Lebaran di Negeri Laskar Pelangi
KOMPAS-Senin, 14 September 2009 | 03:20 WIB

Oleh ANDREA HIRATA - Novelis

Menjelang Lebaran seperti sekarang ini, aku selalu ingat kepada guru mengajiku 
dulu 
di kampungku yang jauh, udik, dan terpencil, Gantong, nun di tepi timur Pulau 
Belitong sana 
di titik paling ujung peradaban Melayu. Namanya Haji Fadillah Fairuz, yang tak 
pernah marah 
meski kami, anak-anak didiknya, selalu nakal. Makin nakal kami, makin sabar ia, 
dan makin 
sayang kami kepadanya.

Ramadhan menjadi begitu menyenangkan bersamanya. Jika usai berbuka puasa, kami 
segera 
menyerbu masjid karena Haji Fairuz akan mengajar kami azan berbagai gaya, mulai 
dari gaya 
orang Mesir sampai gaya umat muslim Tionghoa di daratan China. Unik dan lucu.

Sepanjang shalat tarawih, Haji Fairuz bergabung di saf paling belakang bersama 
kami yang 
sering ribut. Seusai tarawih, ia akan menceritakan kisah dari jazirah yang 
membuat kami tertawa 
sampai berguling-guling. Ia memimpin kami pawai likur pada hari ke-17 puasa. Ia 
pun membuat 
lomba membaca puisi berbahasa Arab dan pentas sandiwara Abu Nawas.

Lalu, yang paling istimewa, suatu ketika Haji Fadillah Fairuz menyarankan, tak 
ada salahnya 
mengantar hidangan lebaran kepada warga Tionghoa di kampung kami.

Dan, tibalah Lebaran. Pagi-pagi sebelum salat Idul Fitri, aku merepotkan ibuku 
agar mengisi rantang 
dengan ketupat dan masakan lebaran. Lalu, aku bergegas ke rumah Nyim Kiun, 
wanita Tionghoa renta 
yang hidup sendiri. Ia tertegun menatapku. Aku mesti berkali-kali menjelaskan 
kepadanya bahwa aku 
datang sesuai dengan saran Haji Fairuz. Nyim Kiun masih tak mampu berkata-kata 
waktu menerima 
rantang itu. Matanya berkaca-kaca. Itulah Lebaran terindah dalam hidupku.

Betapa lembut Islam di tangan Haji Fairuz. Ia pula yang menyadarkanku akan 
megahnya Lebaran 
bagi orang Melayu pedalaman seperti kami. Secara kultural, kami tak punya hari 
besar apa pun. 
Kami bahkan tak merayakan ulang tahun, jangan kata Valentine's Day. Jika 
belakangan banyak orang 
Melayu merayakan ulang tahun, itu karena mereka terlalu banyak mendengar lagu 
barat atau nonton TV.

Maka, Idul Fitri menjadi yang terbesar dan teristimewa bagi kami. Orang rela 
berdesakan dalam kapal lawit,
terkapar mabuk laut bertumpuk- tumpuk seperti pindang di geladak. Tetapi, 
semuanya gembira untuk 
Lebaran di kampung.

Para penggunjing, jemaah tetap warung kopi dan berandalan pasar bergegas dengan 
baju-baju terbaiknya, 
bersepeda kalang kabut karena azan shalat Idul Fitri telah berkumandang. Mereka 
ingin shalat! 
Walaupun mungkin hanya sekali itu tahun ini.

Anak-anak Melayu berbondong-bondong ke masjid, semuanya seragam lantaran bahan 
pakaiannya hanya 
dari jatah maskapai timah untuk kaum kuli. Walau baju mereka kerap sama dengan 
gorden dan taplak meja, 
mereka ingin menghadap Allah dengan baju lebaran paling bagus. Masih demikian 
banyak sisi indah dalam 
Islam yang bisa dinikmati, disyukuri, dibanggakan, dan dibela tanpa harus 
dengan menaikkan darah.

Aku rindu kepada Haji Fairuz dan cantiknya Islam dalam pelukannya. Aku rindu 
menjadi Muslim yang lebih baik. 
Aku rindu pada kenakalan-kenakalan di masjid selama Ramadhan, pada keunikan 
orang Melayu jika Lebaran. 
Aku rindu pawai likur membawa obor keliling kampung. Aku rindu melihat wajah 
orang-orang Khek dan Hokian 
waktu mereka menerima rantang hidangan lebaran. -[lm-29]
------------------------------------------------------------------
l.meilany
180909/28ramadhan1430h

Kirim email ke