Telah dimuat pada Harian Jurnal Nasional, 11 Maret 2009
Perilaku Pemilih, Konsumtif atau Investatif Oleh Victor Silaen Pemilu 9 April 2009 sudah di depan mata. Boleh jadi masih banyak di antara kita yang masih bertanya-tanya seperti ini: “Apa sih gunanya ikut pemilu? Lagi pula saya tidak kenal seorang pun di antara para caleg (calon anggota legislatif) yang sudah memenuhi jalan-jalan dengan alat-alat kampanyenya itu, jadi bagaimana saya mau memilih mereka?” Baiklah kita bahas kedua pertanyaan itu satu persatu. Yang pertama, pemilu adalah sarana untuk perubahan di masa depan. Jadi, tujuannya adalah perubahan. Untuk itu harus ada alatnya, yakni: pemilu. Untuk itulah kita sepatutnya berpartisipasi, kalau kita merasa terpanggil untuk ikut menjadi penentu masa depan Indonesia -- bukan sekadar penonton. Tapi nanti, bagaimana jika orang-orang yang kita pilih nanti untuk menjadi pejabat-pejabat publik itu sama saja dengan yang sudah-sudah (korup, lupa diri, dan yang sejenisnya)? Tidak, tak mungkin sama. Pasti ada bedanya. Bukankah sudah terbukti bahwa era sekarang jauh berbeda dengan era Soeharto? Jadi, janganlah menggeneralisir. Memang, sangat mungkin para wakil rakyat yang terpilih nanti juga banyak yang tidak berkualitas. Benar, tak ada jaminan bahwa orang-orang yang kita pilih nanti betul-betul sesuai harapan. Tapi paling tidak, kita masih punya harapan, sehingga karena itulah kita harus memilih orang-orang yang setidaknya sudah kita ketahui rekam-jejaknya. Ingatlah ucapan bijak Noam Chomsky, seorang ilmuwan politik di Amerika Serikat, berikut ini: “Jika Anda berlaku seolah-olah tak ada peluang bagi perubahan, maka sebetulnya Anda sedang menjamin bahwa memang tak akan ada perubahan.” Jadi, perjuangkanlah perubahan itu dengan cara kita sendiri terlibat aktif di dalamnya. Berdasarkan itu sambutlah pemilu sebagai warga negara yang bertanggungjawab, yang ingin melihat masa depan Indonesia lebih baik. Karena itu pula, selepas pemilu nanti, pantaulah terus orang-orang yang telah kita pilih, agar mereka tetap “berada di jalan yang benar” ketika mereka sudah duduk di jabatan-jabatan publik yang strategis itu. Yang kedua, sebelum tiba hari “H” itu, camkanlah sebuah prinsip penting. Yakni: memilihlah secara bertanggungjawab. Jadi artinya, kita harus memilih secara rasional dan penuh pertimbangan. Itulah pemilih yang kalkulatif, yang membayangkan dirinya sedang berinvestasi (Firmanzah, 2008). Cara berpikirnya begini: jika ia memilih seorang caleg, maka si caleg itu nantinya harus dapat menghasilkan hal-hal yang positif bagi kemaslahatan hidup rakyat. Untuk itulah ia melakukan seleksi ketat terhadap caleg-caleg yang akan dipilihnya. Ia mengumpulkan data dan profil para caleg itu selengkap mungkin, lalu mendiskusikannya dengan orang-orang lain yang berkompeten. Kebalikan dari pemilih investatif itu adalah pemilih konsumtif. Pemilih dalam kategori ini adalah mereka yang berpikir bahwa memilih itu relatif murah harganya. Hanya perlu meluangkan waktu sebentar saja untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), lalu contreng sana contreng sini, selesailah sudah. Bahwa para caleg yang dipilih itu kurang berintegritas dan berkualitas, peduli apa. “Toh, saya punya kehidupan sendiri yang tidak akan terpengaruh oleh keberadaan mereka di lembaga legislatif nanti,” mungkin begitu cara berpikir mereka. “Toh, saya tidak rugi.” Begitulah pertimbangannya. Betul-betul tidak kalkulatif. Inilah yang perlu dikritisi. Kita harus memahami bahwa pemilu adalah bagian dari proses politik yang harus diselenggarakan secara periodik oleh negara republik dan demokratis seperti Indonesia. Melalui pemilulah kita selaku rakyat menempatkan sejumlah orang di lembaga legislatif untuk mewakili kita dalam rangka pembuatan kebijakan publik, perumusan anggaran negara untuk melaksanakan program-program pembangunannya, dan untuk mengawasi kinerja pemerintah. Jadi jelaslah, hampir semua urusan kehidupan kita sehari-hari diatur oleh kebijakan mereka. Makin besar atau makin kecilnya anggaran pemerintah untuk mengelola lingkungan hidup, kesehatan-sanitasi, pendidikan, transportasi, dan lain sebagainya, semuanya juga tergantung pada mereka. Jadi jelaslah, keberadaan para wakil rakyat itu sangat penting artinya bagi kita. Jika kebanyakan wakil rakyat itu adalah orang-orang yang tidak bermutu, maka makin tidak bermutu pulalah kehidupan kita kelak. Begitu pula sebaliknya. Karena itu berharaplah agar setidaknya 90% wakil rakyat yang terpilih untuk periode 2009-2014 nanti adalah orang-orang yang berkualitas dan berintegritas. Itu berarti, selain memiliki wawasan dan intelektualitas yang memadai, mereka juga berkarakter ”pas” sebagai pemimpin, yakni yang berani bersuara lantang demi kebenaran dan siap menghadapi pelbagai risikonya. Jika harapan itu tercapai, niscaya Indonesia yang adil dan sejahtera dapat diwujudkan dalam waktu yang tak terlalu lama lagi. Sebaliknya, jika mereka yang akan duduk di lembaga legislatif itu adalah orang-orang yang umumnya kurang berkualitas dan kurang berintegritas, niscaya Indonesia tetap begini-begini saja atau malah terpuruk. Untuk itu kita harus tahu bahwa yang akan kita pilih pada 9 April 2009 adalah: 1) calon anggota DPR (mewakili rakyat dari partai politik di aras nasional); 2) calon anggota DPRD (mewakili rakyat dari partai politik di aras provinsi di mana kita berdomisili); 3) calon anggota DPD (menjadi utusan daerah tanpa partai politik dari provinsi di mana kita berdomisili). Jika kita berdomisili di daerah kabupaten atau kotamadya, maka pilihan itu bertambah satu lagi: 4) calon anggota DPRD Tingkat II (dengan sendirinya DPRD di nomor 2 menjadi DPRD Tingkat I). Setelah semua anggota DPR/DPRD/DPD hasil pemilu itu diumumkan, barulah kita akan masuk pada Pemilu untuk Presiden dan Wakil Presiden tanggal 8 Juli 2009. Prinsipnya sama: memilihlah secara kalkulatif, jadilah pemilih investatif. Jangan asal contreng, sebaliknya bertanggungjawablah dengan pilihan kita. Ingat, masa depan Indonesia selama lima tahun ke depan akan ditentukan oleh orang-orang yang kita pilih itu. Sekali lagi, jika setidaknya 90% wakil rakyat yang terpilih untuk periode 2009-2014 nanti adalah orang-orang yang berkualitas dan berintegritas, begitupun presiden dan wakil presidennya, niscaya Indonesia sebagai negara dan bangsa yang besar dapat berdiri sejajar di antara pemimpin-pemimpin dunia lainnya. Ini bukan impian kosong. Sebab, Indonesia punya banyak modal, sebagaimana yang dikatakan oleh ahli politik Morgenthau (1947) tentang syarat-syarat menjadi pemimpin dunia. Setidaknya modalitas Indonesia sebagai calon pemimpin dunia itu dapat dibagi empat: 1) modal intelektual; 2) modal sosial; 3) modal struktural; 4) modal material. Yang dimaksud modal intelektual adalah sumber daya manusia. Orang-orang yang cerdas di negeri ini cukup banyak. Tinggal soalnya, mereka diberdayakan semaksimal mungkin atau tidak? Sedangkan modal sosial berkait dengan organisasi sosial seperti jaringan, norma-norma, dan kepercayaan sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerja sama yang saling mendukung di antara sesama warga masyarakat. Di dalamnya juga termasuk nilai-nilai budaya, tradisi-tradisi, etos kerja, dan spiritualitas hidup dalam berbagai aspeknya. Inilah yang masih parah dan mendesak untuk diperbaiki. Jika perlu kita merujuk pada bangsa-bangsa lain sebagai model pembelajaran kita dalam rangka itu. Akan halnya modal struktural adalah sistem-sistem dan lembaga-lembaga, termasuk mekanisme-prosedural yang mengikutinya. Kedua unsur ini sedang direformasi terus-menerus. Kita hanya perlu melanjutkannya berlandaskan rasionalitas dan moralitas. Sedangkan yang terakhir, modal material, berkait dengan sumber daya alam. Indonesia jelas negeri yang kaya. Namun, ketidakseimbangan dalam ketiga modal di ataslah yang membuat Indonesia mengalami krisis pangan, krisis energi, dan pelbagai krisis lainnya sejak sedekade terakhir ini. Padahal, di sisi lain, orang-orang yang kaya di negeri ini juga cukup banyak. Ironis bukan? Inilah yang harus menjadi perhatian kita bersama. * Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol (www.victorsilaen.com).