Mas Koentyo saya setuju sekali dengan pendapat Anda bahwa dalam hal kekerasan 
konsep Islam sama dengan konsep komunisme dan pada ahirnya paham itu akan 
runtuh seiring dengan kemajuan jaman di mana keterbukaan semakin tidak 
terbendung.
 
Dilihat dari manfaatnya bagi kemajuan peradaban, konsep komunisme yang didasari 
Marxisme jauh lebih bermanfaat dibandingkan dengan Islam. Kita harus mengakui 
bahwa walaupun negara komunis ahirnya bubar dan terpaksa menerima kapitalisme, 
tetapi paham Marxisme sudah berhasil menjinakan kapitalisme sehingga 
negara-negara Eropa dan Amerika Serikat sudah bergeser menjadi negara yang 
memperhatikan kesejahteraan buruhnya, menjadi welfare-state. Tetapi Islam 
menghancurkan peradaban buktinya jelas di Afganistan, Irak dsb. Apalagi jika 
dilihat sejarah masa lalu, Mesir, Irak dulu adalah negara berperadaban tinggi 
tetapi setelah dicengkeram Islam malah mundur. Dalam negara yang menganut 
sistem komunisme, rakyat dikekang kebebasannya tetapi dipacu untuk pintar 
tetapi dalam Islam tidak dikekang dari luar tapi dikekang dengan doktrin yang 
membodohkan sehingga memang rakyatnya menjadi bodoh.

Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memang kehancuran Islam 
tinggal di depan mata. Anda benar Emha mencoba menyelamatkan Islam tetapi 
karena dasar Islam adalah kekerasan dan ditulis di Alquran sebagai perintah 
Awloh, saya kira akan sulit diselamatkan.
Salam

--- On Sun, 11/16/08, koentyo soekadar <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: koentyo soekadar <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: Re: [mimbar-bebas] Gusti Allah Tidak "nDeso" Islam menurut Emha Ainun 
Najib
To: [EMAIL PROTECTED]
Date: Sunday, November 16, 2008, 1:50 AM











Membaca tulisan Hikayat Dunia dibawah mengingatkan saya kepada Long March-nya 
Mao Tje Tung (Mao Ze Dong) menuju Peking (Beijing) untuk merebut kekuasaan. 
Orang-orang Islam dibawah pimpinan Muhammad juga telah menjalankan Short March 
(ini kalau dibanding dengan jarak yang ditempuh oleh Mao dengan Long March-nya) 
dari Mekkah ke Medinah. Dari Medinah dengan konsep kekerasan (perang) kemudian 
diadakan perjalanan kembali menuju ke Mekkah, untuk merebut kekuasaan.
 
Saya setuju dengan pendapat Hikayat Dunia bahwa pada dasarnya Islam adalah 
agama atau paham yang di-konsep untuk dengan kekerasan (dengan senjata ataupun 
dengan tangan kosong & batu-batu & pentung) merebut kekuasaan suatu negara, 
yang kemudian untuk memonopoli kekuasaan dinegara itu.
 
Jadi konsepnya adalah sama persis dengan konsep komunisme. 
 
Dengan demikian mereka (golongan Islam) yang berpaham fundamentalis dan suka 
men-teror masyarakat sekitarnya itu pada hakekatnya adalah sama dengan komuns. 
Karena kesamaan konsep ini, maka mereka adalah saingan dan saling membenci. 
 
Analogi ini akan menuntun kita pada kesimpulan, bahwa Islam dengan konsep 
kekerasan ini cepat atau lambat akan mengalami kebangkrutan seperti 
kebangkrutan konsep komunisme sejak ambruknya tembok Berlin. Hanya saja kalau 
paham komunisme memerlukan waktu 70 tahun untuk bangkrut, Islam kekerasan itu 
akan bangkrut pada kurun waktu yang lebih cepat, mengingat bahwa abad ini 
adalah abad internet, abad elektronik, dimana semua berkembang dengan sangat 
cepat.
 
Seperti halnya dengan konsep Dubcek (Sekretaris Partai Komunis Cekoslowakia 
pada   akhir tahun-tahun 60-an) mengenai paham sosialisme berwajah manusia, 
maka Cak Nun (Emha Ainun Najib) berusaha untuk menyelamatkan Islam sebagai 
kepercayaan/ keyakinan dengan ke-tidak ndeso-an Allah itu. 
 
Kalau memang para pemuka Islam masih menghendaki agar agama Islam sebagai 
kepercayaan/ keyakinan/ falsafah- hidup yang dipeluk oleh menusia didunia ini, 
maka mereka harus cepat-cepat ber-re-orientasi kearah pemikiran-pemikiran yang 
dikemukakan oleh Cak Nun itu. Kalau tidak maka nanti akan datang waktunya 
dimana "tembok Islam kekerasan" akan hancur, seperti tembok Berlin.
 
Salam


--- On Sun, 11/16/08, Hikayat Dunia <[EMAIL PROTECTED] com> wrote:

From: Hikayat Dunia <[EMAIL PROTECTED] com>
Subject: [mimbar-bebas] Gusti Allah Tidak "nDeso" Islam menurut Emha Ainun Najib
To: "Mediacare" <[EMAIL PROTECTED] ps.com>
Cc: "Mimbar Bebas" <mimbar-bebas@ yahoogroups. com>, "Nasionalis Indonesia" 
<nasionalis-indonesi [EMAIL PROTECTED] com>
Date: Sunday, November 16, 2008, 5:24 AM









Saya kira komentar yang bagus agar kita dapat melihat duduk persoalannya dengan 
benar. 
  
Anda benar Kresten abad pertengahan mirip-mirip Islam jaman sekarang bahkan di 
sekitar Islam lahir Kresten sudah seperti itu. 
  
Tapi kalau Anda pelajari ajaran Yesus dan Kresten awal sampai sekitar tahun 
300-an Masehi, tidak ada ajaran kekerasan malah Kresten waktu itu mengindari 
terlibat dalam kekuasaan. Yesus mengajarkan menegakkan kebenaran tanpa 
menggunakan kekerasan malah rela disalib untuk memperlihatkan ada kebenaran dan 
ada kekerasan. Ajaran itu dipraktekan oleh murid-muridnya pada awal berdirinya 
Gereja Katolik, mereka ditangkapi oleh Kaisar Romawi tetapi meraka tidak mau 
melawan sedikit pun, malah rela mati disiksa dan pada jaman itu banyak sekali 
yang jadi martir, mati ditindas orang Romawi tanpa melawan sedikitpun. Tapi 
ahirnya pemerintah Romawi bingung semakin banyak yang dibunuh tetapi pengikut 
Gereja Katolik malah menjadi semakin banyak. Ahirnya Kaisar Constantinus 
melakukan pendekatan, menerima kehadiran Gereja Katolik dan bahkan kemudian 
menjadikan Agama Katolik sebagai agama resmi negara. Mulai saat itulah Gereja 
masuk ke dalam pelukan kekuasaan dan diperalat
 oleh kekuasaan dan perkembangan berikut ketika Kekaisaran Romawi runtuh 
kekuasaan jatuh ke tangan Paus dan Paus yang  sudah terbiasa dengan kekuasaan 
memanfaatkan dengan baik kekuasaan itu untuk mengembangakan Gereja sehingga 
timbul ekses kekerasan dan yang terjadi sebenarnya adalah penyimpangan dari 
ajaran Yesus. 
Islam lahir pada waktu Gereja sudah dalam genggaman kekuasaan Kaisar Bizantium 
dan sistem itu yang ditiru Muhammad. Tapi berbeda dengan Gereja Katolik yang 
diawali dengan mengambil jarak pada kekuasaan dan menghindari kekerasan, Islam 
lahir diawali dengan kekerasan dan perang. Kemenangan perang Badar menjadi awal 
berdirinya Islam sebagai kekuasaan atas wilayah Madinah yang kemudian diperluas 
dengan mengalahkan penguasa Quraisy yang berkuasa atas Mekah dan setelah 
Muhammad meninggal perang untuk memperluas pengaruh Islam merangsek mengambil 
alih wilayah Katolik. 
Merasa wilayahnya direbut Islam, Paus ahirnya membalas dengan melancarkan 
Perang Salib. 
  
>”Jika Re-interpretasi Kresten tidak menghilangkan ajaran Yesus, lalu kenapa 
>Re-interpretasi Islam bisa menghilangkan Islam?” 
  
Re-interpretasi Kresten bukan menghilangkan ajaran Yesus tetapi mengembalikan 
Gereja yang pernah menyimpang dari ajaranYesus untuk kembali pada dasar ajaran 
Yesus yang benar. Proses itu berjalan lambat tapi secara bertahap Gereja 
ahirnya memisahkan diri dari kekuasaan dan bahasa Latin yang pernah digunakan 
sebagai bahasa resmi Gereja dilonggarkan penggunaannya sehingga Misa boleh 
diselenggarakan dalam bahasa setempat karena Yesus tidak pernah mengajarkan 
bahwa bahasa Ibrani apalagi bahasa Latin sebagai bahasa Tuhan. 
  
Jika dilakukan re-Interpretasi Islam seperti yang dilakukan Emha Ainun Najib, 
jelas akan menghilangkan Islam karena inti dari Islam adalah menjalankan rukun 
Islam di mana menyembah Awloh adalah syarat mutlak. Kalau orang berani 
mengajarkan bahwa dalam Islam menyembah Awloh adalah pilihan bukan kewajiban 
kosekuensinya tidak akan ada lagi Islam, karena jika orang ingin membina 
pribadinya dengan berbuat kebaikan tanpa menyembah Awloh, menjadi orang yang 
bermoral, maka ajaran Yesus, Hindu, atau Buddha, lebih cocok karena di ketiga 
ajaran itu tidak ada perintah untuk menyembah Tuhan dan tidak ada perintah 
untuk memusuhi orang lain (kafir) sehingga orang dapat hidup dalam damai tanpa 
harus punya musuh. 
Salam 
  
--- In [EMAIL PROTECTED] .com, "ttbnice" <serikat_indonesia@ ...> wrote: 
>   
> Anda salah. Kresten pada abad pertengahan mirip2 Islam jaman sekarang. 
> Bahkan Paus memperkenankan perang salib, yang artinya memperkenankan 
> orang KResten melakukan pembunuhan. 
> 
> Ketika terjadi revolusi dalam ajaran Kresten oleh Martin Luther, 
> secara perlahan Kresten menjadi agama yang lebih humanis seperti yang 
> dikenal sekarang. 
> 
> Jika Re-interpretasi Kresten tidak menghilangkan ajaran Yesus, lalu 
> kenapa Re-interpretasi Islam bisa menghilangkan Islam? 
> 
> Emha adalah salah satu pembaharu ajaran Islam yang lebih menitik 
> beratkan pada keinginan Awloh daripada segala macam dalil atau aturan 
> yang justru sering saling bertentangan. 
> 
> Islam model begini lah yang nantinya justru memfilter mana yang Islam 
> dan mana yang bukan. Tidak seperti sekarang dimana koruptorpun dapat 
> memproklamirkan dirinya seorang yg beragama Islam. 
> 
> 
> 
> --- In [EMAIL PROTECTED] .com, Hikayat Dunia <hikdun@> wrote: 
> > 
> > Di bawah ini beragama menurut Emha Ainun Nadjib, kalau semua orang 
> Islam di Indonesia dapat menerima apa yang diajarkan Emha dan 
> melaksanakannya, pasti Indonesia akan maju. Tetapi sadarlah, artinya 
> ajaran Islam harus ditinggalkan karena tidak sesuai lagi. 
> > Salam 
> >  
> > Gusti Allah Tidak "nDeso" 
> > Oleh: Emha Ainun Nadjib 
> > 
> > Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. 
> > "Cak Nun," kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan 
> tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah 
> satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, 
> atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, 
> mana yang sampeyan pilih?" 
> > 
> > Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan." 
> > "Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya. 
> > 
> > "Ah, mosok Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun. "Kalau saya memilih 
> shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, " 
> katanya lagi. 
> > "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang 
> memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi. 
> > 
> > Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, 
> Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang 
> kecelakaan itu. 
> > 
> > Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan: 
> kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau 
> menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu.Kalau engkau 
> memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu. 
> > 
> > Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana 
> dari tiga orang ini. 
> > 
> > Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun 
> masjid, tapi korupsi uang negara. 
> > 
> > Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, 
> menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan 
> mengobarkan semangat permusuhan. 
> > 
> > Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka 
> beramal,tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?" 
> > 
> > Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi 
> uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. 
> Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi 
> menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak 
> sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, 
> tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya 
> sembahyang dan membaca Al-Quran. 
> > 
> > Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. 
> Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia 
> hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah 
> output sosialnya : 
> > kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan 
> orang lain, memberi, membantu sesama. 
> > 
> > Idealnya, orang beragama itu seharusnya memang mesti shalat, ikut 
> misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki 
> perilaku yang santun dan berkasih sayang. 
> > 
> > Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. 
> Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih 
> sesama. 
> > Bila kita 
> > cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi ke kebaktian, ikut misa, 
> datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang 
> beragama. 
> > Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, 
> meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup 
> bersih, maka itulah orang beragama. 
> > 
> > Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan 
> personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan 
> kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang 
> yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang 
> menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas 
> dan keprihatinan social pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas). Juga 
> tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.  Karena itu, 
> orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. 
> Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara 
> beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan. ~ 
> > 
>  


 














      

Kirim email ke