Pembusukan Otonomi Daerah 


Oleh Achmad Maulani

SKANDAL korupsi terus saja dipertontonkan dengan telanjang di depan mata baik 
oleh wakil rakyat di tingkat pusat maupun daerah. Korupsi di negeri ini 
benar-benar telah menjadi penyakit kronis dan akut. Setiap hari kita disodori 
berita tentang banyak kasus korupsi atas anggaran negara di pusat maupun 
daerah. Gerakan antikorupsi yang baru saja dideklarasikan oleh partai-partai 
politik seakan hanya lipstik belaka.

Yang lebih ironis, kasus korupsi atas anggaran negara ternyata tidak hanya 
terjadi dipusat, tetapi terjadi hampir merata di beberapa daerah. Pertanyaan 
gugatan yang layak kita ajukan: dengan deretan kasus korupsi di beberapa 
daerah, tidakkah betul tesis yang mengatakan pada era otonomi daerah locus 
korupsi ternyata tidak hanya terjadi di pusat tetapi juga menjalar ke daerah?

Kemarakan kasus-kasus korupsi yang melibatkan keuangan daerah, terutama 
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) jelas sangat ironis di tengah 
impitan hidup masyarakat, kemiskinan, serta angka penanggguran yang telah 
sampai di titik yang mengkhawatirkan. Kasus-kasus korupsi tersebut juga menjadi 
bukti telah terjadi pembajakan makna desentralisasi sekaligus potret akan 
kedefisitan pelaksanaan otonomi daerah yang dengan susah payah mulai dibangun.

Kita mafhum desentralisasi politik yang saat ini tengah berjalan memang telah 
membalik arah seluruh logika kekuasaan secara sangat cepat dan mengurangi 
kekuasaan pusat secara amat signifikan. Konsekuensi dari kondisi tersebut, 
lahirlah kompleksitas persolaan yang luar biasa dalam spketrum otonomi daerah. 
Sebagian adalah persoalan-persoalan lama yang belum tuntas. Sebagian merupakan 
persoalan baru.

Salah satu persoalan baru yang muncul terkait hubungan keuangan pusat dan 
daerah. Di sinilah letak persoalannya. Di tingkatan daerah, masih terdapat 
persoalan akuntabilitas dan responsibilitas pengelolaan keuangan serta belum 
terbentuk sistem yang sempurna untuk memastikan setiap sen uang rakyat dikelola 
secara betanggung jawab oleh pemerintah daerah.

Dalam beberapa kasus korupsi di beberapa daerah yang banyak menyeret elite 
pemerintah, baik kalangan anggota dewan maupun birokrat, porsi terbesar 
penyelewengan selalu saja terjadi pada pos APBD. Pertanyaannya: mengapa lubang 
hitam korupsi sering terjadi di wilayah ini?

Pemain Utama
Ada beberapa hal yang cukup bisa menjelaskan fenomena ini. Pertama, 
pemberlakuan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah telah menempatkan 
badan legistaif daerah menjadi pemain utama dalam melahirkan beberapa kebijakan 
daerah. Melalui kekuasaan yang secara faktual melampaui eksekutif itulah, ia 
menjadi penentu wajah kebijakan.

Begitu besar kekuasaan yang dimiliki oleh DPRD berkecenderungan melahirkan 
penyimpangan kekuasaan. Penyimpangan biasanya terjadi di seputar persoalan 
APBD. Entah itu yang berkenaan dengan tarik ulur lolos tidaknya APDB yang 
diajukan eksekutif, pos-pos anggaran dalam APBD untuk kalangan DPRD sendiri, 
ataupun soal berbagai proyek yang dibiayai APBD.
Kedua, kecenderungan penyimpangan kekuasaan tersebut semakin diperparah dengan 
tidak adanya pengawasan atas lembaga ini. Dengan demikian maka praktis DPRD 
menjadi lembaga pengawas yang bebas kontrol.
Ketiga, berkaitan dengan penataan politik lokal. Otonomi daerah pada dasarnya 
hadir untuk menjadi ruang atau gelanggang baru bagi dinamika politik lokal. 
Gelanggang baru ini jelas membutuhkan aktor baru agar dapat berfungsi maksimal. 
Tapi problemnya, regulasi politik di Indonesia belum mampu menciptakan 
mekanisme perekruta politik yang mampu melahirkan aktor yang memiliki kemampuan 
memadai untuk mengelola kekuasaan secara baik dan bertanggung jawab.

Tanpa komitmen kuat untuk membabat habis perilaku korupsi, dikhawatirkan 
otonomi hanya akan mengalami defisit dan pembusukan. Dan pada titik itulah 
pembajakan demokrasi sedang terjadi.

Beberapa fenomena di atas jelas tidak bisa dianggap sebagai alasan untuk 
membenarkan apalagi memaafkan perilaku korupsi baik yang dilakukan kalangan 
dewan maupun para birokrasi pemerintahan. Hal tersebut tak urung justru telah 
mencoreng wajah desentralisasi dan pembusukan atas jalannya otonomi daerah. 

Karena itu, meminjam argumentasi yang dikatakan Diamond (1999), yang sangat 
mendesak serta diperlukan saat ini adalah diterapkannya nilai-nilai 
keterampilan berdemokrasi dalam mengelola anggaran negara. Salah satunya adalah 
dengan meningkatkan akuntabilitas dan pertanggungjawaban publik dalam 
penyelenggaraan negara, serta mendorong pewujudan cheks and balance dalam 
kekuasaan. 

Pembenahan
Potret kemarakan korupsi pada era otonomi daerah ini juga menunjukkan telah 
terjadi problem dalam pembenahan aparatur birokrasi. Beberapa kebijakan yang 
telah lahir, seperti Tap MPR RI XI/MPR/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang 
Bersih dan Bebas dari Korupsi; UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 
Korupsi; UU 32/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 
ternyata tidak cukup mempan dan ampuh untuk membendung kasus-kasus korupsi yang 
kian marak justru setelah otonomi diberlakukan.  Berkaca dari itu semua maka 
sudah saatnya lembaga-lembaga negara di daerah (local-state auxiliary agencies) 
harus benar-benar menjadi lembaga kontrol yang efektif. Begitupun masyarakat 
juga harus menjadi pengendali atas perilaku anggota dewan yang dapat mengancam 
dan menggerus hak-hak masyarakat. 

Seperti pernah ditulis Marion (2000) otoritas yang begitu besar yang dimiliki 
anggota dewan sebagai penentu kebijakan harus terus dikontrol dan dipastikan ia 
dijalankan untuk fungsi keterwakilan, bukan untuk kepentingan para anggota. Itu 
artinya proses-proses politik yang hanya terlokalisasi pada sekelompok kecil 
elit saja harus mulai dikikis karena sangat rentan dengan peyimpangan. Tanpa 
mekanisme kontrol yang memadai, otonomi daerah dikhawatirkan hanya akan menjadi 
ruang bagi petualang-petualang politik lokal untuk mengail keuntungan besar di 
tengah himpitan masyarakat menghadapi berbagai persoalan hidup yang kian 
mencekik. 

Beragam kasus koruspi di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan baik oleh 
kalangan dewan, pusat dan daerah, maupun pejabat pemerintah kiranya cukup 
menjadi bukti terjadinya pembajakan makna otonomi daerah. Tanpa komitmen kuat 
untuk membabat habis perilaku korupsi, dikhawatirkan otonomi hanya akan 
mengalami defisit dan pembusukan. Dan pada titik itulah pembajakan demokrasi 
sedang terjadi. (35)  

–– Achmad Maulani, peneliti Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada 
Yogyakarta 
 
http://suaramerdeka.com/


 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
http://groups.google.com/group/suara-indonesia?hl=id
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke