Dimuat pada Harian Batak
Pos, 30 Maret 2009

 

Menjual Diri, Bukan Janji 

Oleh Victor Silaen 

 

     Pemilu Legislatif 9 April 2009 sudah di ambang
pintu. Boleh jadi masih banyak di antara kita yang masih bertanya-tanya seperti
ini: “Apa sih gunanya ikut pemilu?
Lagi pula saya tidak kenal seorang pun di antara para caleg (calon anggota
legislatif) yang sudah memenuhi jalan-jalan dengan alat-alat kampanyenya itu,
jadi bagaimana saya mau memilih mereka?”

 

     Baiklah kita bahas kedua pertanyaan itu
satu persatu. Pertama, pemilu adalah
sarana untuk perubahan di masa depan. Jadi, tujuannya adalah perubahan. 
Sedangkan
pemilu adalah alat yang harus kita gunakan. Untuk itulah kita sepatutnya
berpartisipasi, jika kita merasa terpanggil untuk ikut menjadi penentu masa 
depan
Indonesia -- bukan sekadar penonton. Tapi nanti, bagaimana jika orang-orang
yang kita pilih nanti untuk menjadi pejabat-pejabat publik itu sama saja dengan
yang sudah-sudah (korup, lupa diri, dan yang sejenisnya)? Tidak, tak mungkin
sama. Pasti ada bedanya. Bukankah sudah terbukti bahwa era sekarang jauh
berbeda dengan era Soeharto? 

 

    Jadi, janganlah
menggeneralisir. Memang, sangat mungkin para wakil rakyat yang terpilih nanti
juga banyak yang tidak berkualitas. Benar, tak ada jaminan bahwa orang-orang
yang kita pilih nanti betul-betul sesuai harapan. Tapi paling tidak, kita masih
punya harapan, sehingga karena itulah kita harus memilih orang-orang yang
setidaknya sudah kita ketahui rekam-jejaknya.  


 

     Noam Chomsky, seorang ilmuwan
politik asal Amerika Serikat (AS), pernah berkata begini: “Jika Anda berlaku
seolah-olah tak ada peluang bagi perubahan, maka sebetulnya Anda sedang
menjamin bahwa memang tak akan ada perubahan.” Ia benar. Kitalah yang harus
memperjuangkan perubahan itu dengan cara terlibat aktif di dalamnya. Berdasarkan
itu sambutlah pemilu sebagai warga negara yang bertanggungjawab, yang ingin
melihat masa depan Indonesia lebih baik. Karena itu pula, selepas pemilu nanti,
pantaulah terus orang-orang yang telah kita pilih, agar mereka tetap “berada di
jalan yang benar” ketika mereka sudah duduk di jabatan-jabatan publik yang
strategis itu. 



     Kedua,
camkanlah sebuah prinsip penting dalam rangka memasuki hari “H” 9 April. Yakni:
memilihlah secara rasional
dan kalkulatif. Itulah pemilih yang cerdas, yang tidak asal pilih. Dasar 
berpikirnya
begini: jika ia memilih seorang caleg, maka si caleg itu nantinya harus dapat
menghasilkan hal-hal yang positif bagi kemaslahatan hidup rakyat. Untuk itulah
ia melakukan seleksi ketat terhadap caleg-caleg yang akan dipilihnya. Ia
mengumpulkan data dan profil para caleg itu selengkap mungkin, lalu 
mendiskusikannya
dengan orang-orang lain yang berkompeten.

 

     Kebalikan dari itu adalah pemilih tak
cerdas. Ia berpikir bahwa memilih itu relatif murah harganya. Hanya perlu
meluangkan waktu sebentar saja untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS),
lalu contreng sana contreng sini, selesailah sudah. Bahwa para caleg yang
dipilih itu kurang berintegritas dan berkualitas, peduli apa. “Toh, saya punya
kehidupan sendiri yang tidak akan terpengaruh oleh keberadaan mereka di lembaga
legislatif nanti,” mungkin begitu cara berpikir mereka. “Toh, saya tidak rugi.”
Begitulah pertimbangannya. Betul-betul tidak kalkulatif.

 

     Inilah yang perlu dikritisi. Kita harus
memahami bahwa pemilu adalah bagian dari proses politik yang harus
diselenggarakan secara periodik oleh negara republik dan demokratis seperti
Indonesia. Melalui pemilulah kita selaku rakyat menempatkan sejumlah orang di
lembaga legislatif untuk mewakili kita dalam rangka pembuatan kebijakan publik,
perumusan anggaran negara untuk melaksanakan program-program pembangunannya,
dan untuk mengawasi kinerja pemerintah. Jadi jelaslah, hampir semua urusan
kehidupan kita sehari-hari diatur oleh kebijakan mereka. Makin besar atau makin
kecilnya anggaran pemerintah untuk mengelola lingkungan hidup, 
kesehatan-sanitasi,
pendidikan, transportasi, dan lain sebagainya, semuanya juga tergantung pada
mereka.   

