http://www.pontianakpost.com/index.php?mib=berita.detail&id=8419

Senin, 27 Oktober 2008 , 10:21:00


Istri Pertama di Ruang Utama, Istri Kedua di Paviliun


Syeh Puji selalu beralasan menikahi Lutfiana Ulfa yang masih di bawah umur itu 
dengan niat baik. Tapi, apakah "niat baik" saja cukup meski melanggar 
undang-undang? 

ANDAI tidak ada ribut-ribut soal perkawinan dengan istri kedua yang masih di 
bawah umur, Pujiono Cahyo Widianto alias Syeh Puji adalah contoh pemuda desa 
yang berhasil. Pujiono adalah salah satu ikon bagi desanya, Bedono, sebuah desa 
yang asri di jalan raya antara Ambarawa (Kabupaten Semarang) dan Magelang. 

Di Bedono, keluarga Syeh Puji kini tinggal satu kompleks dengan Pondok 
Pesantren Miftahul Jannah yang berada di pinggir jalan raya. Desa itu memiliki 
stasiun kereta tua yang sampai sekarang aktif dipergunakan sebagai kereta 
wisata dari Ambarawa. Wisata dengan kereta bergerigi (satu-satunya di 
Indonesia) ke Bedono -sambil melihat pemandangan alam pegunungan yang sangat 
indah- hingga sekarang diminati wisatawan asing, terutama dari Belanda. 

Ponpes Miftahul Jannah yang memiliki gerbang tembok dengan hiasan tulisan Arab 
pada pilar dan pintu besinya bukan ponpes biasa. Dibangun di atas lahan lebih 
dari lima hektare, kompleks pondok yang memiliki 600 santri itu juga menjadi 
kantor PT Sinar Lendoh Terang (Silenter), perusahaan sang pendiri, Syeh Puji.

Sebagai putra asli Bedono kelahiran 4 Agustus 1965, Syeh Puji awalnya hanya 
lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Don Bosco, Semarang. Setelah tamat dari 
SPG, dia hijrah ke Jakarta. Di ibu kota dia bekerja serabutan, termasuk menjadi 
kuli bangunan, sebelum akhirnya sukses jadi salesman buku-buku ensiklopedia. 

"Saya kenal keluarga Cendana," kata Pujiono ketika ditanya tentang salah satu 
kunci sukses menjadi salesman buku-buku mahal itu.
Pada awal 1990-an dia kembali ke Bedono. Dengan uang Rp 460 juta yang 
dikumpulkan dari kerja kerasnya, dia membuka usaha di kampung halaman yang 
sebagian besar warganya adalah petani (terkenal dengan buah kelengkeng). 

Usaha kerajinan kuningan PT Silenter yang produksinya, antara lain, kaligrafi 
berbingkai itu berkembang cukup pesat. Dengan jumlah karyawan sekitar 2.600 
orang, produk perusahaan itu kini sudah merambah ke Malaysia, Brunei, dan Arab 
Saudi. Menjelang Lebaran lalu pengusaha nyentrik itu membagi zakat mal secara 
terbuka senilai Rp 1,3 miliar di desanya.

Tak ada yang tahu pasti berapa omzet PT Silenter. Namun, jumlah zakat mal dan 
gaya hidup Syeh Puji bisa menjadi salah satu indikatornya. Di areal itu 
terdapat ruang berdinding kaca -mirip showroom- untuk menyimpan mobil-mobil 
Syeh Puji. 

Total dia memiliki sembilan mobil, yakni lima BMW, dua Mercedes Benz, serta 
masing-masing sebuah Nissan X-Trail dan Kijang Innova. Di luar X-Trail dan 
Innova yang sehari-hari dia pakai, mobil-mobil BMW dan Mercedes Benz itulah 
yang disimpan di "showroom" khusus tersebut. Dari beberapa koleksi itu, yang 
terbaru adalah sebuah Mercy merah yang dia beli seharga Rp 2,5 miliar.

