Telah dimuat pada Investor Daily, 26-26 Oktober 2008 Pornografi, Demokrasi dan Alinenasi Oleh Victor Silaen Dari Bali, suara keberatan atas RUU Pornografi kembali disampaikan pemerintah dan wakil rakyat di provinsi seribu pura itu. “Kami selaku Gubernur tidak akan mungkin bisa menerapkan kebijakan dengan menegakkan hukum yang ditentang oleh masyarakat. Terlebih lagi RUU Pornografi tidak sejalan dengan agama dan adat Bali yang menghormati kebinekaan,” tegas Gubernur Bali Mangku Pastika di hadapan anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Pornografi DPR yang melakukan sosialisasi di Gedung Wiswa Sabha Gubernur Bali, Senin (13/10) lalu. Pendapat senada disampaikan Ketua Komisi I DPRD Bali Made Arjaya, bahwa sikapnya sama dengan apa yang disampaikan Gubernur bahwa DPRD Bali menolak keras diundangkannya RUU Pornografi. Penolakan tersebut sejalan dengan aspirasi masyarakat. “Kami, bahkan sudah langsung datang ke Jakarta, menyampaikan aspirasi tersebut dan menemui Ketua DPR Agung Laksono,” ujar Arjaya. Ke depan, dapat diduga bahwa aksi-aksi penolakan terhadap RUU Pornografi ini akan kembali marak. Berdasarkan itu dapat dikatakan, sejak 1997 sampai 2008 kita hanya membuang-buang enerji demi merancang sebuah peraturan publik yang mengurusi hal-hal di seputar gejala lahiriah yang baik dan yang buruk atau yang patut dan yang tak patut, yang hasilnya nyaris sia-sia. Sebab, alih-alih kesepakatan tercapai, yang terjadi justru saling cekcok yang tak berkesudahan. Padahal, andai saja sejak semula kita mau berpikir kritis bahwa yang baik (tidak porno) dan buruk (porno) itu sendiri relatif adanya (tergantung relasinya dengan banyak faktor), sangat mungkin upaya membuat rancangan peraturan publik di seputar moralitas itu sedari awal pula tertolak. Kini, setelah beberapa provinsi dan banyak komponen bangsa menolaknya, termasuk lembaga quasi-negara seperti Komnas HAM dan Komnas Perempuan, termasuk juga Permaisuri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Hemas, haruskah kita memaksakan pemahaman bahwa apa yang disebut hasrat seksual itu mudah dibuktikan dan mudah pula diukur? Atas dasar apakah para wakil rakyat itu akan menjadikan draf peraturan publik yang masih sarat perdebatan itu sah? Persetujuan mayoritas? Demokratiskah itu? Lalu, apa jadinya jika setelah disahkan bukan hanya penolakan yang muncul, tetapi juga reaksi-reaksi yang mengancam integrasi kita? Itulah alienasi, yang pada hakikatnya justru paradoks dengan demokrasi itu sendiri. Memang, demokrasi di ranah pembuatan keputusan kerap dilegitimasi dengan suara terbanyak. Itulah mekanisme baku yang berlaku sejak dulu. Tapi, bagaimana dengan minoritas, pihak yang kalah itu? Terimalah secara legowo, karena pihak yang lebih banyak jumlah anggotanya biasanya benar. Betul, meski tidak selalu begitu. Artinya, bisa saja yang lebih banyak justru salah. Bukankah logikanya yang lebih banyak itu bermula dari yang sedikit, yang seiring waktu bertambah karena berbagai faktor penyebab? Jadi, sekali lagi, haruskah keputusan yang demokratis dibuat berlandaskan suara terbanyak? Bisa saja, sepanjang itu menyangkut hal-hal di seputar pemilihan calon pemimpin. Sebab bagaimanapun, apa yang disebut subyektifitas berperan besar di situ, kendatipun sejumlah syarat dan kriteria kepemimpinan dijadikan alat seleksi demi meminggirkan para calon yang tak layak. Namun, akan berbeda jadinya jika mekanisme keputusan demokratis berlandaskan suara terbanyak itu diimplementasikan pada calon peraturan publik. Apalagi jika calon peraturan publik itu menyangkut tentang hal-hal yang sangat abstrak seperti “porno” dan “hasrat seksual” itu. Inilah yang mestinya dipikirkan secara kritis. Bayangkan jika Ali Mochtar Ngabalin, anggota Panja RUU Pornografi, berada di posisi saya. Suatu hari, di Kabupaten Biak Numfor, Papua, pertengahan tahun 2007. Di Lapangan Remaja Biak, siang itu, digelar acara pembukaan Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) IX Tahun 2007 se-Tanah Papua. Meriah sekali. Pesertanya kira-kira berjumlah 4000 orang, terdiri dari 27 delegasi dari 29 kabupaten yang ada di Tanah Papua saat ini. Disaksikan oleh para pejabat pemerintah dan wakil rakyat daerah setempat, tetamu dan warga masyarakat dari pelbagai pelosok Papua, para anggota setiap kelompok paduan suara itu bernyanyi dan beraksi dalam arak-arakan devilei. Busana yang mereka kenakan bervariasi model dan bentuknya, tapi umumnya minimalis (maklumlah di Papua). Tapi sekonyong-konyong, ketika melewati panggung utama, tempat di mana Gubernur Barnabas Suebu duduk, seorang perempuan Papua membuka pakaian atasnya yang ternyata di dalamnya tak tertutupi pakaian dalam. Seolah sengaja, perempuan itu lalu mempertontonkan payudaranya seraya menari-nari. Secara cepat mata saya memandang ke sekeliling, termasuk ke arah Barnabas Suebu duduk, untuk mencari tahu bagaimana reaksi orang-orang itu. Umumnya mereka diam. Biasa-biasa saja. Merasa tak puas, saya kemudian bertanya kepada seorang warga Papua yang duduk di sebelah saya, tentang maksud si perempuan Papua tadi membuka pakaian atasnya. Intinya, menurut dia, ada pesan tertentu yang hendak disampaikan si perempuan itu kepada pemimpin, dan pesan tersebut dikemasnya dalam ungkapan budaya etniknya. Kalau begitu, pornokah itu? Jauh sebelum itu, saya juga pernah menyaksikan seorang perempuan Papua menari-nari dengan busana setengah telanjang di sebuah panggung politik tatkala seorang calon wakil rakyat tengah berkampanye. Kalau itu dianggap porno, mengapa orang banyak saat itu memandangnya dengan reaksi yang biasa-biasa saja? Yang hendak saya sampaikan dengan mengemukakan contoh-contoh tersebut adalah: jangan bermimpi membuat standar moral yang berlaku seragam untuk 230 juta orang Indonesia dari Sabang sampai Merauke tentang “porno” dan “hasrat seksual” itu. Apa boleh buat, kita memang tak mungkin memiliki standar tunggal soal moralitas. Sebab, dari dulu kita memang sudah beranekaragam, termasuk dalam corak budaya dan tingkat inteletualitasnya. Kita, sejak 28 Oktober 1928, hanya pernah bersepakat untuk bersatu dalam nusa, bangsa, dan bahasa. Hanya ketiga ikatan itulah pemersatu kita. Jadi, daripada repot-repot menambahi ikatan pemersatu yang lain, lebih baik memperkuat ketiga ikatan yang sudah ada itu. Ke depan, berhentilah berparadigma naif bahwa apa yang buruk selalu melekat pada obyek dan berada di luar. Ingatlah, apa yang buruk justru lebih kerap muncul dari subyek dan berada di dalam. Sebagaimana kebenaran juga banyak dikonstruksi di benak, maka gejala-gejala lahiriah tak serta-merta dapat didefinisikan sebagai yang baik dan yang buruk. Itulah paradigma kritis, yang memaknai kebenaran sebagai hasil konstruksi pemikiran. Dan karenanya ia menjadi dinamis. Tapi, itu memang sesuai hak asasi manusia terkait kebebasan berpikir yang dijamin UUD 45 Pasal 28 huruf I ayat (1). Jadi, janganlah melangkah surut seperti di era Orde Baru, yang penguasanya merasa berwenang mengadili pikiran rakyat. Jika kelak RUU Pornografi dipaksakan untuk disahkan atas nama demokrasi, boleh jadi Balkan Kaplale dkk menang sebagai pihak yang mayoritas. Namun risikonya, rajutan demokrasi Indonesia yang masih berusia muda ini tersobek-sobek, karena banyak orang yang mengalami alienasi menjadi warga Indonesia lantaran tradisi dan corak budaya etniknya tidak dihormati oleh dan di negara sendiri. * Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol.