<*>[Attachment(s) from teddy sunardi included below]

Sumber gambar: kompas.com

Membicarakan sejarah pakaian di Indonesia pada awal abad ke-20
merupakan suatu hal yang menarik. Pakaian, bukan sekadar penutup
aurat, tetapi juga perlambang dari status sosial-ekonomi, bahkan
politik. Pemerintah kolonial menciptakan pencitraan kekuasaan mereka
melalui pakaian. Pakaian kaum Eropa dibedakan dengan kaum pribumi.
Pribumi dilarang memakai pakaian kaum kulit putih. Dikotomi semacam
ini dibangun terus pada masa kolonial.

Pakaian juga melambangkan kebesaran. Dalam buku Outward Appearances;
Trend, Identitas, Kepentingan, Kees van Dijk melihat pakaian yang
dikenakan kaum pribumi (terutama kalangan bangsawan) dipengaruhi oleh
pakaian dari Persia, Arab Saudi, Turki, India, Cina, dan Belanda. Dijk
juga menyebut Raja Ternate dan Amangkurat II mengesampingkan pakaian
kerajaan mereka demi pakaian Belanda. Dijk bahkan berpendapat bahwa
identitas pakaian tidak kalah berbahayanya dengan identitas agama
serta keyakinan politik. Menurutnya pakaian membuat orang bisa saling
hantam, saling tikam, dan dapat saling bunuh. Contoh kasus yang
diberikan Dijk adalah peristiwa terbunuhnya seorang ahli botani dari
Inggris, Dr. C.B. Robinson. Pada Desember 1913 Robinson mengunjungi
Ambon. Saat itu ia berpakaian warna kaki gelap dengan topi beludru
yang aneh. Ternyata pakaiannya ini membuat suku Buton Muslim menjadi
ketakutan dan kemudian membunuhnya.

Kebaya, sarung, dan peci yang termasuk kategori pakaian, juga memiliki
simbol-simbol tertentu. Meski terkesan remeh, tapi ia juga
mencerminkan identitas sang pemakai. Lebih jauh, kebaya, sarung, dan
peci mengandung makna politis di dalamnya.

Kebaya menurut Jean Gelman Taylor dalam Outward Appearances; Trend,
Identitas, Kepentingan merupakan kostum bagi semua kelas sosial pada
abad ke-19, baik bagi perempuan Jawa maupun Indo. Bahkan ketika para
perempuan Belanda mulai berdatangan ke Hindia sesudah tahun 1870,
kebaya menjadi pakaian wajib mereka yang dikenakan pada pagi hari.

Seorang perempuan Eropa bernama Augusta de Wit memberi kesaksian
tentang gaya berpakaian orang Eropa di Hindia Belanda. Perempuan ini
tiba di Tanjung Priok pada awal abad ke-20. Augusta terkesan melihat
pakaian perempuan Eropa di Batavia. Ketika diruang hotel, ia melihat
serombongan orang Eropa sedang santai di beranda hotel. Ia menyebutkan
bahwa kaum wanitanya mengenakan pakaian yang tampaknya seperti pakaian
penduduk asli, yaitu sarung dan kebaya. Kebaya itu semacam baju dari
kain tipis putih yang dihiasi banyak bordiran. Di bagian depannya
disemat dengan peniti-peniti hiasan yang diuntai dengan rantai emas.
Sarung adalah sepotong kain warna-warni yang dilipat dibagian depan
dan diikat dipinggang dengan ikat pinggang sutera. Mereka tidak
memakai kaus kaki, cuma memakai sandal berhak tinggi. Rambutnya meniru
gaya penduduk asli, yaitu ditarik ke belakang dan disanggul di
belakang kepala…Lebih mencengangkan lagi ialah pakaian kaum prianya.
Disaat santai itu mereka memakai baju tidak berkerah. Celananya dari
kain sarung tipis dihiasi bunga-bunga merah dan biru, ada pula yang
bergambar kupu-kupu dan naga (Ishwara, 2001).

