Kisah Para Pengubah Konstitusi 

Menang di MK, Keok di Partai 

Berkat perjuangan mereka, beberapa UU yang sudah disahkan berubah. Latar 
belakangnya berbeda-beda: pengacara, guru, politisi, hingga eks napi.

--- 

MEMPERJUANGKAN nasib calon anggota legislatif (caleg), dia sendiri gagal 
menjadi caleg. Itulah lakon hidup M. Sholeh. Pria kelahiran Sidoarjo itulah 
yang berhasil mendobrak sistem pemilihan anggota legislatif yang sebelumnya 
dinilai kurang adil karena menguntungkan pemilik nomor urut jadi. 

Sebelumnya merujuk pada pasal 214 UU No 10 Tahun 2008, penentuan caleg yang 
lolos sering ditentukan otoritas pimpinan partai politik. Dengan cara itu, 
caleg yang berada di nomor jadi sangat diuntungkan. Itulah yang dianggap Sholeh 
tidak adil. ''Dengan sistem nomor urut, sering partai menjadi broker. Ini yang 
saya lawan,'' katanya. 

Sholeh pun menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dan, pada 23 Desember 2008, 
gugatannya dikabulkan. Sejak saat itu, penentuan caleg yang lolos tidak lagi 
menggunakan mekanisme nomor urut, tapi suara terbanyak. 

Sejak saat itulah, caleg di semua nomor memiliki posisi yang sama. Artinya, 
baik nomor urut awal maupun buntut, sama-sama harus berjuang untuk mendapatkan 
dukungan dari rakyat. Sebab, caleg yang lolos dihitung dengan menggunakan 
hitungan suara terbanyak.

Saat ini, ketika semua caleg sedang berkompetisi memperbutkan kursi empuk di 
gedung dewan, Sholeh malah sebaliknya. Meski dianggap sangat berjasa dalam 
dunia politik, dia tidak bisa meneruskan tekadnya menjadi caleg dari PDI 
Perjuangan (PDIP). Dia dicoret dari daftar caleg karena dianggap melanggar 
garis-garis partai. ''Nek gela ya gela (dikatakan kecewa ya kecewa), saya gagal 
maju karena dijegal,'' katanya. 

Sholeh akan sangat menerima dengan hati terbuka jika gagalnya menjadi caleg 
karena memang tidak memenuhi syarat sesuai ketetapan undang-undang. Meski 
demikian, dia tidak memendam dendam karena penjegalan itu. 

Sejak awal, pria kelahiran 1976 itu mengaku sudah merasakan adanya ancaman 
namanya akan dihapus dari daftar caleg. Hanya, dia tetap berani mengambil 
risiko itu karena tidak ingin rakyat menjadi bulan-bulanan komoditas politik.. 
''Rakyat memilih, tapi yang jadi bukan yang dipilih. Itu kan tidak adil,'' 
jelasnya.

Yang dia pahami, penjegalan yang menimpanya bukanlah sikap partai. Sebab, PDIP 
yang dia kenal tidak memiliki karakter seperti itu. Jika partai memang tidak 
menginginkan Sholeh maju menjadi caleg, tentu DPC PDIP Surabaya yang mencabut 
pencalonan dia. Sebab, dia dicalonkan partai tersebut. ''Saya tidak minta 
dicalonkan kok,'' ucapnya.

Bahkan, saat itu ada elite di PDIP Jatim yang mengancam akan memecatnya jika 
melanjutkan gugatan ke MK. Tapi, Sholeh malah menantang balik dan mempersilakan 
untuk dipecat.

Meski dipecat, Sholeh berjanji tidak pindah ke partai lain. Bahkan, jika dia 
mau, saat namanya tidak lagi tercantum dari daftar caleg sementara, banyak 
parpol yang menawari dia untuk dicalonkan. Tidak tanggung-tanggung, Sholeh 
diberikan kebebasan untuk memilih nomor urut dan daerah pemilihan. Hanya, 
kesempatan itu tidak dia ambil. ''Kalau saya ambil, sama saja dengan kutu 
loncat,'' jelasnya.

Sudah bertemu dengan elite PDIP Jatim? ''Sudah,'' jawabnya. Saat itu dia bahkan 
dijanjikan masuk lagi dalam daftar caleg. Kenyataannya, hingga sekarang dia 
tetap terpental dari daftar caleg.

Meski demikian, direktur Badan Bantuan Hukum PDIP Surabaya itu tidak berkecil 
hati. Namun, sebaliknya, Sholeh malah mengaku bangga. Meski dijegal dari 
pencalonan, dia tetap bisa menunjukkan sebagai kader PDIP mampu memberikan 
sumbangsih untuk kepentingan caleg di Indonesia. 

