Warisan Natsir untuk Indonesia
Moh Yasin, mahasiswa Pascasarjana Islamic College for Advanced Studies-Paramadina, Jakarta Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono memberikan gelar kepahlawanan kepada Bung Tomo dan Mohammad Natsir atas jasa dan perjuangannya membangun Indonesia. Bung Tomo berjuang bersama arek-arek Surabaya melawan penjajahan Belanda, sementara Natsir diberi gelar pahlawan nasional tidak hanya karena ikut aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tapi juga karena gagasan mosi integralnya yang membawa pada terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejarah mencatat bahwa pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945, saat kemerdekaan Indonesia baru seumur jagung, bersama ancaman politik dan militer pihak asing, Natsir menjadi orang yang berjasa besar dalam menjaga eksistensi negara Indonesia. Di tengah gempuran militer dan upaya diplomasi Belanda membangun negara boneka yang diprakarsai oleh Van Mook, Natsir muncul dan hadir mengarsiteki mosi integral dan menggagalkan negara bentukan Van Mook. Melalui mosi integral, Natsir berhasil mempersatukan kembali Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menobatkan Soekarno-Hatta sebagai pemimpin. Berkat jasanya tersebut, Natsir, yang memulai pendidikan formalnya di HIS (Holland Inlandse School) hingga AMS (Algemene Middlebare School), disegani dan dihormati oleh para politikus dan negarawan Indonesia, dan hal itu juga membawa dirinya begitu dekat dengan Bung Karno, meski secara ideologis pemikirannya berseberangan. Natsir pun sempat menjabat Menteri Penerangan dan Perdana Menteri di masa Orde Lama. Tak berlebihan jika Daniel Lev (Indonesianis), Anwar Ibrahim, Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, dan para sejarawan Indonesia mengatakan bahwa Natsir adalah negarawan yang berwawasan luas, bermoral jernih, intelektual, pemikir, berpenampilan sederhana, santun, kritis, dan berjiwa besar. Ia teladan yang langka warisan negeri ini di tengah kondisi Indonesia saat ini yang ibarat dalam lingkaran kesesatan dalam proses mencari identitasnya. Kepribadian Natsir terbentuk berkat perkenalannya dengan Ahmad Hassan--pria keturunan India asal Singapura yang kemudian menjadi ahli agama di Organisasi Persatuan Islam (Persis)--melalui diskusi dan percakapan seputar persoalan Islam, politik, dan kemerdekaan. Bersama Hassan, Natsir menyelami dan memahami Islam secara mendalam yang bercorak reformis dan moderat, jauh dari kecenderungan sikap eksklusif, seperti yang dikembangkan ulama tradisional. Selain itu, Natsir berguru pada Haji Agus Salim, dan Ahmad Sjoorkati, ulama asal Sudan, pendiri Al-Irsyad. Sebagai seorang negarawan yang berpengetahuan keagamaan luas, Natsir sebenarnya mengimpikan negeri ini menjadi sebuah negara yang masyarakatnya hidup dengan rukun, taat beragama, bertoleransi (tasamuh), dan hidup dengan sejahtera. Demi mewujudkan impiannya tersebut, Natsir mengusung konsep sebuah negara yang berdasarkan sistem demokrasi konstitusional, yaitu sistem pemerintahan yang tunduk pada konstitusi, kekuasaan negara berada pada tangan rakyat, dan pemerintah selaku pemegang kekuasaan dibatasi oleh konstitusi dan tidak bisa bertindak sewenang-wenang sehingga tidak melanggar hak-hak asasi rakyat. Gagasan demokrasi konstitusionalnya Natsir ini merupakan gradasi dari pemikiran pokoknya, yaitu teo-demokrasi. Natsir berupaya menawarkan teo-demokrasi untuk Indonesia karena kekhawatirannya terhadap perkembangan pengaruh sekularisme di Indonesia yang dikembangkan oleh Soekarno dkk. Di masa awal kemerdekaan, Soekarno ingin membangun Indonesia dengan menganut paham Ataturkisme dan Kemalisme dengan mengusung pemikiran yang liberal dan sekuler. Soekarno yakin bahwa harus ada pemisahan antara agama dan negara. Hal ini ditolak Natsir. Sebab, secara teologis dan sosiologis, menurut Natsir, agama telah menyatu dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan hal ini berbeda dengan Barat, yang kemerdekaannya terbangun tanpa keterlibatan peran agama, sehingga tidak peduli akan peran agama dalam sebuah negara. Bagi Natsir, kemerdekaan Indonesia dibangun dan didapatkan dengan peran agama yang kental. Pembentukan negara Indonesia berada pada keterikatan terhadap agama. Agama merupakan realitas hidup yang menjadi bagian dari kehidupan sosial, dan budaya bahkan agama berperan penting serta menjadi inspirasi dan alat mobilisasi yang luar biasa dalam melawan penjajahan, dengan mengobarkan semangat jihad. Sehingga, bagi Natsir, mau tidak mau politik Indonesia harus memberi peran yang sesuai bagi agama dalam sebuah negara, dan konsep teo-demokrasi bisa menjadi gagasan yang tepat untuk membangun negeri. Atas dasar ini, Natsir menganjurkan bahwa nasionalisme Indonesia mestinya bersifat kebangsaan muslimin, dan ajaran Islam menjadi sesuatu yang tepat untuk membentuk sebuah sistem negara untuk Indonesia. Sebab, Islam sebagai ideologi menurut Natsir adalah lengkap, merujuk pendapat Montgomery Watt bahwa Islam is more than a religion, it is a complete civilization. Natsir, bersama Oemar Said, H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, dan Wahid Hasyim, mencoba menyikapi sekularisme yang diusung Soekarno secara arif dan inklusif dengan membangun sebuah negosiasi. Atas dasar pemikirannya tersebut, melalui mesin politik Masyumi, Natsir berupaya menawarkan konsep teo-demokrasi untuk Indonesia dan menghidupkan kembali tradisi Islam di Indonesia, sebagaimana yang dipopulerkan oleh Abdul A'la Al Maududi--pemimpin Jamaat al-Islamiyah Pakistan--melalui karyanya Al-Khilafah wa al-Mulk (Khilafah dan Kerajaan). Teo-demokrasi yang diusung Maududi merupakan perpaduan antara teori demokrasi dan teokrasi dan kemudian disintesiskan dengan prinsip-prinsip Islam. Secara esensial konsep teo-demokrasi adalah Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, teo-demokrasi adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Atau, seperti diistilahkan Al-Maududi, a limited popular sovereignty under suzerainty of God (Amien Rais, 1988:23-24). Dalam bukunya yang lain, Islamic Law and Constitution (1962:138-139), Al-Maududi menggunakan istilah divine democracy (demokrasi suci) atau popular vicegerency (kekuasaan suci yang bersifat kerakyatan) untuk menyebut konsep negara dalam Islam (Asshidiqie, 1995:17). Teo-demokrasi yang diusung Natsir tidaklah sedogmatis dan senormatif Maududi. Natsir mengusung pemahaman yang lebih longgar, yaitu dengan meletakkan Al-Quran bukan sebagai kitab hukum, melainkan sebagai sumber hukum abadi. Karena sebagai sumber hukum, Al-Quran bersifat abadi, selalu cocok untuk setiap zaman, di mana pun dan kapan pun manusia hidup. Prinsip hukum Islam menurut dia adalah segala sesuatu boleh dilakukan kecuali yang dilarang. Ijtihad suatu keharusan bagi umat Islam, yakni berijtihad sejauh-jauhnya tetapi harus selalu memperhatikan yang haq dan yang batil serta yang haram dan halal. Dengan prinsip ini, Natsir ingin mempertegas bahwa kebebasan harus ada batasnya, sementara demokrasi sekuler menurut Natsir dapat berujung pada berbagai musibah kemanusiaan. Tanpa intervensi wahyu, manusia bisa terperangkap pada dorongan nafsu hewani dan anarkistis. Tesis Natsir ini bukanlah pemahaman buta melainkan pemahamannya yang mendalam atas teori dan praktek demokrasi sekaligus melihat dengan jernih keterbatasannya. Teo-demokrasi adalah demokrasi yang dibimbing oleh wahyu (Amien Rais, 1988). Pemikiran Natsir inilah yang kemudian membawa Natsir pada posisi bertentangan dengan Soekarno. Paham Natsir ini dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya, Soekarno melawannya dengan mempopulerkan demokrasi terpimpin, kemudian Soeharto melawannya dengan demokrasi Pancasila. Dua rezim demokrasi tersebut mengerucut pada munculnya pemerintahan yang otoriter. Tak pelak, teo-demokrasi yang diusung Natsir tidak lagi berkembang. Keberadaannya dipasung oleh dua rezim Orde Lama dan Orde Baru. Karena itu, Theo-demokrasi warisan Natsir mungkin bisa menjadi alternatif baru di tengah kegagalan Indonesia menemukan identitasnya dalam membangun dan menemukan identitas dirinya. Sebab, situasi dan kondisi negara Indonesia berpijak pada proses pembentukan dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan memang tidak bisa lepas dari agama. Dengan asumsi ini, sangat tepat jika konsep teo-demokrasi gagasan Natsir ini dijadikan rujukan untuk membangun demokrasi di Indonesia. * http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/11/11/Opini/krn.20081111.147635.id.html Salam Abdul Rohim http://groups.google.com/group/peduli-jateng?hl=id