SEX DAN GENDER - PART 2

Friends, seorang rekan wanita saya (K) menulis kembali
tentang SEX DAN GENDER di milis Spiritual-Indonesia
<http://groups.yahoo.com/group/spiritual-indonesia>.
Komentar dari saya (L) ada di bagian bawahnya. Semoga
bermanfaat.(Leo)

+

K = Mbak K
L = Leo


K = berbagi cerita…. 
 
Minggu lalu, secara tidak sengaja saya sempat
menikmati 2 program hiburan tv yang menayangkan
peforma para waria. Yang satu judulnya “be a man”,
program tayang stasiun mana saya lupa, saya nggak
hafal, nggak punya tv, cuma nonton pas main di tempat
teman. Satunya lagi yang dipandu Eko Patrio, acara
kontes-kontesan nyanyi, juga nggak tahu judulnya, kalo
nggak salah disiarkan Indosiar, saya tonton di mal
saat saya lagi nge-mal di mal terdekat. Cukup
menghibur. Cukup mengharukan juga, sih…. 

L = Waria itu bencong bukan sihhh ????

K = Waria. Ini mengingatkan saya kepada makhluk Tuhan
dari genus manusia, spesies homo sapiens, muncul di
semua ras, ada di semua etnik, berjenis kelamin
laki-laki, berjender perempuan. Jenis makhluk yang
tampaknya cukup “celaka”, ditolak keluarga,
lingkungan, negara, juga agama; tapi cukup diterima
masyarakat ketika mereka menujukkan kelucuan dan
memberikan penghiburan, dimobilisasi oleh partai2
politik untuk menggaet massa sebanyak-banyaknya dan
untuk memberikan suaranya saat pencoblosan. Pada saat
itu, tampaknya MUI juga lupa mengharamkannya.

L = Ok, I understand. Waria = Bencong = Bences = Banci
Dandan = whatever blah blah blah...

K = Ada yang menyebut waria ini sebagai transgender,
trans-seksual, …, atau transvestite, saya tidak akan
bahas itu. Yang saya mau ceritakan ini cuma hasil
obrolan dan gojek-kere saya sekitar Mei 2005 dengan
seorang waria senior di Yogya, seorang relawan
anti-HIV/AIDS yang jadi mami-nya 300-an waria asli
Yogya maupun pendatang, juga mami-nya anak-anak
jalanan, di sebuah angkringan murah-meriah-pinggir-
jalan di ujung utara Malioboro, dekat pangkalan
anak-anak jalanan, dari sore-terang hingga
malam-temaram. 

L = Ok.

K = Begitu seorang anak menyadari dirinya berkelamin
lelaki tapi berjiwa dan berselera perempuan, begitu
cerita Mami, mulai saat itu dia harus pintar-pintar
bernegosiasi (baca: berantem) dengan banyak pihak:
dirinya sendiri, keluarganya, teman-temannya …, juga
Tuhannya. Ya, bila anak-anak lain tidak banyak masalah
dengan identitasnya yang sudah terberi (perempuan 
atau laki-laki), anak yang kelak beridentitas sebagai
waria ini harus mengalami konflik berliku-liku (dan
terantuk “batu” di sana, sini, situ) dalam pencarian
jati diriya.

L = Ya, mereka HARUS memilih mao jadi bences atau gay.
Kalo jadi bences musti pinter dandan, kalo jadi gay
bisa macho juga. Gay yang macho justru lagi in
sekarang (I think so), hmmm hmmm hmmm...

K = Yang pertama-tama, tentulah berkonflik dengan
batinnya sendiri. Setiap waria dari kelas apa saja, 
di belahan bumi mana saja, yang norma2 masyarakatnya
serta ajaran agamanya hanya diperuntukkan untuk dua
tipe manusia (laki2 “tulen” dan perempuan “tulen”),
pastilah mengalami konflik psikologis berat di awal
masa tumbuhnya kesadaran akan dirinya yang lain, yang
berbeda. Waria yang berkelamin laki-laki ini punya
naluri kuat untuk mengekspresikan identitas jendernya
yang “perempuan”, sehingga seksualitasnya (antara
lain, orientasi seksualnya) langsung ketahuan, dan
karena itu, tekanan yang diterima dari lingkungan
lebih berat pula. 

L = Is waria DIFFERENT from gay ??? Gay kan cowok yang
suka nyepong cowok juga. Kalo waria apa bukan nyepong
anune cowok juga, hmmm hmmm hmmm...

K = Konflik dengan keluarga membuat para waria memilih
lari dari rumahnya. Sulit bagi waria untuk tetap
bertahan hidup di lingkungan masyarakat tempat dia
tinggal jika pihak keluarga saja menolak keber-
adaannya. Tanggapan negatif pihak orangtua dan atau
saudara atas perilaku dan penampilan si anak yang
waria bisa berbagai macam, dari teguran keras,
kekerasan fisik, perampasan benda-benda yang bersifat
feminin, hingga tindakan pengusiran. Memang tidak
setiap waria yang melarikan diri dari rumah akibat
diusir keluarganya. Ada juga yang kabur atas kemauan
sendiri lantaran di lingkungan baru yang tidak
mengenal asal-usulnya para waria merasa lebih bebas
untuk mengekspresikan seksualitasnya. 

L = Ya, I can understand that. Anak bikin malu, blah
blah blah... In my opinion, lebih oke kalo punya anak
gay daripada punya anak waria. Kalo punya anak gay kan
NGGAK KELIHATAN orientasinya. Paling suka masuk kamar
dengan sesama temen prianya juga, dan lama2 di dalem
kamar. Dan itu oke2 aja selama tidak memakai pakaian
perempuan it's oke2 aja, hmmm hmmm hmmm... Tapi kalo
punya anak waria ??? 

K = Saat waria-waria memutuskan lari dari keluarga,
seringkali tanpa sempat menamatkan sekolahnya. Dengan
bekal pendidikan yang rata-rata rendah, lapangan
pekerjaan jelas lebih terbatas. Karena itu, kerja2
seperti mengamen atau menjadi pekerja rumah tangga
(yang juga sering ditolak oleh para majikan) lebih
mungkin dilakukan oleh waria kebanyakan. Dan akhirnya,
bekerja sebagai penjaja seks-lah jenis pekerjaan yang
paling mudah dan cepat menyelamatkan waria dari
kesulitan ekonomi. Tanpa modal keterampilan yang
membutuhkan biaya, tenaga, dan waktu, tinggal praktik
langsung dengan sedikit kiat dan arahan dari waria
senior, uang sekaligus kesenangan segera didapat. Dan
seperti sudah jadi tradisi, banyak waria melakoni
pekerjaan ini. “Ya, karena jadi PSK itu ndak susah,
ndak perlu mikir, kebutuhan ekonomi sehari-hari
tercukupi, kebutuhan biologis terpenuhi”, kata Mami.

L = I used to think that para waria itu ENJOY nyepong
anune cowok dan minta bayaran for doing that. Mustinya
mereka yang bayar yah, eh ini justru terbalik, yang
disepong yang musti bayar. Karena the warias yang
enjoy sucking cocks, harusnya mereka yang bayar kepada
cowok2 yang di suck anune, hmmm hmmm hmmm...

K = Lingkungan permukiman, khususnya yang sering
dilabeli sebagai permukiman miskin, yang tumbuh di
kampung-kampung padat penduduk di belakang jalan
besar, pertokoan, perumahan, atau di sepanjang kali
atau rel kereta api, menjadi kawasan yang relatif
dapat menerima waria, seperti halnya kampung-kampung
tersebut bisa menampung para pemulung, pengemis,
pengamen, pelacur, ataupun gali dan preman-preman
kota. Di Yogyakarta, permukiman semacam ini
berkembang, antara lain, di beberapa kawasan pinggir
Winongo. Di kampung-kampung pinggir kali inilah
tinggal waria-waria pendatang yang berasal dari
berbagai kota di Indonesia. Berhasil tidaknya waria
bersosialisasi dengan masyarakat setempat, bukan hanya
bergantung pada perilaku baik para waria sendiri,
namun juga penerimaan positif masyarakat, khususnya
aparat kampungnya.

L = Hmmm hmmm hmmm...

K = Mami yang mami-nya para waria ini (sekarang
menjelang 60 tahun) lahir dan besar di kampung pinggir
Kali Winongo sebelah barat Yogya, sebuah kampung yang
pernah dikenal sebagai sarang gali. Kewariaan Mami
mula-mula tetap dipandang aneh oleh keluarga dan
tetangganya. Sejak kanak-kanak, anak bungsu dari enam
bersaudara ini oleh teman-temannya sudah sering
dikatai banci karena kecenderungannya bertingkah laku
kemayu dan selalu memilih permainan anak-anak
perempuan. Kakak sulungnya, seorang jagoan gali,
pernah memukulinya ketika memergoki Mami mengenakan
daster saat bermain loncat tali. Tapi Mami bergeming.
Dia suka menari dan diam-diam senang berdandan laiknya
perempuan. 

L = Ya, very typical, the way how a transvestite is
made. Malu juga yah, kalo punya anak pria suka pake
pakaian perempuan. Mendingan punya anak gay yah, hmmm
hmmm hmmm...

K = Masa puber Mami ditandai saat dirinya jatuh cinta
kepada pemuda kakak kelasnya di SMP. Sang kakak kelas
inilah kemudian yang pertama mengenalkannya pada
kehidupan seksual. 

L = Maksudnya di perawanin? Cerita dunk! Cerita dunk!
I mean, cerita HOW they made it. Anal or oral. Lewat
atas or lewat bawah, or both, hmmm hmmm hmmm...

K = Selepas SMP, Mami bekerja sebagai calo tiket di 
Stasiun Tugu. Suatu hari, dia berkenalan dengan 
seorang waria yang ditemuinya di stasiun, si waria 
kenalannya ini lantas mengajak Mami bergabung dengan
komunitas waria, mengajarinya berdandan, dan 
nyebong (nge-seks) di malam hari. 

L = Nyebong ??? ... Zadi PSK ???

K = Hingga waktu yang lama, keluarga dan tetangganya 
tidak tahu kegiatan barunya itu. Setelah orangtuanya
meninggal, barulah Mami berani menegaskan seksualitas
waria-nya secara terbuka. Kakaknya masih tetap
menentangnya, sempat memukulinya lagi, tapi tidak
mampu mencegah kewariaannya. Para tetangga di
kampungnya tidak berani melecehkannya terang-terangan,
mungkin karena sang kakak adalah preman yang ditakuti.
Bahkan ketika dia membawa beberapa teman waria ke
rumahnya di tahun tujuh puluhan, masyarakat tidak
menolaknya. Pak RT yang kebetulan membuka usaha
kos-kosan malah menawarkan kamar-kamarnya untuk disewa
teman-teman Mami itu, asal mereka dapat menjaga
perilaku di kampung dengan baik. Para waria tersebut,
sebagaimana warga lainnya, lalu ikut pula dengan
kegiatan-kegiatan kampung seperti kerja bakti,
rewangan, kondangan, melayat, atau memeriahkan
peringatan tujuh belasan. Namun, memang hanya sebatas
itulah peran-peran mereka di kampung. Mereka tidak
memiliki ruang bermasyarakat sebagaimana warga kampung
lainnya. 

L = Kalau sekarang, waria2 yang di pinggiran Jakarta
malahan SUDAH banyak yang pakai jilbab. I saw myself
beberapa kali, serombongan waria berjalan bersama-
sama, dan all of them wear jilbab. Waria berjilbab is
IN today, hmmm hmmm hmmm...

K = Beberapa tempat remang-remang di Yogya sempat
menjadi pangkalan para waria untuk melakukan transaksi
dan aktivitas seksual mereka. Para waria menyebut
tempat ini: cebongan. 

L = Cebongan = Tempat Nyabo ??? = Tempat melacurkan
diri ?

K = Sejak tahun tujuh puluhan, ketika waria-waria 
dari luar Yogya mulai berdatangan, daerah Bumijo
menjadi cebongan yang kondang. Tetapi ketika pada 
1985 penduduk sekitar pangkalan melakukan protes 
kepada aparat keamanan akibat seringnya terjadi
perkelahian dan tindak kejahatan, cebongan tersebut
dibubarkan. Sesudah peristiwa itu, segera muncul
beberapa pangkalan baru di tempat-tempat lain di
wilayah kota. Cebongan di sekitar Stasiun Tugu menjadi
pilihan mangkal terdekat bagi waria-waria yang tinggal
di permukiman penduduk pinggir Kali Winongo. 

L = Well, ini suatu CASE STUDY bagaimana waria juga
BISA melakukan ekspansi bisnis, in this case bisnis
"cebongan". So, as with all other minority groups,
semakin ditekan maka semakin berkembang, hmmm hmmm
hmmmm...

K = Meskipun para waria tinggal dan hidup
bertetanggaan sebagai warga di kampung, mereka aktif
berkegiatan di kota: bekerja, bersosialisasi,
bersaing, maupun bernegosiasi, antara lain, dengan
pelanggan, sesama waria, para preman, atau dengan
aparat keamanan. Persaingan untuk menjadi yang
terlaris dengan harga penawaran tinggi menyebabkan
para waria berlomba-lomba mempercantik diri.
Cara-cara ini mereka tempuh demi mendapatkan posisi
“terhormat” di cebongan, karena lokasi sekitar 
Stasiun Tugu yang lumayan luas itu terkapling-kapling
untuk kelompok-kelompok waria sesuai harga
masing-masing. Yang termurah, berkisar lima ribuan
sekali main (semua harga dapat naik-turun bergantung
kemauan pasar juga) menempati pinggir rel kereta
(ngerilan) di barat stasiun. Waria dengan harga lebih
tinggi, minimal sepuluh ribu, berada di ngerilan dalam
stasiun. Sementara waria-waria yang harganya bisa
mencapai dua puluhan ribu. ke atas, yakni waria-waria
yang masih muda, cantik, mulus, akan bertransaksi di
parkiran hingga Pasar Kembang. Untuk kelompok yang
terakhir ini, kegiatan seksual mereka tidak jarang
berlangsung di kamar-kamar hotel dan penginapan. 
 
L = Yang ini no comment lah. I have NEVER had sex with
a waria jadi gak bisa komentar. 

K = Kalaupun seorang waria telanjur menempati kapling
di ngerilan barat stasiun, berbaur dengan PSK
perempuan yang sudah turun harga, mereka tetap
berupaya untuk tampil cantik sehingga masih punya daya
tawar saat bernegosiasi harga dengan kosumen. Tidak
puas hanya dengan memakai pakaian, dandanan, dan
wewangian yang bisa memesona pelanggan, banyak waria
melakukan permak pada bagian-bagian tubuh, seperti
payudara, hidung, pipi, bibir, atau dagu, dengan
suntik hormon atau silikon. Sering terjadi, suntik
silikon yang bukan ditangani oleh ahli medis tetapi
oleh waria yang dipandang mampu melakukan itu, membawa
malapetaka. Pernah kejadian, hidung hasil suntik
silikon yang mancung-melengkung milik seorang waria
peyok gara-gara terantuk pintu, sehingga untuk
memulihkannya kembali ke bentuk yang diidamkannya
harus dipijat-pijat dengan hati-hati sekali selama
beberapa waktu. Bahkan, ada seorang waria yang hidung
silikonnya mekar meninggi di bagian pangkalnya bocor,
mengoreng, dan untuk sembuh butuh biaya banyak dan
waktu lama. 
 
Ini berbeda dengan Mami yang sejak mudanya tidak
pernah berpikir untuk merekayasa penampilannya secara
berlebihan. Dengan modal wajah yang diakuinya tidak
cantik itu, dia merasa cukup percaya diri dengan tidak
menyuntikkan silikon di tubuhnya. Dia juga tidak
mencukur bulu-bulu kakinya. Kedua daun telinganya pun
tetap dibiarkan buntu tanpa tindikan. Di luar
kegemarannya berdandan ngejreng: memakai riasan
berani, berpakaian seksi lengkap dengan segala
asesoris, berstoking dan bersepatu hak tinggi, di masa
mudanya Mami sangat percaya dengan inner beauty.
Kelembutannya, keikhlasannya, keterampilannya
mendengarkan, serta kepeduliannya yang besar kepada
orang yang kesusahan banyak diakui waria-waria lainnya
sebagai sisi kecantikan Mami yang menonjol dan alami
(cei….). 
 
