Nasib Getir Burung Kelana
Sutan Sjahrir adalah nama yang dicuplik ibunya dari kegemerlapan kisah Seribu 
Satu Malam di Istana Baghdat. Tapi kehidupan Sjahrir justru getir dan kelam, 
sejelaga belanga.
Dialah orang yang paling jenius dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Hanya 
bermain di belakang gemebyar Soekarno dan memimpin pergerakan di Bandung, 
Amsterdam, dan Leiden, jiwanya menjadi matang. Dialah pengelana yang hidup 
untuk kampung halaman: pribadinya matang dalam tempaan cita-cita kemerdekaan.
Menghabiskan delapan tahun dalam penjara kolonial dan pembuangan, tiga kali 
menjadi Perdana Menteri di rezim Soekarno, tapi saat mati, Sjahrir justru 
berstatus tahanan politik, dari sebuah bangsa yang dengan darah dan airmata ia 
perjuangkan kemerdekaannya.
Dialah Don Quixote, sekaligus Kafka.
Sendiri, pedih, getir.
Tapi amat mencintai sesama atas nama kemanusiaan.
Tak heran, pada hari penguburannya, 18 April 1966, jasadnya yang baru datang 
dari Zurich, disambut 250 ribu massa, yang mengelu-elukannya dalam tangis, 
mengantar bunga dukacita ke Kalibata. Helikopter berputar, meraung, menabur 
wewangian kembang, tembakan salvo pun menggelegar, mengiringi jasad ringkih, 
pucat, tapi tersenyum, turun ke liang lahat.
Pemerintah menginstruksikan mengibarkan bendera setengah tiang tiga hari; tanda 
duka, dan jasad yang kering itu pun dibaptis sebagai pahlawan nasional.
Tapi apakah arti upacara itu?
Adakah kemeriahan penghormatan dan anugerah itu dapat mengobati luka Sjahrir, 
yang lebih membutuhkannya di hari-hari panjang yang dingin, pengap, meringkuk 
sakit, sendiri, sepi, di sebuah penjara, di Jakarta.
Hidup Sjahrir mungkin sebuah biografi yang tak indah. Tapi, siapa yang bisa 
melepaskan namanya dari triumvirat Bung, pendiri negara ini? Dalam tahap ini, 
jelas, Sjahrir berarti, sangat berarti.
Dia berjuang untuk memerdekakan negeri ini dengan konsep yang ganjil tentang 
nasionalisme. Nasionalisme bagi si Bung berdarah Minang ini bukanlah dewa. 
"Nasionalisme hanya kendaraan yang kita pakai saat ini untuk memerdekakan 
diri," ucapnya.

 
"Sjahrir adalah burung kelana yang mendahului terbang melampaui batas-batas 
nasionalisme. Dia salah seorang tokoh terbesar dalam kebangkitan Asia," puji 
Indonesianis, Herbert Feith.
"Perjalanan hidup Sjahrir," tulis Rudolf Mrazeck dalam Sjahrir: Politik dan 
Pengasingan di Indonesia, adalah gerak universalisme dari satu tradisi sempit. 
Dia tak pernah membawa bau tradisional, primordial, atau parokial. Ia secara 
jujur mengaku, tak punya hubungan batin dengan dunia Minang."
Dalam posisi itu, Sjahrir amat berbeda dari Soekarno, Hatta, bahkan Tan Malaka. 
Sjahrir adalah anak panah, melesat dari busurnya, tak pernah kembali.
Intelektual Marxis Sejati
Seperti pemimpin pergerakan lainnya, Sjahrir adalah buah dari politik etis van 
Deventer. Ia lahir di Padangpanjang, Sumatra Barat, 5 Maret 1909, dan dewasa di 
Medan. Di kota itulah jiwa muda Sjahrair sudah kenyang melihat penderitaan 
kaoem koeli, bukti eksploitasi kolonialisme.
Dia mengenyam sekolah dasar (ELS) dan sekolah menengah (MULO) terbaik di Medan, 
dan membetahkannya bergaul dengan pustaka dunia, karya-karya Karl May, Don 
Quixote, dan ratusan novel-novel Belanda. Malamnya dia ngamen di Hotel de Boer, 
hotel khusus untuk kulit putih, kecuali musisi dan pelayan.
1926, ia selesai dari MULO, masuk sekolah lanjutan atas (AMS) di Bandung, 
sekolah termahal di Hindia Belanda saat itu.
Di sekolah itu, dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia 
(Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor. Hasil mentas itu 
dia gunakan untuk membiayai sekolah yang ia dirikan, Tjahja Volkuniversiteit, 
Cahaya Universitas Rakyat.
Sebelum Soekarno membentuk Perserikatan Nasional Indonesia, 4 Juli 1927, 
Sjahrir telah membentuk Jong Indonesie, yang kelak menjadi Pemoeda Indonesia. 
Ini oerganisasi baru yang jauh dari warna kesukuan, dan ia menjadi pemimpin 
redaksi organisasi itu.
Kuliah hukum di Universitas Amsterdam, Sjahrir berkenalan dengan Salomon Tas, 
ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan istrinya Maria Duchateau, yang kelak 
dinikahi Sjahrir, meski sebentar.

 
Dari mereka Sjahrir mengenal Marxisme, dan melalui Hatta, dia masuk Perhimpunan 
Indonesia. Bersama Hatta, keduanya rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah 
milik Pendidikan Nasional Indonesia, dan memisikan pendidikan rakyat harus 
menjadi tugas utama pemimpin politik. 
"Pertama-tama, marilah kita mendidik, yaitu memetakan jalan menuju 
kemerdekaan," katanya.
Tulisan-tulisan Sjahrir berikutnya, terutama dalam manifestonya, Perjuangan 
Kita, membuatnya tampak berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno 
amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Sjahrir justru menulis, "Tiap 
persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. 
Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. 
Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan."
Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas 
solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh terbesar 
kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi massa Soekarno 
yang menurutnya tak membawa kejernihan.
Perjoeangan Kita adalah karya terbesar Sjahrir, kata Salomon Tas, bersama 
surat-surat politiknya semasa pembuangan di Boven Digul dan Bandaneira. 
Manuskrif itu disebut Indonesianis Ben Anderson sebagai, "satu-satunya usaha 
untuk menganalisa secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang 
memengaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi 
gerakan kemerdekaan di masa depan."
Pujian yang tak berlebihan. Karena melalui Partai Sosialis Indonesia yang 
melahirkan Soejatmoko, Sutan Takdir Alisjahbana, jejak-jejak Sjahrir sampai 
kini masih terasa, kuat, masih menggelora.
Dikutip dari blog Aulia A Muhammad
 


http://layar.suaramerdeka.com/index.php?id=350



   Salam
Abdul Rohim
http://groups.google.com/group/peduli-jateng?hl=id


      

Kirim email ke