http://www.poskota.co.id/redaksi_baca.asp?id=859&ik=31


RT-RW Lebih Peduli OYK 

Kamis 23 Oktober 2008, Jam: 9:29:00 
Merazia para pendatang baru yang masuk ibukota tanpa identitas atau tanpa 
tujuan jelas. Inilah hajat rutin tahunan Pemerintah Provinsi DKI selepas 
perayaan lebaran Idul Fitri yang diberi nama Operasi Yustisi Kependudukan 
(OYK). Dana sekian miliar dianggarkan setiap tahun, tetapi hasilnya selalu 
dipertanyakan, meski telah dilakukan berulang-ulang. 

Bila masalah kependudukan di Jakarta boleh diibaratkan sebagai kebakaran besar, 
maka OYK hanyalah upaya untuk memadamkan api kecil bernama urbanisasi. OYK 
tidak pernah bisa menghentikan orang daerah untuk datang ke kota besar seperti 
Jakarta. Karenanya, OYK akan selalu berulang dan berulang dengan hasil dari 
tahun ke tahun tak banyak berubah, kecuali perbedaan angka jumlah 'pendatang 
haram' yang ditangkap. 

Tak heran, bila pihak-pihak tertentu seperti LSM Urban Poor Consortium selalu 
meragukan efektivitas OYK. Selain hanya menghabiskan anggaran, juga menambah 
deretan orang miskin karena OYK dianggap menghambat warga masyarakat untuk 
mendapatkan kesejahteraan. Maklum, motif para pendatang pada umumnya adalah 
ekonomi. 

Bicara pada tataran ideal, untuk menekan angka urbanisasi dibutuhkan pemerataan 
pembangunan antara desa dan kota, daerah dan metropolitan. Mustahil, bila cuma 
Jakarta atau kota-kota besar saja yang bergerak melalui razia-razia sejenis 
OYK. 

Pernah terdengar gerakan mbangun deso dan sejenisnya untuk mengajak para urban 
yang dipulangkan dari kota besar seperti Jakarta untuk membangun desa. Tetapi, 
yang kita lihat gerakan itu lebih sering terhenti sebagai slogan. Pada 
kenyataannya, tidak banyak terbuka peluang kerja di daerah. Terlebih kondisi 
krisis ekonomi seperti sekarang, bukan tidak mungkin akan mendorong angka 
urbanisasi naik lebih tinggi dibanding tahun lalu. 

Terlepas dari soal lemahnya efektivitas, mulai hari ini pemerintah di ibukota 
mulai menggerakkan OYK. Aparat akan bergerak keluar masuk apartemen, tempat 
kost, rumah-rumah penampungan, sekitar lokasi pasar, untuk merazia para 
pendatang baru yang tidak memiliki identitas dan tujuan jelas. Artinya, ber-KTP 
daerah pun tak menjamin yang bersangkutan tidak dipulangkan, kecuali mereka 
memiliki pekerjaan jelas. 

Kurun waktu tiga minggu setelah lebaran dianggap cukup oleh pemerintah DKI bagi 
mereka untuk menemukan pekerjaan atau pendidikan yang jelas. Mereka yang tak 
punya identitas, tanpa pekerjaan jelas, apalagi hidup tanpa tempat tinggal 
tetap, harus siap-siap menerima kenyataan ditolak di Jakarta. 

Razia-razia semacam ini sebenarnya bisa saja tak perlu lagi dilakukan atau 
setidaknya tak sampai menelan dana miliaran rupiah, kalau pemerintah mampu 
mengefektifkan fungsi RT-RW. Mereka lebih dimungkinkan untuk melakukan 
pemantauan seperti ini karena berada pada level paling bawah. Terlebih lagi, 
pemerintah selama ini telah memberi honor kepada pengurus RT-RW. 

Sebagai bentuk pertanggungjawaban, bisa saja mulai tahun ini pemerintah DKI 
mengenakan sanksi kepada pengurus RT-RW yang banyak warganya terjaring OYK. 
Dengan begitu mereka dipacu untuk lebih peduli pada lingkungan.*** 

Kirim email ke