http://www.sinarharapan.co.id/cetak-sinar/berita/read/inklusivisme-jalan-meretas-ideologi-terorisme/
Rabu, 17 Maret 2010 12:58 Inklusivisme, Jalan Meretas Ideologi Terorisme OLEH: PANDI KUSWOYO Terkuaknya sarang terorisme di Aceh dan terbunuhnya beberapa anggota jaringannya di Pamulang, Banten, semakin menegaskan pengertian terorisme di Tanah Air, sekaligus menjawab ada atau tidaknya keterkaitan agama sebagai pembentuk sistem nilai dan ideologi. Lalu, apa yang diperebutkan di balik aksi sadis mereka? Setiap agama mengajarkan kepercayaan akan adanya kehidupan abadi setelah berakhirnya kehidupan duniawi. Konsep agama, khususnya agama samawi, menggambarkan kehidupan akhirat itu dalam dua versi. Pertama, versi yang berkaitan dengan perilaku yang bertentangan dengan nilai ajaran. Para pelaku digolongkan sebagai pendosa yang dijanjikan sebagai penghuni neraka. Secara umum, neraka digambarkan sebagai tempat penyiksaan dan hukuman bagi para pendosa. Pendek kata, neraka identik dengan azab. Adapun versi kedua, yaitu surga yang diinformasikan sebagai tempat kenikmatan abadi. Surga disediakan oleh Tuhan untuk hamba-hambanya yang menunjukkan tingkat pengabdian yang maksimal. Oleh karena itu, setiap penganut agama, baik secara pribadi maupun secara kelompok, berusaha untuk "memperebutkan" janji tentang kenikmatan surgawi itu. Mereka berupaya menunjukkan tingkat ketaatan optimal untuk memperoleh kasih Tuhan sehingga sesuai dengan janji-Nya akan diterima sebagai penghuni surga. Dalam upaya untuk memperoleh "tiket" surga, seseorang berusaha meningkatkan ibadahnya, baik secara kualitas maupun kuantitas. Kemudian atas dasar peningkatan itu, nilai-nilai pengabdian itu terefleksi dalam sikap dan perilakunya, baik lahir maupun batin. Ketundukan kepada ajaran agamanya meningkat, perilakunya baik, kata-katanya arif, bersedia berkorban untuk kebaikan, penuh kasih sayang, dan lemah lembut. Makin beriman dan makin berakhlak seseorang, seyogianya penganut agama akan semakin arif dan santun. Artinya, selama upaya itu diaplikasikan untuk meningkatkan kualitas iman dan amal, hal itu dinilai sah-sah saja. Sayangnya, dalam kehidupan beragama, nilai-nilai luhur tersebut "dipasung" oleh tokoh atau kelompok tertentu dan diformulasikan ke dalam mitos dan ideologi sesat sehingga tindakan yang manipulatif ini menjadikan ajaran agama kehilangan nilai-nilai luhurnya. Peta dan kenikmatan surgawi diperebutkan dengan mengorbankan kelompok lain. Ada kecenderungan untuk mendiskreditkan orang atau kelompok lain. Tentunya kecenderungan serupa ini tidak menampilkan sosok calon penghuni surga. Barangkali usaha untuk memperebutkan surga akan timbul bukan saja di dalam kelompok penganut agama yang berbeda, tapi juga bisa terjadi dalam kelompok seagama. Bila pandangan seperti ini meningkat pada klaim sepihak, konflik pun tidak akan dapat dihindarkan. Paling tidak akan menumbuhkan rasa permusuhan dan saling curiga. Dalam konteks ini, barangkali ada baiknya sejenak kita renungkan pertanyaan-pertanya an reflektif apakah seseorang masuk surga karena amal perbuatannya semata-mata? Apakah surga memiliki jalan pintas yang diperuntukkan bagi orang-orang yang menghendakinya? Lalu, surga siapakah yang diperebutkan para teroris saat mereka mengklaim kematian mereka sebagai martir (syahid) yang dijanjikan surga? Agama Ajarkan Perdamaian Berangkat dari jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas, pertama, terungkap siapa sebenarnya yang berhak menjadi penghuni surga dan memperoleh kenikmatan surgawi itu. Mereka itu adalah orang-orang yang mendapat pengampunan dan rahmat Tuhan. Tentunya pengampunan dan rahmat Tuhan hanya akan diperoleh mereka yang selalu mematuhi ajaran Tuhan secara total dan optimal. Adalah mustahil pengampunan dan rahmat itu akan dianugerahkan Tuhan kepada hambanya yang selalu menebarkan teror, kebencian antarsesama, atau mengklaim diri atau kelompoknya sebagai calon penghuni surga. Padahal, agama menitikberatkan ajarannya pada nilai-nilai kasih sayang dan