http://www.sinarharapan.co.id/berita/0809/22/opi01.html
Menepis Pragmatisme Ramadan Oleh Musyafak Semarak Ramadan makin terasa gegap-gempita mengiringi ibadah puasa umat muslim. Shalat berjamaah dan tarawih dilakukan beramai-ramai, kultum atau ceramah keagamaan serta halaqah-halaqah disampaikan oleh banyak ustadz dan kiai. Aktivitas muslim di setiap Ramadan merupakan fenomena keberagamaan tersendiri: semangat beribadah, menjalin kedekatan dengan Tuhan, berusaha membaur dengan sesama secara harmonis. Akankah situasi seperti ini senantiasa dilaksanakan oleh umat Islam pada selain bulan Ramadan? Sejatinya Ramadan adalah momentum awal bagi revolusi spiritual-individual maupun revolusi sosial masyarakat muslim. Akan tetapi selama ini pelaksanaan puasa masih sebatas ritual yang kering makna dan nilai. Oleh karena itu aktivitas di bulan Ramadan mencerminkan mentalitas muslim yang pragmatis, sebab ibadah tidak menyentuh tataran istiqamah. Al-Qur'an menegaskan tujuan puasa secara umum adalah untuk menggapai ketakwaan kepada Allah (QS. 02: 183). Dalam pandangan umum, takwa adalah takut kepada Allah dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ahmad Thohari menawarkan pemaknaan baru bagi kata takwa yang lebih identik dengan kata "setia". Dengan demikian, tujuan puasa adalah menjadikan diri makin setia kepada-Nya (Suara Merdeka/21/09/2007). Pemaknaan kesetiaan secara filosofis menyentuh tataran istiqamah, yaitu konsistensi (keajegan) dan kontinuitas (keberlanjutan) muslim dalam menjalankan ibadah. Ini sesuai dengan Firman Allah bahwa orang-orang yang beriman kemudian meneguhkan hatinya, maka merekalah yang dijamin tiada kekahawatiran dalam hidup (QS. 46: 13). Dengan demikian kebahagiaan Ramadan hanya dapat dirasakan bagi muslim yang benar-benar menjalankan puasa dan ibadah dengan istiqamah. Dengan demikian, diharapkan kesalihan-kesalihan yang diamalkan selama Ramadan akan terus berlanjut dalam keseharian muslim di bulan-bulan lain sepanjang tahun. Pragmatisme Meskipun semua umat muslim Indonesia menunaikan puasa dengan menahan segala hawa nafsu, tetapi usai Ramadan hal-hal buruk yang dilarang tak jarang kembali dilakukan. Menurut Ahmad Thohari, istilah takwa mungkin sudah menjadi "kata lelah". Yakni kata yang sudah digunakan secara lisan dan retorik, sehingga kekuatan maknanya tidak lagi mampu menembus dimensi kesadaran manusia. Jika mau jujur, umumnya selain bulan puasa, orang-orang jarang sekali menginjakkan kaki untuk shalat berjamaah di masjid atau di mushola. Tetapi, selama Ramadan semua umat muslim kebanyakan berbondong-bondong ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah. Apalagi ketika waktu tarawih tiba, orang-orang yang biasanya punya kesibukan tersendiri, serta merta tumplek di masjid untuk mengikuti ibadah sunnah tersebut. Keadaan ini bukanlah realitas buruk dalam keberagamaan seseorang. Sebaliknya memang sebuah penghormatan yang luar biasa kepada bulan suci Ramadan. Karena dalam keyakinan muslim Ramadan adalah bulan yang penuh berkah dan berlimpah pahala. Setiap amalan baik yang dikerjakan di bulan puasa akan dibalas ganjaran yang berlipat-lipat daripada di bulan-bulan lainnya (HR. Bukhari dan Muslim). Namun sangat disayangkan jika kesalihan-kesalihan itu hanya berlaku di bulan Ramadan. Lain kata, ibadah puasa dan tetek-bengek amalan ghairu mahdlah yang dilakukan oleh setiap individu berhenti di bulan Ramadan saja, jarang berlanjut di bulan-bulan berikutnya. Pantaslah jika sebagian kalangan menyebut perilaku keagamaan muslim di bulan suci ini dengan "pragmatisme Ramadan". S elain itu ada ironi yang muncul ke ruang sosial muslim, yaitu mereduksi makna kebajikan sosial yang mengatasnamakan Ramadan semata. Misalnya jujur, sabar, berbicara dengan lemah lembut, dermawan, dan sikap-sikap terpuji lainnya. Sering kali kita dengar ucapan paradoksal di bulan puasa, seperti "tidak boleh bohong lho, ini kan puasa". Mencerna kata-kata itu, seolah-olah kejujuran bermakna sebagai kebajikan hanya ketika seseorang melakukan ibadah puasa. Padahal sejatinya kejujuran atau tidak berdusta adalah kebajikan fitrah yang ada dalam diri manusia dan wajib dilakukan setiap saat. Puasa Transformatif Selayaknya, puasa dijadikan momentum perubahan spiritual dan mental seorang muslim yang menjalaninya. Bukan sekedar ritual tahunan yang setelah itu tidak membekaskan apa-apa. Sekalipun ada yang menjadikan puasa sebagai titik tolak reformasi jiwa dan penyadaran diri, itupun masih berkutat pada dimensi vertikal atau teosentris, yakni hubungan manusia dengan Tuhan. Pandangan ini lahir atas dasar persepsi muslim yang menyandarkan puasa sebagai ibadah mahdhah yang harus dilaksanakan sebagai kewajiban murni. Padahal, puasa mencakup dimensi horizontal atau antroposentris yang mengacu pada hubungan sesama manusia. Jika keduanya dapat ditunaikan, maka muslim sudah menggapai kesalehan otentik. Mohammad Arkoun menilai bahwa keberagamaan muslim selama ini berkecenderungan pada nalar teologis. Dalam Al-Fikrul Islamy: Naqd wa Ijtihad, Arkoun memberikan ciri masih kuatnya nalar teologis, yaitu pemusatan segala aktivitas dan persoalan peribadatan pada Tuhan, tanpa menghiraukan harkat dan martabat manusia dan problem kemanusiaan. Demikian juga, takwa cenderung dimaknai ke dalam perspektif vertikal dan mengaburkan bobot esoterik-horizontal. Sebenarnya takwa menyangkut dua aspek, yaitu kesalehan individual (hubungan dengan Tuhan) kesalehan sosial (sesama manusia dan alam). Untuk menuju puasa transformatif, yakni puasa yang dapat memberikan manfaat kepada orang lain maka dimensi sosial puasa harus ditonjolkan. Bahwasanya melalui puasa seseorang dilatih untuk berempati kapada orang-orang miskin dan lemah. Empati akan membentuk solidaritas dan kesetiakawanan sosial, dimana muslim yang mampu (kuat) akan berusaha mencari jalan keluar bagi penderitaan sesamanya. Secara filosofis puasa mengajarkan prinsip keselarasan dan kesimbangan. Dalam tradisi kejawen, puasa dinisbah dengan kata "ngepas roso" yang berarti tindakan proporsional atau sesuai kapasitas. Ngepas roso inilah yang merupakan fondasi konsep keseimbangan hidup, tidak lebih dan tidak kurang. Penulis adalah anggota staf di Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LeKAS) Semarang