Ibarat Cita-Cita dan Takdir Tuhan Mulainya masa kampanye pemilu legislatif serta akan berakhirnya masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) membuat suhu politik menghangat. Berbagai komentar berkait dengan capaian dari program pemerintah yang tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) menjadi menarik untuk didiskusikan. Sudah barang tentu komentarnya beragam, dari yang miring hingga yang hiperbolis.Namun, objektivitas harus tetap dikedepankan sehingga tidak terjadi upaya kampanye hitam (black campaign). Perlu diingat, sebuah rancangan atau target ditentukan dengan berbagai asumsi-asumsi yang menyertainya. Karena itu, ketika sebuah target tidak tercapai, hal itu bisa ditelusuri apakah asumsinya tetap atau memang juga berubah. Dalam bahasa yang lain dapat digunakan istilah bahwa antara target dan capaian ibarat sebuah cita-cita dan takdir Tuhan. Artinya, pemerintah boleh memiliki cita-cita mulia dengan berbagai target yang diinginkannya, tapi Tuhanlah yang menentukan. Tentu ungkapan ini tidak dalam kapasitas untuk melakukan pembelaan terhadap pemerintah, tapi sejatinya memang sepanjang perjalanan pemerintahan KIB, setelah RPJMN ditetapkan menjadi Peraturan Presiden No 7 Tahun 2005,sebagai panduan untuk menilai tingkat keberhasilan pemerintahan, telah terjadi berbagai peristiwa baik internal (dalam negeri) maupun eksternal yang mengakibatkan berubahnya asumsiasumsi yang telah ditetapkan. Perubahan itu berdampak pada hasil capaian yang telah ditargetkan.Sebut saja salah satu contoh,peristiwa internal terhadap terjadinya beberapa bencana alam, mulai tsunami di Nangroe Aceh Darussalam (NAD), gempa di Yogyakarta hingga banjir bandang dan bencana alam lain. Setali tiga uang, peristiwa eksternal yang juga terjadi selama pemerintahan KIB memiliki pengaruh signifikan terhadap pencapaian target. Misalnya saat harga minyak di pasar internasional melambung, pemerintah ikut menaikkan harga BBM dan melakukan koreksi terhadap alokasi anggaran yang memang seharusnya dapat melindungi masyarakat miskin. Bantuan Langsung Tunai (BLT) menjadi salah satu jalan keluar. Demikian juga ketika belakangan ini krisis ekonomi global melanda dunia tanpa kecuali.Pemerintah bersama DPR telah melakukan berbagai adjustment atau penyesuaian sehingga sampai pada keputusan untuk memberikan stimulus fiskal sebesar Rp73,3 triliun terdiri atas stimulus perpajakan Rp56,3 triliun melalui penurunan tarif PPh, PPN, dan BM DTP,PPh Pasal 21,PPh Pasal 25,serta fasilitas pajak lain. Untuk stimulus belanja sebesar Rp17 triliun terdiri atas infrastruktur Rp12,2 triliun dan Rp4,8 triliun untuk subsidi langsung dan energi. Belum Tercapai? Harus diakui, dalam kondisi yang serbaberubah dan tidak menentu seperti ini, rasanya memang tidak fair jika kita menimpakan kesalahan tidak tercapainya target itu sebagai bagian dari kegagalan pemerintah. Karena disadari, siapa pun orang atau pemerintahannya, manakala berhadapan dengan persoalan yang jauh di bawah kekuasaan atau kendalinya, kontrol untuk itu akan sulit dilakukan. Pada titik inilah kita harus dapat menggunakan kaca mata objektivitas untuk melakukan penilaian.Memang benar target-target yang tertuang dalam Peraturan Presiden No 7 Tahun 2005 belum tercapai,tapi usaha untuk ke arah sana telah dengan sungguhsungguh dilakukan.Buktinya? Paling sedikit kita bisa mengajukan empat hal untuk menunjukkan bukti. Pertama, berkait dengan adanya kesungguhan di dalam upaya untuk terus-menerus meningkatkan anggaran dan memperbanyak program pada bidang yang telah ditargetkan seperti mengurangi angka kemiskinan. Di bidang ini, pemerintah dari tahun ke tahun bukan hanya telah meningkatkan jumlah anggarannya,tapi juga menambah program untuk mengurangi angka kemiskinan. Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS), sebagai misal, terus meningkat jumlah anggaran maupun jumlah penerimanya. Kalau pada 2005 hanya dianggarkan Rp5,1 triliun dengan jumlah penerima 39,6 juta siswa, pada 2008 lalu dianggarkan Rp11,9 triliun dengan penerima sebanyak 41,9 juta. Demikian juga pada program lain seperti Raskin, Askeskin atau Jamkesmas, BLT, PKH, dan PNPM Mandiri. Semuanya secara signifikan terus ditingkatkan anggarannya. Tentu peningkatan ini bukan berarti makin bertambahnya jumlah orang miskin, tapi lebih pada upaya untuk memperluas jangkauan bantuan yang bukan hanya pada masyarakat sangat miskin, tapi juga pada masyarakat hampir miskin. Tujuannya jelas, agar masyarakat miskin tidak makin bertambah jumlahnya. Kedua,melihat realitas hasil capaian yang telah diperoleh.Meski belum memenuhi target, secara jujur harus diakui telah terjadi pengurangan yang cukup berarti.Terhadap persentase tingkat kemiskinan, misalnya, dari 16,7% pada 2004 kini pada 2008 menurun menjadi 15,4% dan pada 2009 pemerintah memprediksi dapat menekannya mencapai angka 13,5%. Ketiga,di luar peningkatan jumlah anggaran dan hasil yang telah dicapai adalah munculnya respons pemerintah berkait dengan berbagai persoalan yang muncul di masyarakat.Ini perlu diberi tempat untuk melakukan penilaian tersendiri mengingat munculnya respons meningkatkan kepercayaan dan memotivasi masyarakat sekaligus menambah keyakinan di tengah masyarakat bahwa pemerintahannya tidak sedang diam, tapi bekerja dan memberi perhatian. Keempat,konsistensi dan harmonisasi pemerintah di dalam menjalankan berbagai program.Bentuk harmonisasi serta sinergi program untuk anggaran kemiskinan misalnya diterjemahkan dalam tiga kluster program penanggulangan kemiskinan. Anggaran untuk pelaksanaan programprogram ini terus meningkat sekitar tiga kali lipat dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Peningkatan ini membantah anggapan bahwa pemerintah hanya melakukan retorika dan hanya berwacana. Pemerintah telah berbuat dan terus berbuat untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.(*) Sukemi Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/221975/ http://media-klaten.blogspot.com/ http://groups.google.com/group/suara-indonesia?hl=id salam Abdul Rohim