CONGRATULATIONS to Puni & Pak Iskandar. We need thousands more of Puni's and Iskandar's.
Mereka adalah orang2 yg berjiwa pemimpin sejati, mereka tidak spt hampirsemua the so-called pemimpin bangsa Indonesia yg mottonya 'Greed is good!' Selamat dan keep up the good work. Gabriela Rantau --- In zamanku@yahoogroups.com, "setyawan_abe" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > --- In [EMAIL PROTECTED], "setyawan_abe" > setyawan_abe@ wrote: > > Tri Mumpuni Wiyatno: Dian yang Tak Kunjung Padam > Oleh : Retnadi Nur'aini > > Sumber : http://edumuslim.org/index.php?option=article&article_rf=125 > > > > Judul buku sastra lama karangan Sutan Takdir Alisjahbana itu bisa jadi > tepat untuk menggambarkan sosok Tri Mumpuni Wiyatno. Bersama suaminya, > Iskandar Budisaroso Kuntoadji, wanita yang kerap dipanggil Puni ini > membangun pembangkit listrik mini bertenaga air (mikrohidro). Tak > kurang, 60 lokasi sudah mereka terangi dengan listrik. > Mikrohidro ditekuni Puni sejak tahun 1996. Sesuai namanya, Pembangkit > Tenaga Listrik Mikrohidro (PLTMH) ini menggunakan tenaga air berskala > kecil dan menghasilkan energi di bawah 500 KW. Prinsip kerjanya, air > sungai sebagian dialirkan ke sebuah saluran irigasi permanen. Air itu > lantas ditampung dalam kolam penampung dan kolam penenang. > Sebanyak 1.100 liter air per detik kemudian dijatuhkan dalam dua pipa > pesat dari ketinggian 18,6 meter. Kekuatan air tersebut diubah oleh dua > turbin kembar menjadi energi listrik, yang menghasilkan daya maksimal > mencapai 120 kilowatt (KW). Dengan daya sebesar itu, niscaya sebuah desa > pun seketika menjadi terang benderang. "Secara kongkrit, mikrohidro > bisa memberi penerangan masyarakat di perdesaan yang belum mendapat > fasilitas listrik dari pemerintah melalui PLN," jelas Puni. > Umumnya, mikrohidro digunakan di daerah-daerah terpencil. Dusun > Palanggaran dan Cicemet misalnya. Dusun yang terletak di Gunung Halimun, > Sukabumi, Jawa Barat, ini. Untuk mencapainya saja harus berjalan kaki > sembilan jam atau naik motor yang rodanya diberi rantai sebab jalan > setapaknya licin. Namun sejak diterangi listrik tahun 1997, para > warganya kini bisa menikmati jalan berbatu yang bisa bisa dilalui > kendaraan four wheel drive. "Uang membangunnya ya dari listrik tadi. > Otomatis, ini membuka peluang membantu 10 dusun lain," kata Puni. > > Berprinsip Gotong-royong > Kecintaan Puni pada PLTMH berawal pada tahun 1992. Saat itu, ia dan > suaminya, Ir Iskandar Kuntoadji, mendirikan sebuah lembaga swadaya > bernama Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka). Iskandar sendiri > adalah sarjana geologi dari Institut Teknologi Bandung, dan belajar > pembangkit mikrohidro di Swiss. > Sebenarnya, ide mikrohidro sendiri telah digagas Iskandar sejak tahun > 1987 melalui lembaga yang didirikannya bersama Yayasan Mandiri. Sayang, > progress-nya lambat. "Suatu ketika Mas Iskandar minta tolong saya > mempresentasikan proposal dana listrik mikrohidro. Saya langsung > tertarik dan meninggalkan pekerjaan sebelumnya dalam program rumah untuk > orang miskin di perkotaan, perempuan, lingkungan, kesehatan, dan > pendidikan," kenang Puni yang menjabat sebagai Direktur Ibeka ini. > Berangkat dari sana, mereka pun bekerjasama menjadi tim yang kompak. > Sebelum membangun pembangkit listrik, Ibeka akan mengumpulkan data untuk > melihat kemungkinannya secara teknis. Iskandar lalu membuat rencana > teknik dan menghitung rencana anggaran biaya. Setelahnya, tugas Puni lah > untuk "berjualan". Hingga saat ini, PLTMH telah "laku" > pada sejumlah donatur seperti kedutaan dan perusahaan yang menggunakan > skema tanggung jawab sosial perusahaan. Tak sekalipun Puni menggunakan > dana Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN). "Keputusan > Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 mengharuskan adanya tender. Tidak > mungkin rakyat kecil mengakses," tandasnya. > Nah, setelah dana ada, Ibeka lalu mengirim tim sosial yang biasanya > tinggal mulai dua minggu sampai satu bulan di desa. Di sana, tim sosial > akan membangun komunitas masyarakat melalui forum dialog. "Kami akan > mencari orang-orang berpengaruh di desa itu lalu membuat pertemuan > dengan masyarakat di masjid kalau komunitasnya Muslim, atau di rumah > adat seperti di Kalimantan," kata Puni. > Kemudian, masyarakat diminta membuat organisasi yang akan mengurus > turbin, menunjuk ketua, bendahara, sekretaris, sampai operator mesin. > Tak hanya itu, mereka juga diajak menghitung biaya yang harus dibayar > pelanggan sebagai dana abadi dan dana pemeliharaan pembangkit listrik. > Nantinya saat tim teknis tiba, operator turbin dan Ibeka akan bergotong > royong memasang turbin. > Kekecualian terjadi di Desa Krueng Kala, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. > Menurut Puni, masyarakat di sana sama sekali tidak membantu karena > mereka lelah setelah konflik berkepanjangan dan kemudian disapu tsunami > pada 24 Desember 2004. "Di sana tersisa hanya satu desa dengan 215 > keluarga," kata Puni. Lembaga swadaya internasional juga bertanggung > jawab dengan membuat proyek Cash for Work. "Orang dibayar Rp 50 > ribu-100 ribu sehari untuk mengangkut batu dan membersihkan sampah di > rumah mereka sendiri." > > End Use Productivity > Dengan sistem yang dibangun Ibeka, menurut Puni, bukan hanya masyarakat > desa yang untung. PLN dan pemerintah juga untung. Rakyat tidak perlu > terpinggirkan dalam pembangunan, bahkan punya dana abadi karena listrik > yang menjadi aset desa dijual kepada PLN. "Ini bukan hanya capacity > building, tetapi equity building karena kepemilikan rakyat sangat > dihormati," kata Puni. > Di sisi lain, PLN tak perlu investasi. "Karena yang investasi rakyat > dengan bantuan donor," tambah Puni. Tak hanya itu, PLN menerima > listrik bersih karena sumber energinya air, bukan bahan bakar fosil. > Dari sisi teknis, di ujung-ujung jalur distribusi kualitas listrik PLN > tetap terpelihara bila di ujung-ujung itu listrik PLN disuntik listrik > rakyat. Keuntungan untuk pemerintah, harga listrik mikrohidro lebih > murah, Rp 425 dan Rp 432 per kWh. "Setahu saya listrik dari swasta > dijual 6-7 sen dollar AS sebelum negosiasi," kata Puni. > Sebagai investor, warga juga memperoleh hasil yang berbuah manis. Desa > yang belum ada aliran listrik PLN (off grid) mendapat pemasukan dari > uang langganan yang dibayar penduduk. Seperti Desa Cicadas, Subang, > misalnya. Di sana,warga menguasai 50 persen kepemilikan dari kerja > samanya dengan perusahaan swasta lokal. Hasilnya, kini mereka bisa > menikmati siaran radio komunitas mereka sendiri. > Contoh lain, desa di Sumatera Selatan. Di sana, suatu koperasi pesantren > mendapat penghasilan Rp 60 juta per bulan dari listrik yang dijual ke > Perusahaan Listrik Negara (PLN). Bahkan di Desa Krueng Kala terjadi > perkembangan ekonomi yang sangat pesat. "Enam bulan saya tidak ke > sana, kas desa terisi Rp 23 juta. Lalu ada aturan baru desa yang > melarang menebang pohon apa pun dalam jarak 50 meter di kiri dan kanan > sungai. Mereka menanam pohon buah-buahan supaya bisa dapat hasil dari > buah itu. Padahal, sebelumnya sulit sekali menentukan uang langganan > karena mereka merasa tidak punya uang," urainya. > Memang, pada akhirnya, listrik tak lebih dari sekedar alat untuk > membangun potensi desa supaya mereka berdaya secara ekonomi. Karena itu, > meskipun telah melistriki banyak tempat, Puni dan Iskandar terus > mengembangkan end use productivity, agar setelah memiliki listrik, warga > desa dapat menggunakan listrik itu untuk kegiatan produktif sesuai > potensi desa. "Agar pembangkit listrik tenaga air itu mampu > berfungsi terus-menerus sepanjang tahun, setidaknya daerah tangkapan air > di hulu harus dipertahankan seluas 30 kilometer persegi. Artinya, tidak > ada penebangan hutan atau penggundulan vegetasi," kata Puni. Dengan > demikian, PLTMH pun bisa berumur panjang. Di Swiss, PLTMH ada yang > berusia 57 tahun, dan di Jepang bahkan bisa mencapai usia 110 tahun. > Manfaat lain PLTMH juga terkait dengan konvensi Perserikatan > Bangsa-Bangsa dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, yaitu Protokol > Kyoto. "Karena sumber energinya bersih, maka Clean Development > Mechanism pembangkit mikrohidro dapat menjual Certified Emission > Reduction kepada negara maju. Nilai untuk 5.000 pembangkit listrik tadi > adalah 6 juta dollar AS per tahun. Dana ini dapat dipakai untuk > membangun lebih banyak desa," urai wanita yang mendapat penghargaan > Climate Hero dari WWF pada tahun 2005 ini. > Dengan setumpuk manfaatnya, tak heran jika PLTMH kini tersebar dan > menjadi model United Nations Economic Commission for Asia and the > Pacific (UNESCAP), untuk pengembangan kemitraan privat-publik di Kawasan > Asia Pasifik. > > Tak Melulu Mudah > Pun manfaat PLTMH berlipat-lipat, tak berarti jalan yang dilewati Puni > mudah. "Dari 60 lokasi, terdapat empat atau lima tempat yang tidak > jalan lagi dengan beragam alasan. Di Padasuka, Cianjur, pohon di daerah > tangkapan air tadinya akan ditebangi untuk lapangan golf. Ternyata tidak > jadi dan sekarang ditumbuhi ilalang. Ada yang turbinnya dijual kepala > desanya sebagai besi tua, ada yang lalu listrik PLN masuk ke tempat > itu." > Toh, Puni tetap menyikapinya dengan bijak. "Untuk ke depannya, kita > perlu merancang sosialisasi dan edukasi masyarakat untuk memahami > mikrohidro agar fasilitasnya bisa berkesinambungan dengan cara membentuk > institusi di level desa," ujarnya. Misalnya, dengan bertempat > tinggal dengan penduduk serta sering mengadakan penyuluhan dan > pelatihan. Dengan demikian, akan muncul kesadaran bersama akan > pentingnya manfaat listrik buat kehidupan mereka, tidak saja anak bisa > belajar di malam hari, tetapi kerja rumah seperti home industry membuat > tas dan kerajinan tangan dapat dilakukan di malam hari sebagai tambahan > income keluarga karena kalau siang hari masyarakat berkebun atau ke > sawah. Yang tak kalah penting, adalah pengetahuan tentang pelestarian > lingkungan. "Mikrohidro hanya bisa jalan kalau airnya selalu ada dan > air ada kalau hutan dijaga atau di daerah hulu tanaman tidak > ditebangi," urainya. > Potensi kelistrikan tenaga air di Indonesia sendiri masih terbuka lebar. > Dari 75 ribu MW potensi kelistrikan tanah air, yang dimanfaatkan baru > 60MW saja. "Sebanyak 10 persennya, atau 7.500 MW potensi itu dapat > digunakan sebagai sumber PLTMH," ujarnya. > Indonesia sendiri masih punya 30 ribu lebih desa belum terlistriki, > sementara Ibeka hanya mampu mengerjakan 5-10 desa saja per tahunnya. > Puni mengharapkan PLTMH berbasis masyarakat yang digagasnya dapat > diduplikasi sebanyak-banyaknya. "Saya berharap pemerintah tidak > mengembangkan mikrohidro dengan berpikir `project basis' yang > secara kuantitatif tercapai dan uang APBN/APBD bisa terdisburse tetapi > hanya bertahan sebentar fasilitas itu lalu jadi besi tua. Sebab > mikrohidro yang benar harusnya well design, well made dan well > maintained. Artinya, harus di desain dengan benar, oleh orang yang > mengerti, dan dibuat dengan kualitas yang baik, jangan bikin turbin dari > besi bekas karena mengejar keuntungan, juga rakyat atau masyarakat harus > disiapkan untuk mengoperasikan dan merawat dengan benar, artinya ada > proses magang dan pelatihan, transfer teknologi dengan benar. Yang punya > kemampuan seperti ini bisa dihitung dengan jari di Indonesia, tetapi > program pemerintah, siapapun asal bisa punya syarat administratif boleh > ikut membangun mikrohidro. Ini yang merusak nama mikrohidro karena > banyak yang rusak dimana-mana dan itu biasanya program pemerintah, > sayang sekali, kita memang harus bernahi mungkar untuk hal ini," > urainya panjang lebar. > > Berbagi dan Memberi > Bagi anak ketiga dari delapan bersaudara ini, keluargalah sekolah > terbaiknya. "Saya belajar dari Bapak dan Ibu saya," tutur anak > pasangan Wiyatno (almarhum) yang bekerja di BUMN dan Gemiarsih ini. > Dari almarhum ayahnya, Puni belajar tentang arti berbagi. Berbagi, kata > Puni, artinya membagi berapa pun yang dipunyai untuk orang lain yang > membutuhkan, pada saat yang tepat. Tak heran, rumah keluarga mereka di > Semarang selalu ramai oleh saudara atau orang-orang dari desa yang > tinggal bersama mereka dan disekolahkan orangtua Puni dan mereka yang > tinggal bersama dianggap sebagai saudara. "Ayah saya selalu > mengingatkan dalam hidup kita harus bermanfaat buat orang banyak, serta > harus menolong kaum dhuafa karena jumlah mereka banyak dan doa mereka > dijabah Allah," urainya. > Sementara dari sang ibu, Puni belajar tentang arti memberi. Meski hanya > lulusan Sekolah Kepandaian Putri dan menjadi ibu rumah tangga biasa, > namun Gemiarsih aktif berorganisasi dalam kegiatan sosial. Karenanya, > sejak kecil, Puni terbiasa membantu ibunya yang aktif dalam kegiatan > sosial. "Rumah kami jadi tempat posyandu, Ibu mengajar Kejar Paket A > dan B. Jadi, saya biasa ikut menimbang anak-anak balita," tutur > Puni. Sedini usia kelas IV SD Puni juga sudah rajin ikut ibunya keliling > ke kampung-kampung mengobati orang yang kena penyakit koreng. > "Senangnya waktu itu, karena jadi banyak teman, baik anak-anak kecil > maupun orang tua, apalagi yang kemudian mereka suka manggil dan ingat > kita kalau kita lewat daerah mereka, rasanya jadi banyak kenalan, banyak > saudara," kenangnya. > Namun, tak hanya itu yang diperoleh Puni kecil. Ia juga belajar > berempati. "Saya tahu arti menolong setelah melihat orang yang > tadinya buta huruf bisa baca koran dan ekspresi wajah mereka senaaang > betul, anak-anak kampung yang dulu banyak kutunya, lalu diberi peditoks > oleh ibu saya, jadi sembuh, mereka suka mengucapkan terima kasih bahwa > kepalanya sudah tidak pernah gatal lagi, mungkin karena kutunya sudah > tidak ada. Semua sangat membekas dihati saya, termasuk timbangan Balita > di Posyandu, betapa orang-orang kampung sangat senang dibagi sayur > bayam, buah pepaya yang hanya satu iris, telur rebus satu dan nasi serta > susu. Ini kan perbaikan gizi, sayang hanya satu bulan sekali. > Pengalaman-pengalaman itu memperlihatkan kepada saya, dari proses > hubungan manusia itu uang bukan segala-galanya," tambah Puni. > Pada tahun 1982, karya tulis Puni tentang pergaulan bebas di kalangan > remaja memenangi Lomba Karya Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. > Dari sanalah ia berkenalan dengan Rektor IPB Prof Dr Andi Hakim > Nasoetion, yang menjadi salah satu juri. Di kemudian hari kala Puni > gagal masuk Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Andi Hakim-lah > yang menelegram orangtua Puni agar anaknya segera ikut kuliah bersama > mahasiswa tingkat satu di Institut Pertanian Bogor. "Telegram dari > Pak Andi sampai dialbumkan Ayah," kenang Puni. > Sekitar tahun 1990-an ketika duduk di tingkat akhir IPB, Puni mendapat > kesempatan dari lembaga masyarakat dan energi New York untuk > meningkatkan taraf hidup dan pendapatan para peternak ikan mas di daerah > pinggiran Danau Toba, Sumatera Utara. Dalam program pengembangan fish > cage culture (beternak ikan dalam jaring terapung) di pinggiran danau > Toba itu, petani ikan dibentuk dalam satu kelompok untuk difasilitasi > tentang teknik penangkaran bibit. "Hambatan utama adalah kalau pakan > ikan datang terlambat, waktu itu teknologi pakan ikan belum berkembang, > jadi masih sangat tergantung sama kiriman dari Jakarta," ujarnya. > Solusinya, masyarakat pun membentuk koperasi penyalur pakan. Koperasi > ini memesan pakan dalam jumlah yang lebih untuk persediaan. Tak hanya > itu, tim juga aktif mengadakan rapat rutin dengan petani agar mereka > bisa mengeluarkan uneg-uneg atau problem di lapangan dan bersama-sama > mencari solusinya. "Dan ada staf lapangan yang stand by di Ambarita > dan Parapat (base camp), sehingga mudah bagi petani untuk > berkonsultasi," jelasnya. Empat tahun ia berperan di sana dan > kehidupan masyarakat desa itu membaik. > Sampai lima tahun setelah lulus IPB, ia sempat bekerja untuk pembangunan > rumah murah bagi kaum miskin kota. "Ini program PBB untuk memberi > tempat tinggal yang layak bagi masyarakat yang tinggal di daerah kumuh > perkotaan, pembangunannya melibatkan calon penghuni dan dibangun dengan > gotong royong sesama calon penghuni, rumah ini biasanya memanfaatkan > daerah-daerah yang memang tidak menarik para investor/ pemodal besar, > daerah yang sudah agak di pinggiran dan akses ke daerah 'emas' perkotaan > agak memakan waktu karena sarana transportasi yang masih minim," > jelasnya. Karena kemampuannya berbahasa Inggris, Puni pernah dilamar > oleh perusahaan asing dengan gaji besar. Namun ia tak bergeming. > > Tetap Hidup Sederhana > Sekolah kehidupan seorang Tri Mumpuni tak berhenti saat ia menikah. Dari > Iskandar, Puni banyak belajar mengenai kesederhanaan dan kejujuran. > "Sebagai perempuan, wajar kalau saya tertarik pada mode, sepatu dan > tas. Biar sudah punya, kadang-kadang ingin beli lagi. Apalagi kalau > modelnya bagus sekali, atau ketika sedang di luar negeri. Mas Iskandar > hanya bilang, apa saya benar-benar membutuhkan itu. > "Kompromi saya, saya kadang menuruti dia, kadang saya beli juga > tetapi saya berikan kepada orang. Jadi, ego saya terpenuhi, tetapi bukan > untuk saya. Saya merasa situasi itu win-win." > Iskandar juga mengajari bahwa rezeki itu cukup satu gelas. Kalau sudah > lebih, berikan pada orang lain. "Itu mengajarkan untuk menahan diri > dari keserakahan. Lingkungan kita rusak karena ego untuk terus > mengonsumi, terus menumpuk. Dan barang yang ditumpuk akan busuk." > Inilah yang diajarkan Puni dan Iskandar pada kedua putri mereka, Ayu > Larasati, dan Asri Saraswati. "Saya melihat anak saya berproses dari > penolakan menjadi kesadaran, misalnya kita beri tahu arti konsumtif, > membeli barang yang memang belum tentu diperlukan atau karena gengsi, > awal-awalnya mereka marah, dikira kita tidak sayang dan pelit, tetapi > saya dan suami selalu mengatakan yang paling penting adalah fungsi, > setelah mereka besar mereka punya kesadaran luar biasa untuk menghargai > uang dan memanfaatkannya di jalan yang benar, insya allah, saya berharap > seperti itu seterusnya." > Kesederhanaan itu juga tercermin dalam keseharian mereka. Mulai dari > rumah mereka misalnya. Berbahan dasar kayu, dengan prinsip serba terbuka > dengan banyaknya ventilasi dan ruang untuk cahaya. Dengan begini, siang > hari pun tak perlu pakai lampu. > Untuk menghemat listrik, mereka juga terbiasa untuk menyetrika dan > menggunakan mesin cuci bukan pada saat beban puncak, itu bisa menghemat > bayar listrik dan membantu PLN mengendalikan daya yang tersedia. Dan > sebagai pengganti AC, Puni dan Iskandar menanam banyak pohon peneduh > yang sekaligus menghasilkan buah. "Pohon ini bisa sekaligus menjadi > rumah para hewan, dengan buah sebagai makanan mereka," ujarnya. Ah, > sungguh pertimbangan kecil yang sangat bijaksana. > Bagi seorang Tri Mumpuni, hidup memang hendaknya selalu dijalani dengan > penuh kesederhanaan, kejujuran, dan keikhlasan. > Tetaplah bersinar, Puni. ** Artikel ini juga dimuat untuk buletin Dian > Al Mahri > > --- End forwarded message --- >