Dimuat pada Harian Sinar Harapan, 13 Juli 2009

 

151 Perda Bias Agama

Oleh Victor Silaen

 

    Para uskup se-Indonesia telah menulis surat tertanggal 30 Mei
2009, yang isinya antara lain meminta dengan tegas agar presiden
dan wakil presiden terpilih nanti membatalkan 151 peraturan daerah (perda) yang
dinilai bertentangan dengan Pancasila. “Peraturan-peraturan ini bagaikan puncak
karang yang secara kasat mata menghadang bahtera bangsa kita. Untuk menjaga
keutuhan NKRI, kami menganjurkan kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih
untuk membatalkan 151 Perda ini serta tidak pernah akan mengesahkan peraturan
perundangan yang bertentangan dengan konstitusi,” kata Mgr Sutrisno Atmoko yang
juga Uskup Palangkaraya, Kalimantan Tengah, kepada pasangan capres-cawapres 
JK-Wiranto
yang bertandang ke Kantor Waligereja Indonesia, 9 Juni lalu. 

 

   
Mengejutkankah seruan moral para uskup itu? Rasanya tidak. Boleh jadi
karena aspirasi senada sudah berulangkali disampaikan oleh pelbagai komponen
bangsa yang merasa prihatin melihat kian maraknya perda bias agama di sejumlah 
daerah,
termasuk di ibukota Jakarta
(melalui Perda ”Tibum”
No. 8 Tahun 2007, yang antara lain mengatur untuk tidak boleh menjual makanan
”haram”). Karena sudah berulangkali, maka tak heran jika perda yang diserukan
untuk dibatalkan itu kini telah berjumlah 151. 

 

    
Disebut bias agama, karena perda-perda tersebut bertentangan dengan
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia
yang tak sedikit pun menyebut agama tertentu di dalamnya. Tetapi, mengapa
seolah seruan-seruan itu tak diresponi secara proporsional? Antara lain 
jawabannya
adalah, karena perda-perda tersebut dinilai tidak diskriminatif. Bahkan menurut
calon presiden dari Partai Golkar dan Partai Hanura, Jusuf Kalla, perda-perda
tersebut hanya sebagai aturan yang bernilai anjuran. “Jadi, tidak ada sanksi
hukum dalam perda syariah,” ujar Kalla yang juga Wakil Presiden
RI dalam dialog tentang hukum dengan
Indonesian Legal Roundtable di Hotel Four Seasons, Jakarta, 8 Juni lalu. Ucapan 
Kalla tersebut
merupakan respon terhadap pertanyaan salah satu panelis, Todung Mulya Lubis,
yang menganggap perda-perda syariah bersifat diskriminatif. “Karena mengikat
semua, tidak hanya Muslim,” kata Todung.



    Sungguh memprihatinkan. Bagaimana
mungkin seorang politikus kawakan sekaligus pemimpin bangsa dapat mengatakan
hal yang keliru tentang sebuah peraturan publik? Tidakkah dia paham bahwa
sebuah peraturan publik memiliki kekuatan mengikat yang sah, yang karenanya
diikuti dengan sanksi hukum bagi siapa pun yang melanggarnya – tanpa hiraukan
agamanya apa? 

 

    Pasca-Soeharto,
agenda-agenda reformasi telah dan terus bergulir deras. Namun ironisnya, hingga
kini Indonesia masih “gamang” dalam memosisikan dirinya sebagai negara hukum
atau negara
agama. Ataukah memang Indonesia secara sadar membiarkan dirinya terus-menerus
menjadi bukan negara hukum sepenuhnya dan bukan negara agama sepenuhnya? Sebab,
kalau negara hukum sepenuhnya, mengapa banyak peraturan di tingkat lokal
(perda) maupun nasional (undang-undang/UU) yang bias agama tertentu?
Sebaliknya, jika dikategorikan sebagai negara agama, Indonesia jelas tak cocok.
Sebab di negara ini, para pemimpin di tingkat lokal maupun nasional tidak
dibatasi harus beragama ini atau itu.

 

    Sejak awal, Indonesia telah didesain
menjadi negara hukum dan bukan negara agama. Secara faktual pun tak dapat 
diingkari
bahwa agama-agama di Indonesia sejak dulu memang beraneka ragam. Berdasarkan
itulah maka merancang-bangun negara ini di atas pilar-pilar yang bukan-agama
merupakan pilihan rasional yang baik dan tepat. Sebab, seandainya agama
tertentu dipilih untuk dijadikan pilar negara, pertanyaannya adalah: agama yang
mana? Bukankah secara sosiologis tak ada agama yang benar-benar satu
(monolitik)? Sementara agama yang secara nasional dikategorikan mayoritas
secara statistik, faktanya di sejumlah daerah ia justru merupakan minoritas.

 

     Jadi
jelaslah bahwa Indonesia yang wilayahnya sangat luas dan terserak dari Sabang
sampai Merauke ini sungguh tak cocok untuk dijadikan negara agama. Inilah yang 
mestinya
disadari betul oleh segenap komponen bangsa. Artinya ke depan jangan sampai ada
orang-orang (apalagi mereka yang diposisikan sebagai pemimpin maupun tokoh
masyarakat) yang merasa dirinya dan kelompoknya sebagai mayoritas berdasarkan
agama yang dianut, dan sebaliknya memandang orang-orang lain sebagai minoritas
dikarenakan agama mereka berbeda. Ini jelas merupakan anggapan yang keliru
sekaligus kontraproduktif dalam rangka membangun NKRI. Karena itu, alih-alih
menjadikan mayoritas dan minoritas berdasar agama sebagai penanda suatu
kelompok atau komunitas, lebih baiklah mengusangkan sekat-sekat keagamaan itu
seraya memperkuat spirit nasionalisme di atas semboyan Bhineka Tunggal Ika. 

 

     Sebagai umat beragama, tentu saja setiap
kita masih memiliki identitas keagamaan yang melekat di dalam diri. Namun,
ketika kita berada di ruang-ruang publik yang pluralistik dan dalam
konteks-konteks yang formalistik, lebih baiklah jika identitas tersebut
disimpan dan tak digunakan sama sekali. Dengan demikianlah niscaya konflik
primordialistik berdasarkan identitas keagamaan dapat dicegah. Ini penting
disadari agar setiap kita terbiasa untuk berinteraksi di ruang-ruang publik 
sebagai
sesama warga dan bukan sebagai sesama umat beragama. Jika kesadaran kritis ini
dimiliki, maka ia pun niscaya menjadi etika sekaligus etiket di dalam kehidupan
sesehari. Seandainya dalam kasus-kasus tertentu diperlukan pedoman yang lebih
tegas dan pasti, maka hukumlah jawabannya -- bukan agama. 

 

     Berdasarkan pemikiran di atas, maka
secara rasional-argumentatif kita harus menolak politisasi agama. Sebab, 
politik hakikatnya untuk
mengelola kehidupan publik, dan publik Indonesia bukanlah publik yang agamanya
tunggal. Jadi, sangatlah berbahaya jika agama digunakan untuk kepentingan
politik. Itu namanya memerkosa agama, karena agama yang hakikatnya sakral
diperalat untuk politik yang hakikatnya profan. 

 

     Kembali pada seruan moral para uskup
tentang peraturan bias agama, apa sikap kita? Pertama, hukum
seharusnya menjadi alat rekayasa sosial. Artinya, hukum harus mampu mengadakan
perubahan di masyarakat. Karena masyarakat kita beranekaragam agamanya, maka
hukum pun seharusnya tidak bias agama tertentu. Kedua, hukum di tingkat
nasional maupun lokal tak boleh melanggar konstitusi dan hierarki hukum, 
melanggar
prosedural pembentukan peraturan perundang-undangan, juga melanggar jiwa dan
semangat Pancasila sebagai Cita Hukum (Rechtsidee)
maupun Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm).


 

     Tentang
hierarki hukum, sangat jelas diatur bahwa semua perundangan/peraturan tak boleh
bertentangan dengan perundangan/peraturan yang berada di atasnya (Tap MPR No. 
III/MPR/2000 dan UU No. 10 Tahun 2004). Jadi, baik
UU maupun perda yang dibentuk tak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, 
atau
berakibat terganggunya kerukunan antarwarga, terganggunya pelayanan umum, dan
terganggunya ketenteraman/ketertiban umum serta tidak bersifat diskriminatif. 
Kita
berharap semua orang Indonesia, terutama para pemimpin, memahaminya dan
konsisten dengan itu. 

 

* Dosen
Fisipol UKI, pemerhati politik. 







 




      

Kirim email ke