Gaya busana Eropa totok dengan kaum Indo-Eropa ternyata sama. Kaum
Indo-Eropa juga mengenakan kebaya dan sarung. Di tengah waktu luang,
ketika santai di beranda rumah sambil menikmati secangkir kopi atau
teh, mereka mengenakan kebaya, sarung, atau baju tidak berkerah. Namun
kebaya dan sarung yang dipakai kaum perempuan Eropa totok dan
Indo-Eropa berbeda dengan apa yang dipakai perempuan pribumi dari
penjaga kedai hingga istri seorang residen kolonial, di halaman istana
(Koningsplein) atau di kampung, begitulah tulis Pamela Pattynama dalam
menjelaskan kehidupan kaum Indis pada buku Recalling The Indies.
Mungkin kebaya dan sarung yang dipakai oleh perempuan Eropa totok dan
Indo-Eropa sudah sedikit dimodifikasi oleh mereka, dan nampaknya
mereka sengaja membedakan pakaian ini dengan perempuan pribumi. Kebaya
pagi bagi perempuan Eropa dan Indo terbuat dari kain katun putih yang
dihiasi renda buatan Eropa dan kebaya malam terbuat dari sutera hitam.

Ada beberapa saran dari Catenius-van der Meijden, seorang Belanda yang
lahir di Hindia, tentang kebaya yang akan dikenakan perempuan Belanda
yang mau mendampingi suami mereka di Hindia. Catenius-van der Meijden,
yang juga merupakan penulis buku Naar Indie en Terug: Gids voor het
gezin, speciaal een vraagbaak voor dames menulis bahwa kebaya yang
dibeli dengan harga mahal di Belanda terlihat konyol ketika dikenakan
di Hindia. Catenius juga menyarankan agar tidak membawa pakaian
terlalu banyak karena di Hindia semuanya sangat murah, dibandingkan di
Belanda. Di samping itu ia juga menghimbau para istri Belanda supaya
memiliki 6 sarung tidur, 2-3 sarung rapi, 6 kebaya tidur, dan 6 kebaya
rapi untuk tinggal di Hindia.

Bukan hanya kaum perempuan Eropa saja yang mengikuti pakaian pribumi.
Anak-anak orang Belanda di Hindia juga mengenakan pakaian yang disebut
oleh penduduk Melayu sebagai “celana monyet”. Pakaian ini hanya
menutupi badan, sedangkan leher, lengan, dan tungkai dibiarkan
telanjang. Nampaknya alasan yang paling mendasar orang Eropa
mengenakan pakaian-pakaian ini adalah suatu upaya untuk mengatasi hawa
panas di Hindia yang tentunya berbeda dengan iklim di Eropa. Tetapi
pada 1920an, ada aturan yang melarang mereka mengenakan pakaian ini di
ruang publik, dan membiasakan kebiasaan lama yaitu berbusana ala
kolonial di kalangan publik. Pemakaian kebaya dan sarung tetap
terpelihara, namun dibatasi hanya untuk dipakai di rumah. Sedangkan di
luar rumah orang Eropa mengenakan pakaian Barat. Sekolah dan kerja
mengharuskan pakaian rapi yang dilengkapi dengan sepatu.

Sekarang, kebaya masih dipakai kaum perempuan walau terbatas pada
momen-momen tertentu, dan jarang sekali terlihat di ruang publik. Yang
ironis kebaya sekarang justru lebih identik dengan perempuan yang
telah beranjak tua di desa-desa.

Dimuat kompas.com, 8 Februari 2010.

-- 
Teddy


<*>Attachment(s) from teddy sunardi:

<*> 1 of 1 Photo(s) 
http://groups.yahoo.com/group/zamanku/attachments/folder/1833041551/item/list 
  <*> sarung.jpg

------------------------------------

Ingin bergabung di zamanku? Kirim email kosong ke: 
zamanku-subscr...@yahoogroups.com

Klik: http://zamanku.blogspot.comYahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/zamanku/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/zamanku/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    zamanku-dig...@yahoogroups.com 
    zamanku-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    zamanku-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke