Telah dimuat pada Harian Seputar Indonesia, 30 Oktober
2008

 

 

Merawat dan Memperkuat Ikatan Pemersatu Indonesia

Oleh Victor Silaen

 

     Momentum
Sumpah Pemuda yang ke-80 tahun 28 Oktober lalu sudah diperingati oleh pelbagai
komponen bangsa. Entah kenapa peringatan kita atas momentum ini tak pernah
semarak peringatan Proklamasi Kemerdekaan. Padahal, kalau saja tak pernah ada
momentum tersebut, bangsa manakah yang memproklamasikan kemerdekaannya pada 17
Agustus 1945? Tidak jelas. Namun, dengan adanya Sumpah Pemuda, maka jelaslah
bahwa momentum penting 17 Agustus 1945 itu merupakan peristiwa diproklamirkannya
kemerdekaan suatu bangsa, yakni Bangsa Indonesia.

 

    
Inilah yang harus dipahami secara kritis. Bahwa sebelum Sumpah Pemuda,
sesungguhnya Bangsa Indonesia belum betul-betul ada sebagai entitas politik. 
Yang
ada barulah “embrio” Bangsa Indonesia, yang berserakan di pelbagai pelosok
Nusantara dalam wujud suku-suku yang beranekaragam dan dengan entitas politiknya
masing-masing. Memang, sejak zaman Hindia Belanda, masyarakat kita sangat
maje­muk. Menurut studi Furnivall (1944), kemajemukan itu ditandai dengan
banyaknya kelompok masyarakat yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada suatu
kesatuan politik. Jadi, semasa penjajahan dahulu, yang ada di gugusan kepulauan
yang disebut Nusantara ini adalah Orang Jawa (huruf “o” sengaja ditulis dengan
huruf kapital untuk menunjukkan golongan atau komunitas, dan bukan satuan
manusia), Orang Bali, Orang Batak, Orang Minang, Orang Bugis, Orang Minahasa,
dan lainnya, yang masing-masing memiliki otonomi sendiri atas wilayah dan
kelompok masyarakatnya. 

 

     Atas dasar itulah mereka tidak bisa
digolongkan secara begitu saja sebagai Orang Indonesia atau Bangsa Indonesia. 
Apalagi
saat itu memang belum ada nasionalisme yang mempersatukan keanekaragaman mereka.
Jadi, jangankan spirit yang sama sebagai suatu nasion, bahkan bahasa yang
merupakan wahana untuk menjalin interaksi dan interelasi di antara mereka pun
berbeda-beda. 

 

     Di
era kolonial dahulu, Bangsa Indonesia dalam artian politis (nasion) memang
belum ada. Yang ada adalah sekumpulan suku (etnik), yang masing-masing hidup
mandiri -- dan terpisahkan oleh jarak politik, budaya, dan geografis -- 
sebagai­mana
halnya bangsa-bangsa yang berdaulat atas wilayah dan pendu­duknya sendiri
(nasion). Itulah sebabnya Orang Kulit Putih mudah menjajah nenek-moyang 
Indonesia
itu selama ratusan tahun dengan cara memecah-belah (politik divide et impera). 
Nama “Indonesia”
sendiri sebenarnya diberikan oleh sejumlah peneliti asing, antara lain James
Richardson Logan dari Inggris, pada abad ke-18, karena menurut dia, kepulauan
Nusantara dan orang-orang yang mendiaminya mirip dengan kepulauan India beserta
penduduknya.

 

     Latar
belakang seperti ini sebenarnya mirip dengan yang dialami Orang Indian di 
Amerika.
Penduduk “asli” yang mendiami benua tersebut, terutama sebelum Orang Kulit
Putih dari Eropa datang ke benua ini pada abad ke-15, sebenarnya bukanlah
bangsa yang satu dan bersatu. Mereka terdiri atas banyak suku (etnik), yang
masing-masing hidup mandiri (sebagaimana halnya nasion) secara politik dan
budaya  --  dan memiliki ratusan
bahasa yang berbeda-beda. Ketika Columbus mendarat di sana, maka dialah orang
pertama yang memberikan  nama “Indian” kepada mereka. Menurut Columbus,
penduduk asli itu mirip dengan orang-orang yang pernah dilihatnya di kepulauan
India.

 

     Kembali pada sekumpulan suku (Orang Jawa, Orang
Bali, Orang Batak, Orang Bugis, Orang Minahasa, dan lainnya) yang mendiami
kepulauan Nusantara itu, seiring waktu “embrio” bangsa Indonesia itu pun
mengalami maturitas akibat didera penderitaan yang berkepanjangan di bawah
penguasaan kaum penjajah. Kelak, ketika saatnya tiba, lahirlah “bangsa baru”
itu: Bangsa Indonesia. Bilakah itu? Bukan pada saat Kemerdekaan Indonesia 
diproklamirkan,
melainkan ketika sejumlah tokoh dari berbagai organisasi pemuda mencetuskan
ikrar politik yang mengakui sekaligus membulatkan tekad untuk bersatu nusa,
bersatu bangsa, dan bersatu bahasa. 

 

     Tepatnya
tanggal 28 Oktober, delapan puluh tahun silam, di Gedung Indonesische 
Clubgebouw, Jalan Kramat 106, Jakarta, milik
seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong, para tokoh pemuda itu mengucapkan Ikrar
Pemuda. Pertama: “Kami Poetra dan Poetri Indonesia,
mengakoe bertoempah darah jang satoe Tanah Indonesia”. Kedua: “Kami
Poetra dan Poetri Indonesia,
mengakoe berbangsa satoe Bangsa Indonesia”.
Ketiga: “Kami Poetra dan Poetri Indonesia, mengakoe mendjoengdjoeng
Bahasa Persatoean Bahasa Indonesia”. Pada saat bersamaan diperkenalkan lagu 
Indonesia
Raya karya Wage Rudolf Supratman yang kemudian menjadi lagu kebangsaan 
Indonesia.


 

     Jadi, saat itulah sesungguhnya secara
resmi nasion dan nasionalisme Indonesia mulai dibangun. Sejak itulah pula
perjuangan Bangsa Indonesia demi melepaskan diri dari belenggu penjajahan 
semakin
menemukan arahnya. Sulitkah? Tentu saja. Sebab, selain suku-suku di Nusantara
ini berserakan secara geografis, masing-masing mereka juga memiliki
kebudayaannya sendiri-sendiri. Maka patutlah disyukuri bahwa saat itu ada satu
bahasa yang ditetapkan secara resmi menjadi Bahasa Persatuan. Jika tidak,
tingkat kesulitan dalam rangka membangun nasion dan memperkuat nasionalisme
Indonesia itu niscaya bertambah besar. 

 

     Pada 18 Agustus 1945, sehari setelah Kemerdekaan
Indonesia diproklamirkan, the founding
fathers bersepakat menjadikan Pancasila versi yang sekarang ini sebagai
dasar negara sekaligus ideologi bangsa dengan semboyannya yang berbunyi
“Bhineka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tapi Satu). Logikanya, sejak itu, upaya
membangun nasion dan nasionalisme Indonesia relatif tak lagi sulit. Namun 
kenyataannya,
mengapa setelah Indonesia merdeka lebih dari setengah abad, nasionalisme masih
merupakan sebuah persoalan besar di tengah kehidupan berbangsa dan
bermasyarakat? Bukankah logikanya ikatan pemersatu bangsa yang semakin dewasa
ini pun semakin kuat? Namun fakta bicara, bahwa Pancasila tidaklah semakin
kokoh sebagai ideologi pemersatu Indonesia. Buktinya, selama ini, sejumlah
pemimpin kerap mengungkapkan keprihatinan mereka akan pudarnya penghayatan kita
terhadap Pancasila.

 

     Tak pelak, inilah saatnya semua komponen
bangsa merenungkan kembali makna kesatuan dan kebersatuan Indonesia. Ingatlah
sekali lagi, bahwa Indonesia telah diikrarkan oleh para pemimpin kita dahulu
hanya dalam tiga hal ini: nusa, bangsa, bahasa. Artinya, di luar trinitas itu,
tak ada hal lain yang boleh dipaksakan untuk menjadi ikatan pemersatu kita. 
Agama
atau keyakinan tidak, tatacara berbusana maupun berperilaku santun sama halnya.
Dengan menyadari hal-hal penting ini, maka upaya-upaya memaksakan keseragaman 
budaya
seharusnya dijauhkan. Justru sebaliknya, seharusnya kita mensyukuri Indonesia 
sebagai
bangsa yang majemuk. Itulah hakikat sekaligus kekayaan kita yang merupakan 
anugerah
ilahi.

 

     “Nasion,” ujar ilmuwan Perancis Ernest Renan,
“adalah suatu jiwa, suatu asas spiritual. Ia merupakan kesatuan solidaritas
yang besar, tercipta oleh pengorbanan yang telah dibuat di masa lampau, dan
yang bersedia dibuat di masa depan. Nasion mempunyai masa lampau, tetapi ia
melanjutkan dirinya pada masa kini melalui suatu kenyataan yang jelas, yakni
kesepakatan dan keinginan yang dikemukakan dengan nyata untuk terus hidup
bersama.” Memang, definisi Renan saat ini mungkin sudah agak usang, terutama
dalam hal “masa lampau”. Adalah fakta bahwa orang-orang yang berhimpun sebagai
Bangsa Indonesia dewasa ini tak semuanya memiliki masa lampau yang sama. Orang
Papua, misalnya, bukankah baru bergabung dengan Indonesia belakangan (bukan
tahun 1928 maupun 1945)? Karena itulah, yang harus kita pandang sebagai hal
terpenting adalah sekarang dan masa depan. Jika kita sepakat untuk terus
bersama-sama, maka trinitas yang telah menjadi ikatan pemersatu Indonesia itu
harus dirawat dan diperkuat seraya terus-menerus meyakini bahwa ikatan
pemersatu yang lain tidaklah diperlukan. Itulah nasionalisme kewargaan yang
modern (modern-civic-nationalism),
yang dilandasi dengan kesadaran setiap warga akan perbedaan di antara mereka
dan karena itulah mereka saling menghargai di tengah kebersamaan sebagai satu
bangsa. 

 

* Dosen Fisipol UKI,
pengamat sospol. 

 




      

Kirim email ke