 

     Jadi jelaslah, keberadaan para wakil
rakyat itu sangat penting artinya bagi kita. Jika kebanyakan wakil rakyat itu
adalah orang-orang yang tidak bermutu, maka makin tidak bermutu pulalah
kehidupan kita kelak. Begitu pula sebaliknya. Karena itu berharaplah agar
setidaknya 90% wakil rakyat yang terpilih untuk periode 2009-2014 nanti adalah
orang-orang yang berkualitas dan berintegritas. Itu berarti, selain memiliki
wawasan dan intelektualitas yang memadai, mereka juga berkarakter ”pas” sebagai
pemimpin, yakni yang berani bersuara lantang demi kebenaran dan siap menghadapi
pelbagai risikonya. 

 

     Jika harapan itu
tercapai, niscaya Indonesia yang adil dan sejahtera dapat diwujudkan dalam 
waktu yang tak terlalu lama lagi.
Sebaliknya, jika mereka yang akan duduk di lembaga legislatif itu adalah
orang-orang yang umumnya kurang berkualitas dan kurang berintegritas, niscaya 
Indonesia
tetap begini-begini saja atau malah terpuruk. 

 

     Untuk itu kita harus tahu bahwa yang akan kita pilih pada
9 April 2009 adalah: 1) calon anggota DPR (mewakili rakyat dari partai politik
di aras nasional); 2) calon anggota DPRD (mewakili rakyat dari partai politik
di aras provinsi di mana kita berdomisili); 3) calon anggota DPD (menjadi
utusan daerah tanpa partai politik dari provinsi di mana kita berdomisili).
Jika kita berdomisili di daerah kabupaten atau kotamadya, maka pilihan itu
bertambah satu lagi: 4) calon anggota DPRD Tingkat II (dengan sendirinya DPRD
di nomor 2 menjadi DPRD Tingkat I). 

 

     Setelah semua anggota DPR/DPRD/DPD hasil pemilu
itu diumumkan, barulah kita akan masuk pada Pemilu untuk Presiden dan Wakil
Presiden tanggal 7 Juli nanti. Prinsipnya sama: memilihlah secara cerdas. Ingat,
masa depan Indonesia selama lima tahun ke depan akan ditentukan oleh presiden,
wakil presiden, dan wakil rakyat yang kita pilih itu. Sebab, merekalah yang
akan mengelola modalitas besar yang kita miliki, yang setidaknya dapat dibagi 
empat:
1) modal intelektual; 2) modal sosial; 3) modal struktural; 4) modal material. 
Mengacu
pada ahli politik pertahanan asal AS, Hans Morgenthau (1947), Indonesia dengan
modalitasnya itu sebenarnya mampu menjadi pemimpin dunia. Hanya saja soalnya,
siapa yang mengelola dan bagaimana cara mengelola modalitas tersebut. 

 

     Kembali
pada caleg-caleg yang akan kita pilih pada 9 April nanti, ingatlah juga agar 
jangan
kita memilih mereka karena “janji-janji manis” yang ditawarkan – entah itu
diberi nama visi-misi atau program kerja. Sebaliknya, pilihlah mereka yang
berani menjual dirinya sendiri. Apa maksudnya? Di lembaga-lembaga negara nanti,
wakil rakyat yang sejati adalah mereka yang siap bertarung secara argumentatif
demi memenangkan kebijakan-keputusan yang terbaik bagi rakyat. Itu berarti,
bukan saja mereka harus berani bersuara lantang, tetapi juga siap menghadapi
risiko yang mungkin dihadapi. Pendeknya, mereka adalah orang-orang yang rela
mengorbankan dirinya demi rakyat. 

 

    Inilah yang harus menjadi perhatian kita bersama. Jadi, jangan lepas
tangan. Jangan hanya asyik pikirkan diri sendiri. Pikirkanlah ini dengan
kritis: bahwa kalaupun kita tidak memilih (menjadi golput), toh akan ada
orang-orang yang terpilih dan niscaya menjadi pemimpin kita juga. ”Biarlah, toh
mereka bukan pemimpin saya, kan saya tidak memilih mereka?” Mungkin ada yang
berpikir begitu. Pahamilah baik-baik, suka atau tidak suka, para caleg yang
terpilih nanti akan menjadi pemimpin kita. Merekalah yang akan terlibat di
parlemen nanti dalam rangka membuat kebijakan-kebijakan publik, menetapkan
anggaran untuk program pembangunan ini dan itu, mengawasi pemerintah dalam
kerja-kerjanya sehari-hari, dan lain sebagainya. 

 

    Jadi, jauh lebih
baik jika kita memilih daripada tidak. Namun, sekali lagi ingat, memilihlah
secara cerdas. Jangan memilih caleg karena uang atau sembako yang mereka
bagikan, tetapi pilihlah karena kita tahu mereka berkualitas, berintegritas,
dan berkarakter ”pas” sebagai pemimpin.

 

* Doktor Ilmu Politik UI, pengamat sospol
(www.victorsilaen.com). 

 




      

Kirim email ke