Riau Pos Runtuhnya Harga Diri Kita
Jumat, 19 September 2008 SUNGGUH, berita tentang meninggalnya 21 orang dalam pembagian zakat di Pasuruan dan tertangkapnya anggota Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) Mohammad Iqbal setelah menerima suap Rp500 juta merupakan dua tragedi bagi bangsa ini. Dua peristiwa itu semakin melengkapi tragedi-tragedi serupa yang terjadi sebelumnya. Tentu ada perbedaan yang sangat kontras antara tragedi Pasuruan dan tragedi tertangkapnya Mohammad Iqbal. Tragedi Pasuruan merupakan tragedi masyarakat bawah/jelata. Hanya gara-gara ingin mendapatkan pembagian zakat Rp30 ribu, mereka rela berdesak-desakan dan rela menginjak saudaranya. Sementara, tragedi tertangkapnya Iqbal merupakan tragedi kalangan elite. Demi memperoleh Rp500 juta (setengah miliar), seorang Iqbal berani mengorbankan kebenaran, mengorbankan nama baik diri dan keluarga, serta mengorbankan masa depan bangsanya. Kendati memiliki perbedaan yang sangat kontras, kedua tragedi itu memiliki muara yang sama. Yakni, sama-sama bermuara pada runtuh dan merosotnya harga diri manusia di hadapan uang. Bila masih memiliki harga diri tinggi, tentu Iqbal yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi tidak akan bertindak seperti itu. Dia tentu akan berpikir seribu kali untuk menerima suap tersebut. Mengingat, ketika uang suap itu pindah ke tangannya, harga dirinya di mata orang yang memberi suap jelas telah jatuh sejatuh-jatuhnya. Wibawa dia sebagai anggota KPPU tentu terjun bebas ke titik nadir. Itu belum risiko kalau ketahuan seperti sekarang ini. Begitu tertangkap basah, jatuhlah harga dirinya sebagai orang terhormat -karena sebagai pejabat negara-, sebagai kepala rumah tangga yang menjadi kebanggaan anak-istrinya, sebagai anak yang dibanggakan orang tua, sebagai menantu yang dibanggakan mertua, sebagai famili yang dibanggakan sanak kerabat, sebagai murid yang dibanggakan guru dan sebagai sahabat yang dibanggakan orang-orang terdekatnya. Begitu juga tragedi zakat di Pasuruan. Jika masyarakat kalangan bawah itu masih setia menjaga harga diri, tentu yang hadir di rumah H Syaikhon tidak akan sebanyak itu. Sebab, begitu mereka menghadiri acara tersebut, label di pundaknya adalah sebagai orang miskin papa yang layak menerima sedekah (zakat). Dan, label itu hanya ditukar dengan nominal uang Rp30 ribu. Pasti, di antara mereka ada yang memang benar-benar hidup dalam kemiskinan. Artinya, uang Rp30 ribu tersebut memang benar-benar bermakna bagi kehidupannya. Tapi, jumlah yang tidak benar-benar miskin tentulah tidak sedikit. Banyak yang sekadar tidak ingin membuang kesempatan mendapatkan rezeki nomplok Rp30 ribu. Sekarang yang menjadi pertanyaan, mengapa nilai materi (uang) begitu tinggi dan mengalahkan harga diri? Salah satu jawabannya, karena di era global ini kehidupan material menjadi begitu dominan. Demi mendapatkan materi, seseorang rela mengorbankan segala-galanya. Karena itu, yang perlu digalakkan adalah menghargai kembali hal-hal yang di luar materi (nonmateri). Misalnya, kejujuran, kebenaran, keadilan, dan kehormatan (harga diri). Pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, para pendidik, serta orang tua memiliki peran strategis untuk mewujudkannya.