Kehadiran Lutfiana Ulfa, 12, sebagai istri kedua, seperti pengakuan Syeh Puji, 
juga dimaksudkan sebagai proses "regenerasi" di PT Silenter. Gadis itu 
dijanjikan akan dikader menjadi general manager (GM) di sana, karena istri 
pertama Syeh Puji, Umi Hanni, lebih fokus mengelola pondok pesantren.

B. Agung Ngadelan, salah seorang tim panitia pencari pendamping (istri) Syeh 
Puji, mengakui bahwa Ulfa punya kelebihan di atas rata-rata gadis seusianya. 
Selain berprestasi di sekolah, bocah kelahiran 3 Desember 1995 itu selalu masuk 
peringkat sejak kelas 1 SD. 
"Nilai rata-ratanya 8,5. Dia bisa mendampingi Syeh Puji untuk memimpin 
perusahaan," kata salah seorang pengajar di SMP Theresiana di Sumowono itu.

Ditemui di kediaman Syeh Puji di kompleks Ponpes Miftahul Jannah, seperti 
layaknya bocah, Ulfa tampak malu-malu ketika dicecar berbagai pertanyaan. Saat 
itu dia didampingi Syeh Puji dan Umi Hanni. Karena masih malu itu, banyak 
pertanyaan malah dijawab Syeh Puji.
Ketika ditanya apakah dia siap memegang kendali PT Silenter seperti amanah sang 
suami, Ulfa hanya menjawab singkat. ''Insya Allah, segala kepercayaan yang 
diberikan Syeh kepada saya akan saya jalankan dengan sebaik-baiknya,'' katanya.

Kecerdasan Ulfa yang sebelum menjadi istri Syeh Puji ternyata sempat duduk di 
kelas II (bukan kelas 1 seperti yang tertulis kemarin) SMP Negeri I Bawen, 
Semarang, ini terlihat dari sorot matanya yang tajam. Dia juga tangkas dalam 
menjawab berbagai pertanyaan. 
Bahkan, saat tampil di atas panggung, dengan disaksikan ratusan pengunjung, 
saat "dilantik" menjadi general manager PT Silenter oleh Syeh Puji, dia bisa 
memberikan sambutan dalam bahasa Inggris yang cukup fasih.

Syeh Puji sendiri mengaku bangga dengan istri kedua yang dipilih lewat seleksi 
tim dan menyisihkan 20 kandidat itu. ''Saya mencari pendamping atau istri lagi 
untuk saya jadikan GM di perusahaan. Ini juga atas seizin istri pertama saya. 
Tidak sembarangan,'' katanya.
Menurut Syeh Puji, dia menikahi istri keduanya pada 8 Agustus lalu. Menepis 
kritik dari berbagai kalangan, termasuk kedatangan dua anggota Komisi 
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ke rumahnya Sabtu (25/10) lalu, kata Puji, 
Ulfa adalah pemberian Allah. "Karena tidak satu-dua kali saya mencari (istri) 
dan bisa pas,'' tambahnya. 

Baik Umi Hanni, istri pertama, maupun Lutfiana Ulfa, istri kedua, kini tinggal 
bersama di areal Ponpes Miftahaul Jannah. Istri pertama tinggal di ruang utama 
dekat ruang tamu Syeh Puji. Bangunan tersebut tidak terlalu luas yang terbuat 
dari kayu papan. Di dalamnya ada ruang tamu, kamar pribadi Syeh, ruang makan, 
dan dapur. 
Sedangkan Ulfa ditempatkan di paviliun dengan bangunan modern dari tembok yang 
dicat putih. Paviliun dengan pintu dan daun jendela terletak berseberangan 
-sekitar lima meter jauhnya- dengan kamar istri pertama. 
Saat ditanya apakah istri keduanya itu sudah digauli sebagaimana layaknya suami 
istri, Syeh Puji yang dua tahun lalu mendapat gelar sebagai tokoh sosial dari 
Pemkab Semarang itu tertawa. "Wah, untuk urusan itu rahasia. Yang penting, 
pokoknya adil gilirannya gitu saja,'' katanya. (Didik Daim Machyudin, 
Ungaran-el)
 

Kirim email ke