Catatan
Lepas Dari Diskusi Sastra dan Pemberadaban yang diselenggarakan Bale Sastra
Kecapi, Kompas dan Bentara Budaya (Sastra dan Peradaban 2)


Baca
juga artikel sebelumnya Sastra dan Peradaban (1) : Pada Awal Mula Segala Sastra
adalah Religius.

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2009/03/sastra-dan-peradaban-2.html


Dalam
diskusi di Bentara Budaya Thamrin Tamagola sempat berbagi kehadirannya
pada  satu seminar mengenai Pancasila, dimana ia mengusulkan untuk
menjawab tantangan jaman dan menjadikannya lebih kontekstual maka bisa saja
urutan sila-sila dirubah. Ia mengusulkan urutan sila-sila terkait sebagai
berikut : kemanusiaan, keadilan sosial, demokrasi, baru persatuan dan terakhir
keTuhanan. Ia mengingatkan soal kekejaman di Aceh, Timor Leste, Papua yang
berpangkal pada tafsir persatuan yang ngawur, juga tafsir agama yang
menghasilkan kekerasan-kekerasan dan konflik-konflik keras bermotif agama.


Bagi
saya inilah penjelasan yang paling tepat tentang pilihan pada religiositas
bukan agama. Sebagai gerak akal, budi, rasa, nurani untuk mewujudkan
kemanusiaan dan sekaligus keadilan sosial. Persoalan religiositas sebagai gerak
vertikal manusia dan Penciptanya bukan semata-mata atau bahkan tidak berarti
apa-apa tanpa peluberan ke bumi, tanpa wujud sebagai kasih kepada sesama.
Demikian esensi dari agama manapun, sebagai sebuah perjalanan sebuah misi
menuju pembebasan, kemanusiaan dan keadilan. 


Karena
itu saya masih melihat relevansi simpulan Pada Awal Mula Segala Sastra adalah
Religius. Dengan demikian saya meyakini religiositas sebagai sebuah karya
sastra yang baik atau dalam konteks diskusi ini sebagai jalan pemberadaban,
Religiositas bisa bekerja tanpa keyakinan agama apapun, bahkan bisa jadi tanpa
tuhan manapun, sepanjang manusia mewujudkan panggilan nuraninya untuk
kemanusiaan dan keadilan.


Adab
Bukan "Adab"


Bila diskusi ini membahas Sastra dan Peradaban maka pemberadaban yang dimaksud
menyasar masyarakatt atau tatanan masyarakat dimana kemanusiaan dan keadilan
menjadi wujud. 


Dalam
diskusi ini Thamrin Tamagola menyoroti lebih jauh dan sekaligus melakukan
klarifikasi pengertian adab dan perberadaban. Dengan meninjau asal-asul kata
adab yang diambil dari bahasa Arab, dalam konteks tema sastra dan pemberadaban
maka menurutnya kata yang lebih tepat  sebenarnya adalah Tamadun. Adab
pararel dengan konsep Civilized Society sedangkan Tamadun pararel dengan 
konsepsi
Decent Society.


Pembedanya
adalah yang pertama memiliki bekerja dalam lingkup pribadi, hubungan antara
individu, sedangkan yang kedua memiliki lingkup institusi atau sistim dan
struktur kemasyarakatan.


Secara
khusus ini juga sebagai tanggapan atas presentasi Putu Wijaya -Kegagalan Sastra
Dalam Pemberadaban-, terkait pernyataannya tentang ketidakadaban bangsa ini
dengan contoh-contoh perilaku menyimpang seperti mutilasi, kekerasan, korupsi
dll. Tanpa memberikan sorotan terhadap persoalan yang lebih bersifat struktural
dan sistemik. Sementara Thamrin Tamagola tegas melihat misalnya sistim
kapitalisme neoliberal (juga patriarkhi) sebagai ancaman kemanusiaan dan akar 
ketidakadilan.
Secara khusus ia menyoroti tentang penindasan rangkap terhadap perempuan dan
alam (lingkungan hidup).


