http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008110601293819

      Kamis, 6 November 2008
     
     
Peran Politik Caleg Perempuan 

      Toeti Adhitama

      Anggota Dewan Redaksi Media Group


      Mengapa perempuan menjadi warga dunia kelas dua. Wallahualam. Yang kita 
tahu, masa depan kita bergantung pada pendidikan.

      Pendidikan awal yang diterima anak bersifat lembut, akrab, dan manusiawi. 
Untuk tugas pendidikan awal itulah perempuan lebih berbakat karena kelembutan 
dan kepekaannya serta kesediaannya berkorban karena kasih sayangnya. Inilah 
yang membuat perempuan memberikan asih-asah-asuh sesuai dengan kebutuhan anak. 
Dalam proses ini, pribadi anak berkembang.

      Dari perspektif lain, bagaimana perempuan bisa menjalankan tugas keibuan 
tanpa mengabaikan bakat-bakatnya yang lain? Idealnya, masyarakat membangun 
sistem yang tidak diskriminatif. Tidak ada sikap membeda-bedakan gender karena 
ada asas kebebasan mengembangkan potensi masing-masing. Lacurnya, hal ini 
sering tidak diperhatikan, baik oleh perempuan sendiri maupun, dan terutama 
oleh laki-laki. Akibatnya, masyarakat terbentuk seperti adanya sekarang.

      Domestikasi perempuan dianggap wajar. Begitu pula dominasi laki-laki 
dalam kehidupan, khususnya di bidang politik. Pada gilirannya perempuan menjadi 
ketinggalan karena ragu-ragu terjun ke masyarakat.

      Caleg Pengisi Kuota

      Tentu itu tadi cerita lama. Namun, faktanya memang baru abad lalu hak 
sama untuk perempuan berangsur-angsur dilembagakan di banyak negara. Ini 
meliputi hak untuk memilih, yang perjuangannya memakan sekitar satu abad. Juga 
hak ikut dalam kegiatan politik dan hak mendapatkan pendidikan yang sama. Di 
Indonesia pun kurang lebih sama.

      Namun, sampai sekarang, jika dibanding dengan negara-negara maju, 
pendidikan perempuan Indonesia masih jauh ketinggalan. Maka ketika ada 
ketentuan partai-partai politik harus mengajukan caleg perempuan 30%, relatif 
partai-partai menghadapi kesulitan. Lagi pula tidak semua perempuan terdidik 
tertarik pada kegiatan politik. Mereka memilih karier di luar bidang politik 
yang mungkin mereka anggap lebih bermanfaat untuk pengembangan diri dan 
keluarga.

      Banyak partai terpaksa "mencomot" caleg perempuan untuk persyaratan 30%. 
Tidak terlalu dimasalahkan, apakah perempuan itu memenuhi kriteria menjadi MP 
(member of parliament). Mungkin karena pertimbangan tidak semua akan terpilih. 
Lagi pula yang menentukan terpilih tidaknya adalah suara terbanyak. 
Mekanismenya belum jelas.

      Tidak berlebihan kalau dikatakan, pada waktu ini ada asumsi caleg 
perempuan hanya dipakai sebagai pelengkap persyaratan kuota. Namun, sistem 
kuota ini toh sudah kemajuan besar mengingat sejak kita berparlemen, 
keterwakilan perempuan dalam lembaga-lembaga politik formal sangat minim, 
termasuk di legislatifnya. Antara lain ini karena sikap elite-elite partai yang 
dianggap diskriminatif terhadap perempuan.

      Jumlah keterwakilan perempuan di DPR pada awalnya (1950--1955) hanya 9 
orang, 3,8% dari jumlah 236 anggota. Pada waktu ini (2004--2009) sebesar 63 
orang, 11,45% dari 545 anggota. Naik menjadi 3 kali dalam kurun waktu sekitar 
60 tahun. Persentasenya sama dengan rata-rata jumlah anggota legislatif 
perempuan di seluruh dunia. Di DPRD I dan II, persentasenya jauh lebih rendah.

      Bukan Pelengkap 

      Khusus untuk caleg perempuan, mereka layak mendapat perhatian khusus agar 
seandainya terpilih bukan hanya menjadi pelengkap di parlemen, melainkan 
benar-benar mampu mengutarakan pandangan-pandangan yang bermanfaat bagi rakyat. 
Seperti keadaannya sekarang, mereka nantinya mungkin sulit ikut mengambil 
keputusan bersama karena minimnya bekal/pengalaman yang mereka miliki, 
khususnya bagi yang baru-baru.

      Pemilihan perempuan dalam komisi-komisi DPR umumnya juga ditentukan 
pimpinan fraksi, kecuali kalau para anggota perempuan itu merasa mampu membuat 
pilihan lain. Esensi fungsi lembaga legislatif adalah menjadi perantara antara 
rakyat dan negara. Bagaimana bisa efektif menjalankan fungsi tersebut kalau 
mereka tidak banyak menguasai masalahnya. Maka inisiatif pendidikan politik 
rasanya harus datang dari para caleg sendiri. Lebih-lebih selama menjadi 
konstituen, kita semua sangat kurang mendapat pendidikan politik dari 
partai-partai politik. Pembangunan jaringan konsultasi antaranggota perempuan 
partai-partai politik maupun antarperempuan anggota parlemen pastilah sangat 
bermanfaat untuk kemajuan mereka.

      Kalau setiap partai memastikan akan menyerahkan perempuan sebanyak 30% 
jumlah wakilnya untuk DPR, kita termasuk salah satu negara termaju di dunia 
dalam soal keterwakilan perempuan di parlemen; kira-kira sejajar dengan 
keterwakilan di negara-negara Skandinavia dan beberapa negara lain seperti 
Belanda, Jerman, Selandia Baru, dan Afrika Selatan. Jumlah keterwakilan 
perempuan di parlemen mereka mencapai 30% sampai 40% lebih. Kecenderungannya, 
jumlah perempuan anggota parlemen di seluruh dunia terus meningkat. Sebaliknya 
sejak 1987, jumlahnya di Indonesia terus turun, kecuali untuk periode terakhir 
2004--2009 (11,45%) yang lebih tinggi daripada periode sebelumnya 1999--2004 
(9%).

      Struktur dan fungsi orde politik dalam negara ditentukan partai-partai 
politik dan lembaga-lembaga politik formal. Demikian menurut Society Today 
(1972), buku studi kemasyarakatan dengan Richard L. Roe sebagai penerbit. 
Lembaga-lembaga tersebut, kata buku itu, dapat dianalisis seperti organisasi 
lain. Misalnya proses-proses politik yang mendasar tentang bagaimana 
mendapatkan kekuasaan dan menjalankannya, bagaimana pengambilan keputusannya, 
dan mobilisasi sumber-sumbernya, tidak beda dengan apa yang terjadi dalam rumah 
tangga/keluarga.

      Untuk proses-proses lain bisa dianalisis seperti organisasi formal lain. 
Misalnya bagaimana cara merekrut orang-orangnya untuk peran-peran tertentu, 
termasuk untuk anggota-anggota legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bagaimana 
mereka menjalankan fungsi-fungsi integrasi dengan sistem hukumnya, menjalankan 
kekuasaan dengan kekuatan negara, mediasi untuk mengatasi berbagai konflik 
antarkelompok masyarakat, dan mobilisasi sumber-sumber sosial yang ada.

      Pemerintahan--termasuk legislatifnya--menjadi pusat fokus untuk 
mengarahkan tuntutan-tuntutan rakyat tentang alokasi sumber-sumber sosial dan 
keuntungannya bagi rakyat. Wajarlah bahwa lembaga legislatif, khususnya 
perilaku para anggotanya, laki-laki maupun perempuan, tidak lepas dari sorotan 
tajam masyarakat, seperti yang terjadi akhir-akhir ini.

      Karena fungsi orde politik ditentukan partai-partai politik dan 
lembaga-lembaga politik formal, termasuk legislatif, perlu dijaga agar 
partai-partai politik dan legislatif menangkap aspirasi rakyat. Konsep itulah 
yang melahirkan ketentuan untuk menyertakan minimal 30% kandidat perempuan 
dalam daftar caleg. Ini tindakan afirmatif sebagai hasil evaluasi Center for 
Electoral Reform (Cetro) bekerja sama dengan Kaukus Perempuan Politik Indonesia 
dan Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia, yang dibuat pada 2002.

      Apakah peningkatan peran politik perempuan nantinya mampu menjawab 
tuntutan demokrasi, hasilnya masih harus kita tunggu. Tentunya peran pendidikan 
politik bagi caleg perempuan atau perempuan anggota parlemen menjadi keharusan 
karena pembekalan dan pendidikan politik ikut menentukan
     

<<bening.gif>>

Kirim email ke