal Bersama yang 
tidak dihadiri pejabat publik atau tokoh politik. Toleransi dan persatuan 
kerapkali dijadikan sebagai dalihnya. Keadaan semakin runyam ketika ada 
sejumlah ’ulama’ atau ’tokoh Islam’ yang melegitimasi sikap tersebut dengan 
berbagai dalil yang telah disimpangkan sedemikian rupa. 
Bagaimana sesunguhnya hukum melibatkan diri dalam perayaan natal dan hari raya 
agama-agama lainnya?

Haram Hadir dalam Perayaan Kufur
Pada dasarnya, Islam telah melarang kaum muslim melibatkan diri di dalam 
perayaan hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini 
mencakup aktivitas: mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan 
atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. 
Sedangkan perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari 
raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari 
perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).

Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah swt;
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا 
كِرَامًا (الفرقان: 72).
Menurut sebagian besar mufassir, makna kata al-zûr (kepalsuan) di sini adalah 
syirik (Imam al-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz 4, hal. 89). Beberapa mufassir 
seperti Abu ‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirrin, al-Dhahhak, al-Rabi’ bin 
Anas, dan lainnya, memaknai al-zûr di sini adalah hari raya kaum Musyrik. Lebih 
luas, Amru bin Qays menafsirkannya sebagai majelis-majelis yang buruk dan kotor 
(Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 1346).
 
Sedangkan kata lâ yasyhadûna, menurut jumhur ulama’ bermakna lâ yahdhurûna 
al-zûr, tidak menghadirinya (Imam al-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz 4, hal. 89). 
Memang ada yang memahami ayat ini berkenaan dengan pemberian kesaksian palsu 
(syahâdah al-zûr) yang di dalam Hadits Shahih dikatagorikan sebagai dosa besar. 
Akan tetapi, dari konteks kalimatnya, lebih tepat dimaknai lâ yahdhurûnahu, 
tidak menghadirinya. Dalam frasa berikutnya disebutkan:

وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan apabila mereka melewati (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan 
yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya” 
(QS al-Furqan [25]: 72).
 
Dengan demikian, keseluruhan ayat ini memberikan pengertian bahwa mereka tidak 
menghadiri al-zûr. Dan jika mereka melewatinya, maka mereka segera melaluinya, 
dan tidak mau terkotori sedikit pun oleh nya (lihat Imam Ibnu Katsir, Tafsir 
Ibnu Katsir, juz 3, hal. 1346).
Berdasarkan ayat ini pula, banyak fuqaha’ yang menyatakan haramnya menghadiri 
menghadiri perayaan hari raya kaum kafir. Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Kaum 
Muslim telah diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan 
Nasrani. “ (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).

Imam Baihaqi menyatakan, “Jika kaum muslim diharamkan memasuki gereja, apalagi 
merayakan hari raya mereka.” (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, 
hal.201).

Imam al-Amidi dan Qadli Abu Bakar al-Khalal menyatakan,”Kaum Mmuslim dilarang 
keluar untuk menyaksikan hari raya orang-orang kafir dan musyrik.” (Ibnu 
Tamiyyah, Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).

Al-Qadhi Abu Ya’la al-Fara’ berkata, “Kaum Muslim telah dilarang untuk 
merayakan hari raya orang-orang kafir atau musyrik”. (Ibnu Tamiyyah, Iqtidhâ’ 
al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201)

Imam Malik menyatakan, “Kaum Muslim telah dilarang untuk merayakan hari raya 
orang-orang musyrik atau kafir, atau memberikan sesuatu (hadiah), atau menjual 
sesuatu kepada mereka, atau naik kendaraan yang digunakan mereka untuk 
merayakan hari rayanya. Sedangkan memakan makanan yang disajikan kepada kita 
hukumnya makruh, baik diantar atau mereka mengundang kita.” (Ibnu Tamiyyah, 
Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal. 201).

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “Sebagaimana mereka (kaum Musyrik) tidak 
diperbolehkan menampakkan syiar-syiar mereka, maka tidak diperbolehkan pula 
bagi kaum Muslim menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir 
bersama mereka. Demikian menurut kesepakatan ahli ilmu.” (Ibnu Qayyim 
al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, juz 1. hal. 235).

Abu al-Qasim al-Thabari mengatakan, “Tidak diperbolehkan bagi kaum Muslim 
menghadiri hari raya mereka karena mereka berada dalam kemunkaran dan kedustaan 
(zawr). Apabila ahli ma’ruf bercampur dengan ahli munkar, tanpa mengingkari 
mereka, maka ahli ma’ruf itu sebagaimana halnya orang yang meridhai dan 
terpengaruh dengan kemunkaran itu. Maka kita takut akan turunnya murka Allah 
atas jama’ah mereka, yang meliputi secara umum. Kita berlindung kepada Allah 
dari murka-Nya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, juz 1. hal. 235).

Abdul Malik bin Habib, salah seorang ulama Malikiyyah menyatakan, “Mereka tidak 
dibantu sedikit pun pada perayaan hari mereka. Sebab, tindakan merupakan 
penghormatan terhadap kemusyrikan mreka dan membantu kekufuran mereka. Dan 
seharusnya para penguasa melarang kaum Muslim melakukan perbuatan tersebut. Ini 
adalah pendapat Imam Malik dan lainnya. Dan aku tidak mengetahui perselisihan 
tentang hal itu” (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ al-Fatâwâ, juz 6 hal 110).

Pada masa-masa kejayaan Islam, pemerintahan Islam saat itu –sejak masa 
Rasulullah saw –, kaum muslim tidak diperbolehkan merayakan hari raya ahlul 
Kitab dan kaum musyrik. Dari Anas ra bahwa ketika Rasulullah saw datang ke 
Madinah, mereka memiliki dua hari raya yang mereka rayakan, beliau pun bersabda:
قَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْأَضْحَى 
وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Sungguh Allah swt telah mengganti dua hari itu dengan dua hari yang yang lebih 
baik daripada keduanya, yaitu Idul Adha dan idul Adha.” (HR. Abu Dawud dan 
al-Nasa’i dengan sanad yang shahih).

Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab, beliau juga telah 
melarang kaum muslim merayakan hari raya orang-orang kafir. Imam Baihaqiy telah 
menuturkan sebuah riwayat dengan sanad shahih dari ‘Atha’ bin Dinar, bahwa Umar 
ra pernah berkata, 
لَا تَعَلَّمُوا رَطَانَةَ الْأَعَاجِمِ وَلَا تَدْخُلُوا عَلَى الْمُشْرِكِينَ 
فِي كَنَائِسِهِمْ يَوْمَ عِيدِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ
“Janganlah kalian menmempelajari bahasa-bahasa orang-orang Ajam. Janganlah 
kalian memasuki kaum Musyrik di gereja-gereja pada hari raya mereka. 
Sesungguhnya murka Allah swt akan turun kepada mereka pada hari itu.” (HR. 
Baihaqiy).

Umar bin al-Khaththtab ra juga mengatakan:
اجْتَنِبُوا أَعْدَاءَ اللَّهِ فِي عِيدِهِمْ
“Jauhilah musuh-musuh Allah pada di hari raya mereka.”
 
Demikianlah, Islam telah melarang umatnya melibatkan diri di dalam perayaan 
hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini mencakup 
perbuatan; mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk menyaksikan atau 
melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat, dan lain sebagainya. 
Adapun perayaan hari raya orang kafir di sini mencakup seluruh perayaan hari 
raya, perayaan orang suci mereka, dan semua hal yang berkaitan dengan hari 
perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).
 
Melenyapkan Syubhat
Di antara ayat sering digunakan untuk melegitimasi bolehnya mengucapkan selamat 
natal adalah firman Allah Swt:
وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada 
hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (QS Maryam 
[19]: 33).
Memang dalam ayat ini disebutkan tentang keselamatan pada hari kelahiran Isa. 
Akan tetapi, itu tidak ada kaitannya dengan ucapan selamat natal. Sebab, Natal 
adalah perayaan dalam rangka memperingati kelahiran Yesus di Bethlehem. Sejak 
abad keempat Masehi, pesta atau perayaan natal ditetapkan tanggal 25 Desember, 
menggantikan perayaan Natalis Solis Invioti (kelahiran matahari yang yang tak 
terkalahkan).

Telah maklum, bahwa keyakinan Nasrani terhadap Isa as –yang mereka sebut Yesus– 
adalah sebagai Tuhan. Dan keyakinan ini menjadi salah satu penyebab kekufuran 
mereka. Banyak sekali ayat menegaskan hal ini, seperti firman Allah Swt:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ 
وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ 
إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ 
وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah 
adalah Al Masih putra Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani 
Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu” Sesungguhnya orang yang 
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya 
surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang dzalim itu 
seorang penolong pun.” (QS al-Maidah [5]: 72).
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ 
إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ 
لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ 
عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah 
satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak 
disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang 
mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa 
siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon 
ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Maidah 
[5]: 73-74).

Bertolak dari fakta tersebut, perayaan Natal yang merayakan ‘kelahiran Tuhan’ 
merupakan sebuah kemunkaran besar. Sikap yang seharusnya dilakukan kaum Muslim 
terhadap pelakunya adalah menjelaskan kesesatan mereka dan mengajak mereka ke 
jalan yang benar, Islam. Bukan malah mengucapkan selamat terhadap mereka. 
Tindakan tersebut dapat dimaknai sebagai sikap ridha dan cenderung terhadap 
kemunkaran besar yang mereka lakukan. Padahal Allah Swt berfirman:
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ 
مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan 
kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong 
pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS 
Hud [11]: 113).

Menurut Abu al-Aliyah, makna kata al-rukûn adalah ridha. Artinya ridha terhadap 
perbuatan orang-orang zhalim. Ibnu Abbas memaknainya al-mayl (cenderung). 
Sedangkan menurut al-Zamakhsyari, al-rukûn tak sekadar al-mayl, namun al-mayl 
al-yasîr (kecenderungan ringan). Ini berarti, setiap Muslim wajib membebaskan 
dirinya dari kezahliman. Bukan hanya dalam praktik, namun sekadar kecenderungan 
sedikit saja sudah tidak diperbolehkan.

Jelaslah, haram hukumnya kaum Muslim terlibat dalam perayaan hari raya kaum 
kaum kafir, baik Musyrik maupun Ahli Kitab. Wal-Lâh a’lam bi al-Shawâb. (
Syamsuddin Ramadlan & Rokmat S. Labib –Lajnah Tsqafiyyah Hizbut Tahrir 
Indonesia). 



              


      Ada Naruto, Sandra Dewi dan MU di Yahoo! Indonesia Top Searches 2008. 
http://id.promo.yahoo.com/topsearches2008

Kirim email ke