http://www.suarapembaruan.com/News/2008/10/27/Kesra/kes01.htm

SUARA PEMBARUAN DAILY

Perkuat Komitmen Kebangsaan, Berantas Kemiskinan

[JAKARTA] Komitmen kebangsaan warga negara Indonesia makin lama rendah, dan 
salah satu faktor penyebabnya adalah angka kemiskinan yang makin tinggi, yakni 
masih mencapai 35 juta jiwa, meskipun angka belanja negara naik tiga kali 
lipat. Kondisi ini makin menyulitkan upaya mempertahankan ataupun menumbuhkan 
komitmen kebangsaan terhadap warga negara. 

Hal itu dikemukakan anggota DPR, Sutradara Gintings kepada SP di Jakarta, Senin 
(27/10) berkaitan dengan refleksi 80 Tahun Sumpah Pemuda. Menurutnya, harus ada 
tekad bersama memerangi kemiskinan sebagai upaya mempertahankan rasa 
nasionalisme dan cinta Tanah Air. 

"Kalau rakyat dalam kondisi lapar melihat lingkungan sekitarnya yang kontras, 
yakni sebagian orang justru sangat kaya, akan sulit menanamkan ataupun 
mendoktrin rasa kebangsaan itu. Internalisasi nasionalisme terhadang oleh 
neoliberalisme yang menyebabkan terjadinya proses pemiskinan, dan itulah yang 
harus dicegah," tegas Sutradara. 

Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) 
itu menyebutkan, kalau melihat sejauh mana komitmen kebangsaan itu eksis, harus 
dikaitkan dengan tiga hal. Pertama, yang berkaitan dengan tingkat dan kualitas 
integrasi bangsa, yang dapat diukur dari integrasi vertikal dan integrasi 
horizontal. 

Integrasi vertikal merupakan kesatuan paduan dari negara atau pemerintah dengan 
rakyat pada umumnya. Ukurannya adalah berkaitan dengan kesejahteraan dengan 
pelayanan kepada publik, yakni sejauh mana negara dapat membangun dan mendorong 
kesejahteraan dari masyarakatnya dan seberapa jauh negara dapat menyediakan 
layanan publik yang baik. 

Dalam konteks ini, tingkat dan kualitas integrasi bangsa Indonesia rendah. 
Indikatornya adalah soal kemiskinan yang begitu besar, padahal anggaran atau 
belanja negara meningkat terus. Sekitar 35 juta sama dengan 2005, padahal 
anggaran meningkat tiga kali, demikian pula soal pelayanan publik yang masih 
sangat eksploitatif, karena hampir semuanya diwarnai dengan pungutan, mulai 
jasa peradilan, kesehatan walaupun secara formal disebut gratis. 

Soal integrasi horizontal, yakni antarkomponen masyarakat, juga bisa dilihat 
bagaimana semakin jauhnya jarak yang kaya dengan miskin. Memang pendapatan 
domestik bruto (PDB) naik secara statistik, yang juga memicu income per kapita 
naik, ekspor naik, tetapi jumlah orang miskinnya tidak berkurang, artinya 
kenaikan itu dinikmati sebagian kecil orang, sehingga dapat disimpulkan tingkat 
integrasi antarmasyarakat makin buruk. 

Kedua, komitmen kebangsaan kata Sutradara, juga dapat diukur dari soliditas 
bangsa menghadapi tantangan dari lingkungan strategis. Tantangan pertama adalah 
ekonomi, sekarang dengan adanya arus utama ekonomi yaitu, pemaksaan dari 
ekonomi neoliberal. 


KWI dan PGI 

Hal ketiga adalah mengukur komitmen kebangsaan adalah kapasitas bangsa dalam 
memelihara nilai positif bangsa dan mengubah hal-hal yang tidak relevan lagi. 
Kenyataannya, sejak reformasi 1998, ada kecenderungan untuk mengubah semuanya 
tanpa ada kemampuan mempertahankan nilai-nilai positif, terutama ideologi 
Pancasila dan UUD 1945. 

"Perubahan itu cenderung lebih didorong untuk kepentingan sesaat bukan untuk 
sistem building yang kokoh. Karena itu, kalau mengharapkan komitmen kebangsaan 
tetap kuat, harus ada keberanian dari pemimpin kita yang menegaskan bahwa acuan 
dasar nilai bangsa, yakni Pancasila harus diimplementasikan, bukan hanya 
retorika," tegas Sutradara. 

Sementara itu, pimpinan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan Persekutuan 
Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyatakan, refleksi paling tepat dari 
peringatan Sumpah Pemuda adalah pesan kejujuran dan membangun komitmen seluruh 
bangsa ini untuk tidak lagi mengkhianati semangat keindonesiaan. 

Seluruh komponen bangsa ini perlu kembali mengapresiasikan perjuangan para 
Bapak Bangsa yang rela mengorbankan dirinya tidak melihat suku, agama, ras, dan 
golongan demi sebuah kemerdekaan. 

Demikian rangkuman pendapat Ketua KWI Mgr Situmorang yang juga Uskup Agung 
Padang dan Ketua Umum PGI, Andreas A Yewangoe di Jakarta pekan lalu berkaitan 
dengan 80 Tahun Sumpah Pemuda. keduanya berharap sektarianisme yang tumbuh 
dalam masyarakat dihilangkan. [M-15/E-5] 



--------------------------------------------------------------------------------

Last modified: 26/10/08 

Kirim email ke