Merokok- Sayang Anak atau Sayang Suami?

Dalam bulan Ramadhan ini saya merasa bersyukur hampir tidak pernah menjumpai
perokok di tempat umum. Semoga kebiasaan merokok menghilang begitu usai 
Ramadhan.
Karena jelas merokok memberi banyak kemudharatan bahkan pada orang lain yang
justru tidak merokok - perokok pasif

" Dan apa-apa yang menimpa kamu dari musibah, amaka disebabkan usaha 
tanganmu......."
" Allah membinasakannya disebabkan perbuatan mereka....."  [QS Asy Syuura; 42: 
30&34]

Beberapa waktu lalu tatkala kasus gizi buruk merebak di Indonesia; dalam 
tayangan
televisi tampak seorang pria dari keluarga pra sejahtera dengan wajah yang 
tampak tak 
bersalah menggendong anak balitanya yang kurus kering, perut membuncit karena 
kurang gizi. 
Si bapak tampil dengan rokok yang masih mengepul di tangan satunya.

Kondisi yang memprihatinkan ini sebenarnya dapat di cegah. Gizi buruk tidak 
melulu disebabkan 
kemiskinan. Tapi juga karena aspek sosial-budaya yang ada di masyarakat kita. 
Terutamanya masalah individual dan keluarga. 
Antropolog FISIP UI Achmad F Saifuddin mengatakan; di masyarakat masih ada 
pemikiran bahwa
laki-laki dianggap lebih baik, lebih tinggi dibandingkan perempuan. Sehingga di 
dalam keluarga, 
kepentingan laki-laki harus lebih diutamakan. Cara berpikir yang demikian ini 
menyebabkan 
kecukupan gizi anak bagi keluarga miskin terabaikan. Ada banyak keluarga 
Indonesia yang 
anaknya mengalami gizi buruk, namun bapaknya terus saja merokok.

Kebiasaan merokok berarti telah mengeluarkan sejumlah uang yang di 'bakar' 
dengan sia-sia, 
yang seharusnya bisa di manfaatkan untuk membeli kebutuhan protein atau 
menambah gizi 
anak-anak juga untuk para ibu yang sedang hamil. Kondisi gizi buruk yang 
menjadi masalah utama 
di Indonesia, diantaranya busung lapar, kekurangan protein, vitamin A, zat besi 
dan yodium.

Tatang S Falah, dari Direktorat Gizi DepKes menjelaskan, bahkan lima dari 
sepuluh ibu yang hamil 
menderita anemia dan bisa meningkatkan risiko melahirkan serta berat badan bayi 
yang rendah. 
Empat dari sepuluh anak sekolah menderita anemia dan tiga dari sepuluh anak 
sekolah kekurangan yodium.

Keluarga Fulana adalah suatu contoh. Anaknya yang pertama kini berusia 6,5 
tahun. 
Dulu sempat menderita marasmus[ gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat], 
sekarang sudah sehat. 
Anaknya yang kedua, 1,7 tahun; saat ini menderita gizi kurang. Beratnya hanya 
tujuh kilogram.
Suami Fulana adalah buruh tani dengan penghasilan Rp. 10.000/hari. Suaminya 
merokok dua kali sehari 
dan menghabiskan Rp. 3.300 untuk membeli rokok.
Fulana sendiri tak tega bila suaminya tidak merokok setelah capai bekerja di 
sawah.

Kita tidak bisa berharap masalah gizi buruk bisa ditangani sepenuhnya tanpa 
menyelesaikan akar masalahnya. 
Faktor budaya yang lebih mementingkan rokok daripada gizi anak sebaiknya tidak 
dipertahankan. 
Agar kita dapat memiliki generasi mendatang yang sehat, cerdas dan produktif.
Bukan generasi yang suatu saat justru menjadi beban. - [lm-19]
------------------------------------------------------------------------------------
l.meilany
120909/22ramadhan1430h

Kirim email ke