Paradigma IMF Era G-20


Tahun ini lembaga keuangan internasional (Bank Dunia dan IMF) yang dibentuk 
pada akhir Perang Dunia II di Bretton Woods memasuki usia pensiun 65 tahun.. 
Secara aksidental, dunia dilanda tsunami krismon dari episentrum kekuatan 
ekonomi terbesar dunia, AS.
Ironisnya, AS sangat bergantung pada RRC yang dalam usia 60 tahun menjadi 
kreditor dan bankir terbesar dengan dana yang dipinjamkan dan ditanam di AS 
sudah melewati 1 triliun dollar AS. Sementara bank-bank papan atas Eropa hampir 
semua turut tersedot kubangan KPR suprima AS.
Karena dana Eropa dan selu- ruh dunia terbenam dalam lumpur Wall Street yang 
seolah memiliki impunitas, Presiden Sarkozy memprakarsai peningkatan KTM G-20 
menjadi KTT yang dilangsungkan di Washington, 15-16 November. Presiden Bush 
masih menjadi tuan rumah KTT pertama G-20 yang mewakili 80 persen PDB dunia dan 
dua pertiga penduduk bumi.
KTT Washington sudah mengisyaratkan arus kuat reformasi struktur Bank Dunia/IMF 
serta perlunya menciptakan lembaga pengawas supranasional untuk mencegah 
terulangnya tsunami Wall Street. Reformasi Bank Dunia/IMF merupakan tuntutan 
realitas sejarah yang telah berubah sejak lahirnya kedua lembaga itu. Kekuatan 
ekonomi yang dulu menjadi pemegang saham mayoritas telah susut kekuatannya. 
Sedangkan kekuatan ekonomi baru, seperti BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China) 
belum memperoleh porsi saham yang setara dengan kekuatan riil mereka.
Monster predator
AS mengalami kemerosotan ekonomi karena dua faktor utama. Pertama, beban 
sebagai polisi dunia dan perang teror yang mengakibatkan pengeluaran 
nonproduktif sangat besar. Kedua, sektor produktif manufaktur telah kehilangan 
daya saing secara signifikan. Karena itu, elite sektor finansial Wall Street 
menciptakan produk derivatif yang nilainya 684 triliun dollar AS atau 11 kali 
total PDB dunia yang 60 triliun dollar AS. Industri derivatif itu bertiwikrama 
menjadi monster predator yang menelan sektor keuangan dan perbankan 
konvensional dengan aset bermasalah dan beracun. Monster inilah yang ingin 
dijinakkan oleh elite global G-20.

 
Uni Eropa tidak ingin dipaksa terus mengeluarkan stimulus tanpa pemulihan 
kepercayaan kepada perbankan global karena itu impunitas pelaku monster beracun 
harus segera dituntaskan.
Pada 14 Maret 2009, KTM G-20 London mengeluarkan komunike. Pasal 7-nya 
menyatakan, International Organization of Securities Commission (IOSCO) akan 
ditingkatkan peranannya sebagai badan pengawas supranasional untuk mencegah 
terulangnya krisis. Pasal 8 KTM menyebut, perombakan kuota IMF untuk 
meningkatkan porsi emerging markets harus selesai pada Januari 2011. Sedangkan 
perombakan Bank Dunia harus diselesaikan pada April 2010, termasuk 
demokratisasi pimpinan BD/IMF harus berdasarkan meritokrasi dan bukan lagi 
kuota duopoli AS untuk BD dan Eropa untuk IMF.
Komunike ini akan dikukuhkan dan menjadi substansi KTT G-20 pada 2 April di 
London. Presiden Yudhoyono akan berangkat di tengah kesibukan karena makna 
strategis KTT ini bagi Indonesia. Sayang, karena elite Indonesia sibuk 
berkampanye saling kritik, mungkin kurang menyadari polemik serius antarelite 
puncak G-20. Tanggal 13 Maret, Perdana Menteri Wen Jiabao tanpa basi-basi 
menyatakan khawatir terhadap nasib investasi dan dana RRC yang telanjur ditanam 
di AS. Presiden Obama setelah berdialog dengan Presiden Lula da Silva di Gedung 
Putih dan menelepon Presiden Yudhoyono, 14 Maret langsung menyatakan jaminan 
bahwa investasi siapa pun terjamin di AS sebagai negara yang paling tepercaya 
sistem politiknya.
Tapi, Rusia melontarkan gagasan meninggalkan dollar seba- gai penyangga 
internasional. Suatu usulan yang terus dibolasaljukan oleh Gubernur Bank 
Sentral Tiongkok. Presiden Obama sendiri harus menghadapi front domestik dan 
menjadi kolumnis di 31 koran seluruh dunia untuk menjelaskan posisi AS dalam 
tsunami keuangan global.
Jelas bahwa krismon global ini masih akan berlangsung sepanjang tahun 2009 dan 
pemulihan hanya bisa mulai terasa pertengahan 2010. Tampaknya KTT G-20 masih 
diwarnai dikotomi sikap AS yang mau stimulans seluruh dunia sebagai prasyarat 
pemulihan ekonomi, sedang kubu Eropa, BRIC, dan emerging markets ingin 
pemulihan kepercayaan dengan merombak otorita moneter supranasional baru 
sehingga kredibilitas pulih dan pasar menjadi normal kembali. Penggelontoran 
stimulus dalam kondisi lenyapnya kredibilitas tak akan menjamin suksesnya 
stimulus.

 
BRIC telah mengeluarkan pernyataan sendiri di samping komunike resmi KTM 
London. Indonesia tak ikut dalam ”statement BRIC” barangkali karena posisi SBY 
sebagai incumbent harus berhati-hati dalam mengambil sikap. Padahal, Indonesia 
memerlukan kecanggihan diplomasi komprehensif yang tidak terlalu teknokratis, 
tetapi merupakan sinergi tindak strategis.
Bukan cuma figuran
Diplomasi kemitraan komprehensif yang dikumandangkan Obama dan Hillary rupanya 
tidak cukup canggih direspons oleh elite Indonesia. Penyebabnya: mentalitas 
oposisi sektarian partisan yang bisa menyulitkan incumbent dalam mengambil 
putusan. Akibatnya, Indonesia amat canggung dalam melakukan manuver. Mikhail 
Gorbachev, misalnya, berkeliling AS dengan mendukung Medvedev dan Putin yang 
akan mengurangi peranan dollar dalam arsitektur keuangan pascaperombakan IMF.
Inti masalah yang harus disosialisasikan ialah bahwa kehadiran kita di KTT G-20 
bukan untuk sekadar mengulangi minta dana dari IMF walau itu merupakan hak kita 
dan IMF sendiri juga sudah bertobat dan mengakui kesalahan ”malapraktik” dalam 
terapi dan resep krismon 1998. Paradigma era G-20, Indonesia sebagai anggota 
G-20 justru ikut merombak dan menentukan pola operasi IMF.
Meminjam kembali dari IMF bukan hanya suatu kebodohan mengulangi masa lalu, 
sebab hanya akan membebani kita dengan suku bunga termahal untuk obligasi 5-10 
tahun. Sementara RRC malah menerima bunga 3,25 persen untuk obligasi AS jangka 
30 tahun. 

Indonesia perlu bermanuver untuk memperoleh dana dari IMF yang lebih murah. 
Kalau RI membayar dua kali lebih mahal dibandingkan AS, akan lebih murah 
menerima dana dari RRC.
Ini memerlukan pendekatan geopolitik komprehensif dan bukan sekadar teknokratis 
belaka. Juga memerlukan kesadaran elite akan paradigma baru arsitektur keuangan 
global di mana kita ikut berperan proaktif dan bukan sekadar sebagai figuran 
atau obyek pasif.
Christianto Wibisono Analis Ekonomi Politik Internasional
 
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/30/04203615/paradigma.imf.era.g-20


 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
http://groups.google.com/group/suara-indonesia?hl=id
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke