T = Saya tidak mengira message saya bakal masuk ke notes anda secepat itu. 
Dalam artian kemaren itu cuma uji coba & saya bukan type orang yg berani untuk 
mengeksiskan sesuatu.

J = Saya juga tidak mengira secepat itu karena yg menentukan bukanlah saya, 
melainkan sesuatu yg munculnya di dalam kesadaran saya. Namanya intuisi, muncul 
begitu saja, berebet... Yg ini duluan, begitu katanya.

Saya juga bukan type orang yg berani untuk mengeksiskan sesuatu. 

Kalau tidak eksis, maka saya tidak akan berpura-pura untuk di-eksiskan seperti 
kelakuan orang-orang yg mau memaksakan eksistensi sesuatu seperti Allah dan 
sejenisnya, sebab saya juga tahu bahwa kalau sesuatu itu eksis, maka tanpa kita 
berusaha untuk memaksakan, semua orang juga akan tahu sendiri.

Kalau Allah eksis, dan kita bilang semua orang ciptaan Allah, maka tanpa perlu 
kita syiar agama maka semua orang juga akan tahu sendiri. Tetapi, kalau 
ternyata kita melihat bahwa Allah itu harus diperkenalkan, lengkap dengan 
syariat-Nya, maka kita akan bisa menyimpulkan dengan mudah bahwa segalanya itu 
konsep saja, pemikiran saja.

Apalagi kalau the Allah harus disembah-sembah dan dipuja-puji setinggi langit 
ketujuh, dan harus dipaksakan penerapan keinginan-Nya seperti Syariat Islam dan 
syariat dari agama-agama lainnya yg baru bisa berjalan kalau dibuat menjadi 
hukum positif, dengan segala macam denda dan sebagainya.

Wanita yg berjalan tanpa kerudung di Aceh akan didenda, pedahal apa salahnya? 

Karena tidak berjalan sesuai dengan perintah Allah, yaitu at least harus 
berkerudung. Nah, Allah yg jenis seperti itu adalah Allah jadi-jadian, buatan 
manusia belaka. Kalau itu Allah yg asli, maka segalanya akan berjalan otomatis 
tanpa segala macam pemaksaan, tanpa perlu bilang yg mana benar dan yg mana 
salah, tanpa perlu bilang Allah meridhoi wanita berkerudung dan benci wanita yg 
tidak.

Ini prinsip yg sederhana sekali tapi tampaknya masih tidak mengerti oleh banyak 
orang di Indonesia. Saking sederhananya sampai orang tidak sadar bahwa segala 
macam yg kita pertahankan tentang Allah itu cuma konsep saja, pemikiran saja, 
karena orang akan bisa pula mengajukan argumen sebaliknya, atas nama Allah 
juga, dan akan sama validnya, sama sah-nya.

Sama validnya untuk bilang Allah benci wanita tidak berkerudung dan Allah benci 
wanita yg berkerudung. Allah itu cuma a convenient term to use, dan yg 
menentukan adalah kita sendiri. Kita mau yg mana, dan itulah yg kita sebutkan, 
plus kita tambahkan kata Allah meridhoi atau melaknati. Very easy. 

Menjadi ulama itu very easy, caranya tinggal khotbah apa saja, dan tinggal 
ambil nama Allah dan tempel di sana. You know yourself that it works that way. 

T = Menjawab pertanyaan tentang orang ketiga... Saya pikir tidak ada campur 
tangan sama sekali karena saya memiliki inisiatif dalam diri/self.

J = Iyalah, orang ketiga juga cuma istilah saja, yg biasanya digunakan dalam 
tabloid murahan untuk konsumsi ibu-ibu rumah tangga dan mereka yg berpendidikan 
terbatas. Kita yg mengerti tidak akan menggunakan istilah itu, yg kita gunakan 
adalah istilah PIL dan WIL. Pria idaman lain atau wanita idaman lain. Siapa yg 
mengidamkan? Ya, kita juga. Kita mengidamkan another man or another woman, dan 
tidak di-posisikan seperti ada intrusi yg tidak dikehendaki. 

Kita yg mau sendiri, or partner kita yg mau sendiri. Namanya suka sama suka. 

Walaupun sudah berpasang-pasangan, kalau ternyata sukanya sama orang lain, ya 
bisa saja. Prinsip suka sama suka is unversal, berlaku di segala tempat dan 
waktu. Kalau kita mau menolak dorongan dari dalam diri untuk main suka-sukaan 
dengan PIL atau WIL, ya tolaklah. Kalau mau terima, ya terimalah. Ini hidup 
kita sendiri and nobody else's. Not even Allah's.

T = Memang sejujurnya saya adalah orang yg sangat berani untuk mencoba, tapa 
lebih pada taraf wacana. 

J = It's your life. Taraf wacana adalah preamble, pembukaan. Sama saja seperti 
UUD '45, hidup kita juga memiliki pembukaan. 

Pembukaan adalah wacana, dan wacana artinya konsep, pemikiran. Kita pikirkan 
dulu apa yg akan kita lakukan dalam hidup ini, dan ternyata banyak. 
Kemungkinan-kemungkinan itu banyak, walaupun dasarnya tetap saja Pancasila. 
Pancasila bisa diterapkan dengan berbagai macam wacana, bahkan termasuk 
Komunisme juga. Siapa bilang Komunis tidak Pancasilais?

Komunisme ataupun Atheisme jelas kompatibel dengan Pancasila. Sila pertama itu 
'Ketuhanan yg Maha Esa', dan itu universal. Tuhan bisa diisikan dengan nama 
apapun yg ingin anda pilih. Bisa Tuhan dari Arab, bisa Tuhan dari Barat, bisa 
Tuhan dari Atheisme which is masyarakat tanpa kelas, etc.

Seharusnya wacana Pancasilais yg terbuka terhadap berbagai aliran pemikiran itu 
dikembangkan selebar-lebarnya. Sudah waktunya bagi kita untuk membuang habis 
segala macam pembodohan massal yg dijejalkan kepada kita semasa Rejim Soeharto. 

Kejaksaan Agung di masa Soeharto memiliki daftar buku-buku 'black list', 
buku-buku terlarang yg akan menghantar anda ke penjara prodeo apabila anda 
membaca dan menyebarkannya. Itu pembodohan massal, karena semakin anda bodoh 
maka Soeharto akan semakin senang. Semakin anda bodoh maka para ulama akan 
semakin senang. 

Dan ulama juga bekerjanya sama seperti Rejim Soeharto, which is dengan bilang 
haram halal. Ada yg haram dan ada yg halal. Pluralisme itu haram kata MUI, dan 
anda akan masuk neraka kalau anda terlibat pluralisme which is menerima dan 
meng-inkorporasikan berbagai pemikiran berbeda ke dalam diri anda. Itu haram, 
kata MUI.

Saya bilang, pluralisme jelas haram bagi MUI karena akan bikin anda jadi orang 
pinter. 

Anda akan mengerti bahwa segalanya itu merupakan pemikiran saja, dan ternyata 
banyak orang yg jujur dan mau berbicara atau menulis apa adanya saja. Dan 
ternyata mereka yg menerima pluralisme dan sekulerisme itu lebih oke, lebih 
menghargai HAM, lebih terbuka pemikirannya apabila dibandingkan dengan orang yg 
bilang pluralisme itu haram.

Mengharamkan pluralisme seperti dilakukan oleh MUI itu sendiri juga sebenarnya 
merupakan suatu kelakuan yg tidak logis. Kita semua sudah plural, sudah 
sekuler, dan bahkan kita sudah sekuler dan plural sejak awal.

T = Saya lebih tertarik untuk bermain di permukaan (collatory point), kerena 
saya sadar penerimaan tidak secepat itu dibenarkan. Dan tahu sendiri saya masih 
terlalu muda untuk mengambil keputusan yg saya sendiri masih belum merasa 
matang untuk itu. Seperti pengalaman, pendalaman lebih lanjut, like that...

J = No problem, anda akan bisa berjalan sesuai dengan kecepatan yg anda 
inginkan. Bermain di permukaan artinya berbicara dengan mengambang. Kalau 
berbicara secara to the point seperti saya artinya tidak bermain di permukaan, 
melainkan sudah masuk ke dalam lubang, which is oke aja selama itu namanya 
lubang kenikmatan, eh?

T = Maaf juga kalo bahasa saya kacau dan kurang anda mengerti. Saya juga 
bingung bagaimana penempatannya. Di kampus sempat sebal juga coz banyak yg 
bilang taraf berbicara saya yg terlalu tinggi, ilmiah, kadang filsafatlah, jadi 
cuma kalangan tertentu yg paham.. Jadi ya lebih enjoy berdiskusi dengan dosen 
yg pluralis yg bisa menerima perbedaan yg ada, gitu. Kadang merasa jadi 
mahasiswi yg cerdas gitu, hehe...

J = Saya bisa mengerti bahasa anda. You are smart, cuma masih berbicara secara 
umum, dan tidak berani to the point seperti saya. Saya kan sudah mencontohkan, 
to the point saja, bilang saja bahwa segalanya itu merupakan wacana dan isinya 
simbol-simbol belaka.

Agama itu wacana, isinya simbol, dan essensi dari simbol adanya di luar simbol 
itu sendiri. Kalau kita terjebak dalam simbol seperti kerudung dan sebagainya, 
maka artinya kita masih kelas pemula. Tetapi sayangnya, mereka yg kelas pemula 
mengira dirinya sudah advanced, dan mengkhotbahi semua orang untuk ikut syariat 
dari Allah. Pedahal mereka tidak mengerti bahwa syariat itu wacana saja, 
pemikiran saja, ada simbol-simbol yg digunakan, dan essensinya berada di luar 
simbol-simbol itu.

Essensi dari syariat adalah menjadi diri sendiri dan memahami Allah yg asli yg 
adanya di dalam kesadaran kita sendiri. Kalau kita terima fakta itu, maka kita 
akan bisa berjalan dengan nyaman apapun yg orang lain bilang atau lakukan. 
Orang mau teriak-teriak allahuakbar juga tidak akan berpengaruh, pedahal kita 
tidak ikut berteriak allahuakbar. Kita tahu bahwa Allah yg adanya di dalam 
kesadaran kita sendiri tidak perlu diteriaki. Mereka yg berteriak-teriak itu, 
bahkan sampai 5 kali sehari melalui corong mesjid, adalah orang yg masih berada 
dalam tahap pemula. Mereka pikir semakin keras teriakannya maka akan semakin 
didengar oleh Allah. 

T = Hm, by the way kenapa masuk ke wacana Paskah, koq anda langsung 
mendogmatisasikan ke arah itu. Kenapa tidak universal? 

J = Kemarin kan hari Minggu Paskah, sehingga pas untuk mengambil Paskah sebagai 
contoh dari suatu konsep yg diwacanakan, yaitu konsep tentang kelahiran, 
kematian, dan kelahiran kembali. Itu bukan dogma melainkan archetype (type 
agung). Ada archetype kelahiran kembali di dalam kesadaran setiap manusia. Di 
Islam, Idul Qurban termasuk archetype ini juga. 

Paskah adalah Idul Qurban versi Nasrani yg tidak lagi memakai hewan sembelihan. 
Segala macam kurban sembelihan itu diwacanakan akan membersihkan dosa-dosa 
manusia yg memberati diri sehingga manusianya akan bisa lahir kembali, hidup 
kembali dengan kesadaran yg bersih. Itu essensi dari Idul Qurban, dan essensi 
dari Paskah juga. 

Dan saya berbicara tentang essensi di situ, bukan tentang dogma-dogma. Dogma 
itu yg ditanamkan oleh kaum Nasrani tentang Paskah, yg katanya cuma 
satu-satunya jalan supaya manusia masuk Sorga. Dogma itu tentang tetek bengek 
Idul Qurban dalam Islam. Tetapi, kalau kita sudah bisa menangkap essensinya, 
maka kita tidak perlu lagi berkutat dalam segala macam haleluyah di perayaan 
Paskah, maupun repot dengan korban sembelihan di Idul Qurban.

Kita mengerti, dan kita menerima essensi dari kelahiran kembali itu di dalam 
kesadaran di diri kita masing-masing. Apa yg telah lewat, ya lewatlah. Apa yg 
akan terjadi, ya terjadilah. Ikhlas dan pasrah. Itu essensinya. Dan itu 
universal.

T = Saya sendiri konteks Paskah tidak mengetahui secara mendalam. Dan anda 
sendiri, saya rasa, tidak tahu saya masuk dalam kapasitas yg mana, iya kan?

J = Anda tidak perlu mengetahui konteks Paskah secara mendalam karena isinya 
cuma berbagai macam pemikiran saja, sedangkan yg penting itu bukanlah segala 
macam pemikiran keagamaannya, melainkan essensinya. Kalau kita mau masuk dalam 
pemahaman mendalam, jadinya akan seperti ulama-ulama itu, mereka bilang mereka 
"mendalam", tetapi apanya yg dalam?

Kalau semakin dalam memuja muji pemikiran mereka sendiri, mungkin ya. Semakin 
dalam memuja muji Allah buatan mereka sendiri, mungkin ya. Contohnya adalah MUI 
yg sudah mengharamkan pluralisme tanpa menggunakan otak mereka secara wajar. 
Pedahal kalau otaknya digunakan secara wajar, mereka akan dengan mudah mengerti 
bahwa kita semua sejak awal sudah sekuler dan plural. Agama-agama itu datang 
belakangan, diciptakan dan bukan jatoh gedebuk dalam bentuk gelondongan dari 
atas langit.

T = Kalo masalah omong kosong yg ditanamkan sejak masa kanak-kanak, saya rasa 
dulu penuh dengan tanda tanya karena saya sendiri waktu kecil absurd.

J = Menyadari bahwa anda absurd merupakan suatu nilai lebih di sini. Kita 
semuanya memang absurd, tetapi cuma orang yg tercerahkan saja yg bisa bilang 
bahwa kita absurd. Mereka yg masih jungkang jungking dalam Goa Plato tidak 
pernah tahu bahwa diri mereka absurd, mereka pikir mereka berada dalam 
lindungan Allah, gak taunya di dalam Goa Plato, dan untuk berjalan ke luar itu 
mudah saja, which is keluar saja. Tapi mereka bilang Allah bilang haram untuk 
ke luar goa. Pedahal Allah yg bilang haram untuk ke luar goa itu cuma konsep 
saja, wacana saja. Wacana dari mereka saja. 

T = Nilai (values) baru didapat saat kelas 1 SD. Itupun tidak langsung dari 
ortu. Saya banyak bertanya kepada mereka tapi tidak memuaskan, gitu... 

J = Pengalaman yg cukup umum. Kalau kita bersikap kritis dari kecil, kita akan 
sudah tahu dari kapan-kapan bahwa segala jawaban yg diberikan oleh orang tua 
kita tidak memuaskan. Kalau kita tidak kritis, atau kalau memang inteligentsia 
kita terbatas or IQ jongkok, maka biarpun sampe jenggotan seperti Abu Bakar 
Baasyir juga tetap saja tidak akan mengerti. 

T = Kalo soal khotbah, guru agama pas SMA udah menyerah waktu itu. Tapi ya demi 
nilai, tetep aja diikuti sesuai nilai (values) yg sudah ada waku itu.

J = Good, nice to hear your sharing. Cerita lagi dong, yg spesifik, berikut 
contoh-contoh about belief systems yg tidak masuk akal tetapi tetap dipaksakan 
oleh orang tua dan guru-guru agama anda. Kita akan bisa membahasnya, tidak 
haram.

Leo
@ Komunitas Spiritual Indonesia 
http://groups.yahoo.com/group/spiritual-indonesia.




Secularism is the solution, sekulerisme solusinya. Sekuler artinya pemisahan 
tegas antara negara dan agama-agama.


      New Email names for you! 
Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail. 
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/

Kirim email ke