Keberhasilannya mengubah sistem pemilihan caleg bagi dia menjadi investasi 
politik yang luar biasa. ''Meski tidak bisa ikut menjadi caleg. Meski bukan 
saya, toh orang lain yang merasakan,'' katanya dilanjutkan dengan tertawa.

*** 

Gagalnya melaju ke gedung dewan, tidak membuat Sholeh jobless atau putus asa. 
Kini dia kembali sibuk menekuni dunia advokadnya. Saat akan diwawacarai 
kemarin, Sholeh harus terbang ke Bali karena akan menyidangkan kasus kliennya 
yang berkewarganegaraan asing. Karena itulah, dia memberikan waktu tengah malam 
minggu lalu sambil ngopi di sebuah warung di Surabaya.

Meski sudah menjadi sosok yang menjadi sorotan banyak orang, dia tetap 
berpenampilan seperti biasanya. Kaus oblong bergambarkan wajah Presiden Amerika 
Barrack Obama dipadukan celana jins membuat dia terlihat nyantai. Tas cangklong 
berbahan kulit tetap menjadi ciri khasnya sejak menjadi aktivis hingga 
sekarang. 

Sholeh mengatakan, dirinya sekarang kembali terjun ke dunia pengacara. Beberapa 
kliennya yang sebelumnya sempat dikurangi saat ini mulai digaet kembali. 
Bahkan, sejak namanya mencuat karena gugatannya dikabulkan MK, dia semakin 
tersohor. Bahkan, ada warga negara Australia yang sengaja mencari dia di 
Surabaya untuk menangani kasus di Pengadilan Negeri Denpasar. 

''Mungkin ini berkahnya. Tapi, bukan itu tujuan saya yang utama,'' katanya.

Hanya, keberhasilannya menggugat undang-undang itu membuat dia merasa investasi 
politiknya semakin banyak. Sebelumnya, dia banyak dikenal sebagai aktivis. Saat 
sebagian besar orang takut bersuara, Sholeh sudah berani mengkritik dan melawan 
penguasa Orde Baru. Hingga akhirnya, dia dipenjara di Lapas Kalisosok, 
Surabaya. 

Tidak hanya itu, kiprahnya di dunia advokad juga tidak diragukan lagi. Dia juga 
menangani kasus-kasus yang menjadi sorotan masyarakat. Dia pernah mendampingi 
Sumiarsih, terpidana mati, kasus kerusuhan di Tuban, kasus buruh, dan 
kasus-kasus lainnya.

Ayah empat anak itu sebenarnya kurang sepakat jika dikatakan kembali ke 
advokad. Sebab, dia tetap mengakui bahwa advokad adalah profesinya. Sedangkan 
panggung politik yang akan dilaluinya adalah bentuk pengabdian, bukan tujuan 
pekerjaan. ''Apalagi, kalau diukur dari segi penghasilan, masih besar menjadi 
pengacara,'' jelasnya, lantas tertawa. 

***

Ada cerita menarik saat mengajukan gugatan atas pasal tentang caleg ke MK. 
Sesuai ketentuan, orang yang berhak mengajukan gugatan ke MK adalah yang 
memiliki hak konstitusional. Artinya, saat menggugat pasal tentang caleg, yang 
boleh mengajukan adalah caleg. 

Saat mengajukan gugatan, Sholeh masih tercatat sebagai caleg. MK pun meminta 
syarat tersebut. Sholeh diharuskan untuk mengantongi surat rekomendasi dari KPU 
Jatim. Sayang, saat kembali ke Surabaya untuk meminta rekomendasi, Sholeh sudah 
dicoret dari daftar caleg. ''Waktu memasukkan gugatan, saya masih menjadi 
caleg. Tapi, pas dipanggil lagi, saya sudah dicoret,'' jelasnya.

Rekomendasi itu sebagai bukti bahwa dia adalah caleg. Dia sempat bimbang saat 
itu. Jika dia jujur mengatakan bahwa namanya sudah dicoret, gugatannya 
dipastikan ditolak MK. Karena itulah, saat itu dia memilih berbohong dengan 
mengatakan bahwa KPU Jatim tidak mau mengeluarkan rekomendasi. Saat hakim MK 
menanyakan terus, dia pun memberikan jawaban yang sama.

Nah, saat dinyatakan menang, Sholeh baru mengatakan bahwa dirinya bukan caleg 
lagi. ''Saya ngomong, saya dicoret dari caleg karena mengajukan gugatan ini,'' 
jelasnya. 

Waktu itu, saat dia prihatin karena namanya dicoret, banyak yang menyampaikan 
ucapan selamat. Termasuk elite PDIP Jatim yang sebelumnya mencoret namanya dari 
daftar caleg. ''Bagi saya, apa yang saya lakukan pasti dicatat sejarah,'' 
tambahnya. (eko priyono/kum)

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=60480


 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
http://groups.google.com/group/suara-indonesia?hl=id
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke