150 Ribu Anak Jadi Korban Seksual 

Eksploitasi seksual komersial anak Indonesia terus meningkat dari tahun ke 
tahun. Sebagian besar mereka dijadikan pelacur dan objek pornografi. 

KOALISI Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak memperkirakan 
sekitar 150 ribu anak Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual. 
"Sebanyak 70% dari 150 ribu anak yang dieksploitasi seksual berada dan bekerja 
di daerah-daerah pariwisata," kata Koordinator Nasional Koalisi Nasional 
Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, Ahmad Sofian. 
Ia berbicara pada acara Focus Group Discussion yang bertema Pencegahan 
eksploitasi seksual komersial anak (Peska) di lingkungan pariwisata, di 
Jakarta, kemarin. 
Data tersebut, kata Ahmad, merupakan hasil survei organisasi End Child 
Prostitution, Child Pornogaphy and Trafficking of Children for Sexual Purposes 
(ECPAT) International. 
Survei tersebut dilakukan di Bali, Lombok, Yogyakarta, Jakarta, Medan, 
Pontianak, Batam, Bandung, Surabaya, dan Indramayu. 
Anehnya, menurut Ahmad, industri pariwisata terlihat menutup mata dengan 
semakin banyak anak-anak korban eksploitasi untuk seksual komersial. 
"Karena industri pariwisata menganggap anak-anak tersebut justru dapat 
menggenjot pengunjung datang," katanya. 
Bahkan, pemanfaatan anak-anak untuk seks komersial sangat diburu. Pasalnya 
anak-anak dinilai memiliki risiko kecil untuk menularkan penyakit kelamin, 
masih segar dan menarik, serta mereka mau dibayar murah. 
"Tak bisa menutup mata bahwa anak-anak memang dicari dan dijadikan objek," 
ujarnya. 

Baru tahap kampanye 

Ahmad menyayangkan pemerintah belum melakukan tindakan konkret dan tidak 
melakukan pemulihan terhadap anak-anak korban eksploitasi seksual. 
"Pemerintah baru tahap melakukan kampanye, sementara banyak anak Indonesia 
sudah menjadi korban seksual komersial," tukasnya.

 
Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Departemen 
Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) Firmansyah Rahim mengutarakan pariwisata 
sering dituduh sebagai penyebab maraknya aktivitas eksploitasi seksual 
komersial anak. 
"Namun, sesungguhnya tidak ada korelasi langsung antara industri seksual anak 
dan usaha pariwisata," ujar Firmansyah. 
Alasannya, UU No 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan, Global Code of Ethics 
Toursm, dan ASEAN Travellers Code melarang kegiatan seksual di lingkungan 
pariwisata. 
"Kalaupun sebenarnya ada prostitusi anak di daerah pariwisata, biasanya 
tersembunyi. Kami sulit memantaunya. Bila menemukan eksploitasi seksual anak di 
lokasi wisata, masyarakat seharusnya melaporkan," katanya. 
Sementara itu, Komisaris Murnila dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak 
Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya mengatakan pihaknya kerap 
melakukan razia terhadap praktik prostitusi. 
"Untuk daerah wisata seperti Bali terdapat polisi pariwisata, tetapi tugasnya 
hanya preventif. Razia dan penggerebekan tetap dilakukan polisi reserse," 
katanya. 
Dalam diskusi yang digelar Depbudpar tersebut, beberapa peserta meragukan kalau 
polisi maupun masyarakat tidak mengetahui eksploitasi seksual anak di lokasi 
pariwisata. 
Ada kesan pihak keamanan menutup mata terhadap praktik tersebut. Karena, tempat 
panti pijat, spa, karaoke, dan hotel secara kasatmata menyajikan pramuria yang 
tergolong masih anak-anak.(Drd/N-1) 
 
http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NDk3NDQ=


   Salam
Abdul Rohim
http://groups.google.com/group/peduli-jateng?hl=id


      

Kirim email ke