RUU Tipikor
KPK Khawatir DPR Reduksi Pasal Suap 


Jakarta-Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Jasin mengusulkan 
penambahan pasal terkait suap dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana 
Korupsi (Tipikor). Penambahan pasal tersebut harus dilakukan sekarang agar saat 
diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak direduksi oleh legislator. 
Demikian pendapat M Jasin di sela-sela suatu diskusi, Senin (16/2). “Harus ada 
penambahan pasal mengenai suap karena mengantisipasi kebiasaan DPR yang 
mengurangi pasal-pasal krusial dari setiap RUU yang diajukan,” ungkapnya. 
Pasal yang diusulkan dalam perkara suap, menurutnya, seperti yang diatur dalam 
UNCAC (United Nation Convention on Against Corruption), di mana Indonesia sudah 
meratifikasi melalui UU No 7 Tahun 2006. 
Pasal suap yang diminta untuk ditambahkan adalah Pasal 15 UNCAC, mengenai 
sebelum suap berpindah tangan, sudah dapat dipidana. Kemudian Pasal 16 UNCAC 
mengatur suap yang melibatkan pejabat publik dan pejabat organisasi 
internasional. Lalu Pasal 21 UNCAC yang mengatur penyuapan di sektor swasta. 
Hasil draf RUU Tipikor yang dibuat tim perumus pimpinan Andi Hamzah 
menunjukkan, apa yang diatur dalam UNCAC belum ada sama sekali. Menurutnya, 
sejak awal, mengenai penyuapan seperti diatur dalam UNCAC harus diajukan dan 
diperjuangkan berbagai pihak. 
Menurutnya, strategi itu sangat penting karena beberapa kali DPR mereduksi 
pasal-pasal krusial dalam setiap RUU yang mereka bahas. Ia mencontohkan tentang 
perlindungan saksi dan korban, terutama yang mengatur tentang saksi yang 
mengungkapkan kasus pertama kali (whistle blower) yang direduksi di tengah 
jalan saat pembahasan. 
Kini, sejumlah kasus yang ditangani KPK sebagian besarnya terkait gratifikasi 
atau suap yang melibatkan kalangan Dewan, di antaranya kasus Al Amin, Bulyan 
Royan, dan kasus Yusuf Emir Faishal.

 
Sebelumnya, komisi ini juga mengapresiasi hasil survei Transparency 
International Indonesia (TII) yang menempatkan Polri sebagai institusi 
pemerintahan yang menduduki peringkat pertama dalam kasus suap. Dalam survei 
itu juga disebutkan adanya indikasi suap pada pengadilan. 
Namun, komisi ini menolak mengomentari lebih jauh soal tindakan KPK sebagai 
lembaga supervisi terkait survei itu. KPK menurut Wakil Ketua KPK Bidang 
Pencegahan Haryono Umar, sebaliknya melihat adanya proses perbaikan di dalam 
tubuh Polri saat ini.
“Jangan dicampuradukkan tugas KPK dengan hasil pekerjaan TII. Biarkan TII 
menjelaskan kepada publik apa dasar survei itu. Tidak benar kalau kami 
mengomentari pekerjaan orang,” kata Haryono Umar pekan lalu.
Survei TII terhadap 15 instansi pemerintah menyebutkan, kepolisian menjadi 
lembaga yang paling banyak menerima suap dibanding lembaga publik lain. 
Rata-rata nilai suap per transaksi mencapai Rp 2,273 juta.
(leo wisnu susapto)

 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
 
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke