LAPINDO
Terbenam di Lumpur Janji
Lapindo mencicil ganti rugi korban lumpur Rp 15 juta sebulan. Akan diproses 
hukum jika ingkar.

SAMBIL sesekali mengelus perutnya yang sedang hamil tujuh bulan, Lusita 
berteriak sekerasnya. Bersama lima puluh orang lain, ia meninggalkan aula 
Departemen Pekerjaan Umum, Rabu pekan lalu. Dialog warga korban Lumpur Lapindo 
dengan pemerintah dan PT Minarak Lapindo Jaya tersendat. 
Lusita memutuskan pulang ke Sidoarjo, Jawa Timur, meski belum ada kejelasan 
nasib ganti ruginya. ”Saya merasa pemerintah tak bisa lagi membantu korban 
Lapindo,” katanya dengan berlinang air mata. 
Lusita mulai berang ketika General Manager PT Lapindo Brantas Inc., Imam 
Agustino, membeberkan jumlah maksimal pembayaran ganti rugi. Imam adalah 
tersangka kasus lumpur Lapindo oleh Polisi Jawa Timur, pada 2006. 
Ia mengatakan, Minarak hanya mampu memberikan uang ganti rugi maksimal Rp 40 
miliar sebulan. Artinya, setiap pemilik berkas—jumlahnya mencapai 12 ribu—hanya 
akan menerima sekitar Rp 3 juta. ”Uang segitu buat apa?” kata Lusita. 
Imam mengatakan, Lapindo telah mengeluarkan Rp 5,2 triliun untuk urusan lumpur 
ini. Lapindo masih menanggung 80 persen uang ganti rugi, Rp 2,4 triliun lagi. 
Menurut dia, Lapindo masih tetap berkomitmen membayar ganti rugi. 
Imam menambahkan, krisis global yang juga dirasakan perusahaan induk Lapindo, 
Grup Bakrie, membuat pembayaran sedikit terhambat. ”Jadi, kalau kulit jeruk itu 
diperas sampai kering, itulah kami,” katanya. 
Di Surabaya, ribuan korban Lapindo mendatangi kantor Gubernur Jawa Timur. 
Mereka meminta pemerintah menganggarkan dana talangan. Gubernur Jawa Timur, 
Soekarwo, mengatakan pemerintah provinsi sulit memberikan dana talangan karena 
terbatasnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. 
Aksi korban lumpur itu ditanggapi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam 
pidatonya di Lamongan, Jawa Timur, Yudhoyono mengatakan pembayaran ganti rugi 
lumpur Lapindo harus selesai dalam tahun ini.

 
Presiden memerintahkan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto duduk bersama 
Gubernur Jawa Timur dan Bupati Sidoarjo membahas masalah Lapindo. Djoko lalu 
memfasilitasi warga untuk berdialog dengan Lapindo dan pemerintah. 
Sekitar 170 warga datang ke Jakarta. Koordinator Koalisi Korban Lumpur Lapindo, 
Agus Hariyanto, mengatakan warga sangat mengharapkan Lapindo terbuka 
menjelaskan kemampuan keuangannya. 
Setelah muncul angka Rp 40 miliar, warga sepakat menghentikan pertemuan. 
Beberapa orang pulang, sedangkan yang lain masih menunggu hasil perundingan dan 
menginap di Cibubur, Jakarta Timur. 
Perundingan antara pemerintah dan Lapindo memang tak melibatkan korban lumpur. 
Warga hanya menunggu hasilnya di aula Departemen Pekerjaan Umum, sedangkan 
perundingan berlangsung di ruang Menteri Pekerjaan Umum. 
Pemerintah diwakili Djoko dan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Menteri Energi 
dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, serta Kepala Kepolisian Jenderal 
Polisi Bambang Hendarso Danuri. Dari Lapindo tampil Nirwan Dermawan Bakrie, 
Komisaris Andi Darussalam Tabusalla, dan Imam Agustino. 
Dalam pertemuan kedua, warga hanya bertatap muka dengan pemerintah dan Lapindo 
sekitar lima menit. Djoko mengatakan, pemerintah masih memberikan kesempatan 
Lapindo mencari tambahan dana. Pemerintah tidak memberikan dana talangan untuk 
pembayaran ganti rugi ini. ”Kami mencari yang terbaik dan dapat dilaksanakan,” 
kata Djoko. 
Perundingan berakhir pada hari ketiga, Jumat pekan lalu. Lapindo menentukan 
pembayaran dengan mencicil Rp 15 juta sebulan untuk setiap berkas yang sudah 
jatuh tempo, melalui Bank Rakyat Indonesia. Menurut pemilik Lapindo, Nirwan 
Dermawan Bakrie, warga bisa mengurus rekening mulai Senin ini. Lapindo akan 
menyetorkan dana setiap bulan. 
Nirwan mengatakan, dana itu berasal dari penjualan aset internal kelompok usaha 
Bakrie. Menurut dia, Lapindo akan meningkatkan cicilannya kalau kondisi 
keuangan perusahaan sudah membaik. ”Inilah kemampuan maksimal kami,” kata 
Nirwan. ”Saya pun sedih ketika harus mengungkapkan hanya bisa Rp 40 miliar 
sebulan.”

 

l l l
LAPINDO harus membayar ganti rugi dengan membeli tanah dan bangunan sesuai 
dengan Peraturan Presiden No. 14/2007. Tahap pertama dibayarkan 20 persen dan 
sisanya, 80 persen, dibayar paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 
habis selama dua tahun. 
Dalam Peraturan Presiden No. 48/2008, sisa 80 persen dibayar melalui skema 
tunai atau pemukimam kembali (resettlement). Pola pembayaran yang berbeda ini 
membuat korban Lapindo terbelah-belah. 
Ada yang menamakan diri warga pendukung cash and carry, gerakan korban lumpur 
Lapindo, gerakan pendukung Perpres, paguyuban Renokenongo menolak kontrak, tim 
pendukung cash and resettlement, kelompok Perumtas, gerakan korban lumpur tiga 
desa, serta Tim 16. 
Pada Oktober tahun lalu, PT Minarak mengajukan permohonan kepada pemerintah 
untuk menangani korban lumpur. Alasannya, krisis finansial global telah 
berdampak langsung pada induk perusahaan, Grup Bakrie. 
Minarak, perusahaan yang dibentuk untuk menangani lumpur, akhirnya kesulitan 
likuiditas membayar ganti rugi. Pemerintah menolak permohonan itu, tapi memberi 
keringanan kepada Lapindo dengan mengangsur pembayaran ganti rugi. 
Pada 3 Desember, Lapindo membuat kesepakatan bersama yang disampaikan ke 
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ada tujuh kesepakatan yang ditandatangani 
Komisaris Utama PT Minarak Lapindo Jaya, Gesang Budiarso, Wakil Ketua DPRD 
Kabupaten Sidoarjo, Jalaludin Alham, serta sembilan wakil warga, yakni Koes 
Sulaksono, Anang B. Arifin, Edwin, Handoyo, Ramli, Soegiarti, Wisnu Aji, Amin, 
dan Suhartono. 
Dalam butir kedua kesepakatan itu, Lapindo meminta pembayaran dengan cara 
mencicil Rp 30 juta setiap bulan per berkas. Mereka juga akan memberi bantuan 
uang kontrak rumah per kepala Rp 2,5 juta. 
Pada butir kelima, Minarak akan membayarkan tepat waktu sesuai jatuh tempo. 
Kalau tidak, Minarak bersedia diproses secara hukum. Namun butir kelima ini 
menguap. Pembayaran cicilan ganti rugi warga kian mengkerut. Lapindo hanya 
membayar Rp 15 juta setiap bulan per berkas.

 
Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah mengatakan yakin Lapindo bisa memenuhi 
kesepakatan ini. Sedangkan Kepala Kepolisian Jenderal Polisi Bambang Hendarso 
Danuri menyatakan Lapindo akan diproses secara hukum kalau ingkar janji. 
Pola pembayaran dengan cara mencicil ini diterima Gerakan Korban Lumpur 
Lapindo. Sekretaris Gerakan, Khoirul Huda, mengatakan kemampuan keuangan 
Minarak harus selalu dikontrol. Ia menegaskan, Lapindo harus menambah jumlah 
cicilan kalau kondisi keuangan perusahaan membaik. 
Tapi koordinator kelompok Perumtas, Sumitro, mengatakan korban lumpur tidak 
pada posisi menerima atau menolak. Pemerintah, katanya, seharusnya mengambil 
alih pembayaran dengan menyita aset perusahaan. 
Sumitro menambahkan, warga sudah terlalu sering mendapat pepesan kosong. 
Menurut dia, Lapindo sudah tidak bisa memenuhi peraturan presiden serta 
sejumlah kesepakatan. ”Kalau yang sudah jelas hitam-putihnya saja meleset, 
bagaimana sekarang?” katanya. 
Yandi M.R., Dian Yuliastuti (Jakarta), Dini Mawuntyas, Yekthi Hesthi Murthi 
(Surabaya)
 
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/02/23/NAS/mbm.20090223.NAS129585.id.html

 
http://media-klaten.blogspot.com/
 
 
 
salam
Abdul Rohim


      

Kirim email ke