Kini, ketika kehidupan nyebong di cebongan sudah 
lama Mami tinggalkan, ketika Mami sudah tidak perlu
berdandan menor untuk menunjukkan jatidirinya –kecuali
di saat-saat tertentu seperti kondangan dsb, naluri
kewariaannya untuk selalu tampil cantik tentu saja
tidak pernah hilang– Mami semakin yakin, bahwa
kewariaan seseorang tidak hanya ditentukan oleh
dandanan dan pakaian perempuan yang dikenakannya,
tetapi terutama pada sikap dan perilaku sehari-
harinya yang mencerminkan jiwa keperempuanannya;
sebagaimana Mami percaya, bahwa kemanusiaan (baca:
spiritualitas) seseorang, waria atau bukan, ditentukan
oleh bagaimana dia menghidupi kemanusiaannya dengan
kebajikan dalam kesehariannya. Rupanya, kesederhanaan
pengetahuan Mami akan teori dan konsep hidup tidak
mengurangi kecerdasan dan kearifannya memahami,
menyiasati, dan menjalani hidup. 
 
Memang tidak setiap waria pernah melakukan kegiatan
nyebong dan kenal dengan daerah cebongan, karena tidak
semua waria menjadi orang yang terbuang dari keluarga
dan lingkungan. Untuk waria-waria yang beruntung ini,
biasanya mereka memiliki tingkat pendidikan, ekonomi,
dan sosial yang lebih baik serta mampu hidup
berintegrasi dengan masyarakat luas. Malangnya,
sebagian besar waria adalah orang-orang yang hidupnya
tersingkir, terpinggir, dan terdiskriminasi nyaris
dalam semua aspek kehidupan: sosial, ekonomi, politik,
hukum, budaya, pendidikan…. 
 
Malam itu, sebelum kami berpisah, ketika saya ingatkan
Mami, bahwa waktu dia cium pipi kanan-kiri saya saat
pertama bertemu tadi saya rasakan kasarnya sebagian
bulu-bulu kumis dan janggutnya yang mulai tumbuh,
segera Mami mengeluarkan dua koin seratusannya. Sambil
terkekeh dia segera asyik dengan sepasang koinnya,
mencabuti bulu-bulunya. Saat itulah muncul seorang
waria muda, Menik namanya (nama samaran), yang
datang-datang langsung menggelendot di bahu Mami.
Menik masih dua puluhan, bertubuh langsing semampai
dengan rambut cepak cat-catan pirang, berkaos oblong
dan bercelana panjang. Perhiasan emas yang
dikenakannya berkilauan di leher, pergelangan tangan,
dan beberapa jarinya. Kata Mami, usaha Menik cukup
berhasil, tanpa menyebutkan macam usahanya. Mami
menerangkan, Menik bukanlah PSK. Meskipun begitu,
Menik mengaku selalu mengunjungi cebongan dengan wig
dan dandanan wah setiap malam Minggu. Dan dengan penuh
ekspresi, Menik bercerita tentang persaingan yang
terjadi di sana, baik antarwaria Yogya, maupun antara
waria asli Yogya dan pendatang. Kemudian … saat
tiba-tiba Menik beralih sibuk mencurahkan perasaannya
ke Mami dengan nada bicaranya yang manja dan kolokan,
saya terharu sekaligus terpesona. Diam-diam saya
nikmati intonasi dan diksinya yang menakjubkan buat
telinga saya yang tidak biasa mendengar waria
berbicara dengan segenap hatinya dalam bahasa
gaulnya…. 
 
*yang pengen baca “prinsip2 yogyakarta dalam aplikasi
undang2 HAM internasional dan kaitannya dengan
orientasi seksual dan identitas jender”, klik:
http://yogyakartaprinciples.org/

L = Thanks for sharing with us all, dear Mbak K. I
bless you, we bless you, God bless the warias !

+++

[Leonardo Rimba adalah seorang praktisi Psikologi
Transpersonal. Bersama Audifax, Leo menulis buku
"Psikologi Tarot" (Pinus, Maret 2008). Diskusi dengan
Leo bisa dilakukan di Milis SI; to join just click:
<http://groups.yahoo.com/group/spiritual-indonesia>.
Anybody is welcomed to join.]





Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

Kirim email ke