Menurut
saya kalau kita kembali ke Pancasila diatas maka ketika kita bicara tentang
pemberadaban adalah bicara pada tingkat perjuangan mewujudkan stuktur dan
sistim kemasyarakatan yang mengacu kepada ke 5 nilai Pancasila tersebut.


Sastra
Bukan “Sastra”


Lantas
apa yang disebut dengan sastra itu sendiri, apakah semua karya-karya non fiksi
dapat disebut sastra. 


Bagi
Putu Wijaya sastra adalah semua bentuk ekspresi  dengan bahasa sebagai
basisnya. Sehingga terangkum pulalah yang tidak tertulis (sastra lisan) yang
memiliki bobot ekspresi lewat bahasa. Hanya memang menurutnya ada perbedaan
kualifikasi sastra yang hanya menghibur sebagai klangenan ada sastra yang
serius. Sastra serius inilah yang dapat berperan dalam pemberadaban. Sementara
Jakob Sumarjo menganggap tidak semua karya non fiksi seperti novel dapat
disebut karya sastra.

Penilaian
Jakob Sumarjo bahwa Laskar Pelangi dan Ayat-ayat Cinta tidak masuk dalam
kategori sastra sempat dipertanyakan oleh beberapa orang peserta diskusi.
Sementara Putu Wijaya menilai bahwa kedua novel ini adalah juga karya sastra,
tetapi ujarnya karya-karya sejenis novel  tersebut tidak akan pernah
menembus kriteria nobel sastra. Menurutnya ada kualifikasi khusus yang
disyaratkan untuk karya-karya sastra yang lebih serius ini. 


Jakob
Sumarjo dan Putu Wijaya nampaknya tidak dapat dengan lugas dan sistimatis
menjelaskan argumennya serta kualifikasi ‘sastra’  ini.


Malahan
Tamagola yang sosiolog itu lebih mampu merumuskan kriteria dan kualifikasi ini.
Kriteria ini pada akhirnya juga menjelaskan tentang karya sastra macam apakah
yang mampu memainkan peran perberadaban.


Menurutnya
ada 4 kriteria yakni karya yang kontekstual dengan keadaaan atau situasi
masyarakatnya. Kedua, menjangkau  persoalan kemanusiaan yang mendalam atau
menyangkut hakekat kemanusiaan yang mendasar . Ketiga, menyangkut soal
strategis dan krusial untuk peradaban dan kemanusiaan. Dan terakhir,
diungkapkan secara indah atau memiliki kadar estetika yang bermutu.


Barangkali
secara ringkas bisa diurut kontekstual, mendasar/mendalam, visioner dan indah.

 

Dengan
demikian menurut saya sang seniman punya cara pandang, sudut pandang yang
berbeda dengan umumnya masyarakat kebanyakan. Atau mereka mampu menangkap
esensi persoalan secara mendalam, melihat dan menangkap persoalan kemanusiaan
secara holistik dengan pandanga kritis sekaligus visioner.  


Meminjam
Henry de Pene yang dikutip dalam buku Max Havelaar, “hampir semua cucu
Homeros…. mereka melihat apa yang tidak kita lihat; pandangan mereka menembus
lebih tinggi dan lebih dalam dari penglihatan kita”. Atau dalam penjelasan
Jakob Sumardjo, mencuplik Dead Poet Society, dimana sang guru sastra naik
keatas meja dan memandang dari ketinggian suasana kelas dan menemukan
perspektif yang berbeda. Itulah mata dan dunia penciptaaan para penyair atau
sastrawan pada umunya.


(bersambung)


baca
juga

Kegagalan Sastra Dalam Pemberadaban  (Putu Wijaya)

http://www.bentarabudaya.com/wacana.php?id=32

 Sastra
dan Perberadaban di Indonesia (Jakob Sumardjo)

http://www.bentarabudaya.com/wacana.php?id=31

Sastra
dan Pemberadaban: Hasil Survey terhadap Pembaca Sastra

http://www.bentarabudaya.com/wacana.php?id=33

 




      

Kirim email ke