perdamaian. Kedua, penerimaan ajaran agama tanpa pemaksaan melalui common sense (akal sehat) dan ketundukan hati. Jika surga memiliki jalan pintas, semisal bom bunuh diri diklaim "mendapat tiket surga", tentunya hal ini bertentangan dengan citra Tuhan sebagai kekuatan supernatural (adikordrati) yang bertujuan untuk memerdekaan kesadaran manusia. Bukan sebaliknya memenjarakan kesadaran manusia dengan faham yang sesat tersebut. Jalan pintas menuju surga tak lain hanyalah "iming-iming" dari kebiadaban otak pelaku teroris. Dengan dukungan dalil-dalil agama, mereka yang merasa berdosa dan putus asa seakan diberi peluang untuk memperoleh "tiket surga". Kiat semacam ini dapat memberi pengaruh psikologis yang bersifat sugestif, mampu mengubah sikap mental seseorang, kelompok, hingga terdorong untuk berbuat nekad. Latar belakang sikap antipati, karut-marut transisi politik, kesenjangan ekonomi dan isu-isu agama, agaknya tak lepas dari "mobilisasi" para pelaku teroris yang "nekat" mempertaruhkan nyawa demi "sekeping tanah surga". Hal inilah yang sering kita kenal sebagai tindakan radikalisme- eskapis, yaitu usaha untuk membebaskan diri dari kenikmatan duniawi yang dianggap racun dan bersifat maya.Ketiga, jawabnya adalah surga yang dijanjikan oleh orang yang memiliki "kepentingan" (baca: otak pelaku teroris). Janji yang dikemas dengan ayat-ayat Tuhan tersebut digunakan sebagai doktrin pencuci otak para calon pelaku suicide bomber (pelaku bom bunuh diri). Dalam kajian psikologi agama, hal ini bisa terjadi karena proses konversi agama, yaitu terjadinya perubahan batin seseorang secara mendasar. Perubahan tersebut terjadi karena faktor psikologis yang ditimbulkan oleh faktor intern maupun ekstern. Faktor-faktor tersebut menimbulkan semacam gejala tekanan batin atau yang lazim disebut sakit jiwa (the sick soul). Selanjutnya, mendorong untuk mencari jalan keluar, yaitu mencari ketenangan batin. Dalam kondisi yang demikian itu, secara psikologis kehidupan batin seseorang menjadi kosong dan tak berdaya sehingga mencari perlindungan ke kekuatan lain yang mampu memberinya kehidupan jiwa yang terang dan tenteram. "Iming-iming surga" dalam pengertian "mereka" melumpuhkan akal sehat sebagai manusia yang berakal, berhati dan beragama. Apa yang diperebutkan para terorisme hanyalah keniscayaan yang berdalih agama. Khayalan mereka tentang surga dijadikan nilai-nilai mitologis dan ideologi sesat sebagai proses "pencucian otak" terhadap para calon pelaku bom bunuh diri. Padahal jelas, perilaku bom bunuh diri sama sekali tidak ada legitimasi (pengesahan secara sah) dari agama apa pun untuk mendapatkan "tiket surga".Bukankah nilai-nilai universal setiap agama mengajarkan kasih sayang, perdamaian, dan keseimbangan hidup berdampingan untuk semua individu, bangsa dan seluruh umat manusia? Maka, afiliasi terhadap kode etik universal sangat memungkinkan untuk diterapkan, terlebih lagi ajaran agama samawi. Oleh karena itu, bersikap inklusif (terbuka) di dalam memahami, menemukan, dan menjalankan kebenaran agama merupakan sikap beragama yang sehat, serta sesuai dengan keyakinan puncak (the ultimate of belief) pemeluknya masing-masing sehingga ideologi maupun perbuatan yang ditunjukkan oleh para pelaku teroris tak lain hanyalah pelarian sekelompok orang yang sakit jiwanya dan tidak sabar dengan janji Tuhan. Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Psikologi Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. ------------------------------------ Ingin bergabung di zamanku? Kirim email kosong ke: zamanku-subscr...@yahoogroups.com Klik: http://zamanku.blogspot.comYahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/zamanku/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/zamanku/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: zamanku-dig...@yahoogroups.com zamanku-fullfeatu...@yahoogroups.com <*> To unsubscribe from this group, send an email to: zamanku-unsubscr...@yahoogroups.com <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/